People Innovation Excellence

ANOMALI KRITERIA KEJAHATAN LUAR BIASA DI INDONESIA

Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Juni 2016)

Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa kekerasan seksual terhadap anak merupakan kejahatan luar biasa sebagimana dilaporkan oleh Mazrieva dari VOA Indonesia (2016). Menurut laporan dari Komisi Nasional Perlindungan Anak pada tahun 2010-2015 kasus kekerasan seksual mendominasi laporan kasus pelanggaran hak anak. Pada tahun 2015 Komisi Nasional Perlindungan Anak menerima 2898 laporan pelanggaran hak anak dari wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi dimana 59% diantaranya merupakan laporan mengenai kekerasan seksual. Lebih lanjut menurut International Labor Organization (ILO) yang diperkuat oleh United Nation Children’s Fund (UNICEF) angka kekerasan seksual anak lebih besar. Dalam catatan kedua organisasi tersebut angka kekerasan seksual anak mencapai 70.000 setiap tahunnya (Eddyono, Sofian, Akbari, 2016: 1).

Sebagai reaksi atas tingginya angka kasus kekerasan seksual terhadap anak tersebut, pemerintah pada tanggal 25 Mei 2016 mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Perpu No. 1 Tahun 2016). Dalam Perppu No. 1 Tahun 2016 tersebut terdapat penambahan enam ayat pada Pasal 81 dan 82 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014) serta penambahan pasal baru, yaitu Pasal 81A dan 82A. Penambahan tersebut berupa delik dikualifikasi dengan pemberatan pidana pokok berupa pidana penjara dari maksimal 15 tahun menjadi pidana penjara maksimal 20 tahun, seumur hidup dan pidana mati serta pidana denda maksimal lima milyar rupaih. Dalam PERPPU No. 1 Tahun 2016, diatur perkenalkan bentuk pidana tambahan baru berupa pengumuman identitas pelaku dan tindakan berupa kebiri kimiawi dan pemasangan chip pada pelaku.

Timbul pertanyaan kriteria apa yang mendasari tindak pidana seksual terhadap anak ditetapkan sebagai kejahatan luar biasa? Sebelum diterbitkannya Perppu No. 1 Tahun 2016, terdapat beberapa tindak pidana yang ditetapkan sebagai kejahatan luar biasa antara lain tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme dan tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan psikotropika. Kejahatan luar biasa adalah istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan suatu kejahatan yang sangat serius, namun apa kriterianya sehingga suatu kejahatan dapat dipandang sebagai suatu kejahatan luar biasa, terutama di Indonesia.

Hukum pidana internasional menggunakan instilah the most serious crimes concern to international community sebagai istilah yang serupa dengan kejahatan luar biasa. Sejak dibentuknya Rome Statute of International Criminal Court tahun 1998, diperkenalkan istilah the most serious crimes concern to international community yang merupakan kejahatan yang masuk dalam jurisdiksi International Criminal Court. Pasal 5 Statuta Roma menerjemahkan the most serious crimes concern to international community tersebut menjadi empat jenis, yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Kejahatan tersebut dipandang sebagai kejahatan luar biasa karena telah sangat mencederai nurani kemanusiaan dan merupakan pelanggaran berat yang mengancam perdamaian, keamanan dan kesejahteraan dunia (Muladi, 2011: 169). Menurut Mark. A Drumble kejahatan tersebut dipandang sebagai suatu kejahatan luar biasa karena memiliki kriteria utama “is conduct – planned, systematized, and organized – that targets large numbers of individuals based on their actual or perceived membership in a particular group that has become selected as a target on discriminatory grounds” (Drumble, 2007, 4).

Berdasarkan pada kriteria tersebut maka di Indonesia, kejahatan luar biasa hanya tepat dipergunakan untuk tindak pidana pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dan terorisme. Nomeklatur kejahatan luar biasa pada Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia mengadopsi norma-norma yang diatur Statuta Roma. Kejahatan luar biasa yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah pelanggaran HAM berat yang dibatasi pada dua bentuk, yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dimana definisi atas kedua bentuk kejahatan tersebut sama dengan defines yang diatur dalam Pasal 6 dan 7 Statuta Roma (Muladi, 2011, 207-208). Selanjutnya nomeklatur tindak pidana terorisme sebagai kejahatan luar biasa terdapat dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Convention For The Suppression Of The Financing Of Terrorism, 1999 (UU No. 6 Tahun 2006). Masih menjadi perdebatan apakah tindak pidana terorisme dapat menjadi kejahatan luar biasa atau tidak, namun dalam pandangan penulis tindak pidana terorisme dapat dikategirikan sebagai kejahatan luar biasa karena alasan berikut. Pertama, ditinjau tindakan dan dampak dari peristiwa Bom Bali I, serangan teroris tersebut merupakan tindakan yang direncanakan, dilakukan secara sistimatis dan teroganisir yang menargetkan jumlah korban yang banyak terutama korban warga negara asing dan turis. Kedua, alasan penolakan dunia internasional yang tidak memasukan kejahatan teorisme sebagai jurisdiksi International Criminal Court pada tahun 1998 sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan aktivitas terorisme dewasa ini. Pada saat itu beberapa alasan tersebut antara lain tidak adanya kesepakatan secara universal mengenai definisi dari terorisme, kejahatan terorisme tidak menarik perhatian dunia internasional dan kejahatan terorisme merupakan kejahatan terhadap negara yang merupakan permasalahan politik yang sensitif (Cohen, 2012: 224-227). Ketiga, penulis juga sependapat dengan penjelasan umum UU No. 6 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa terorisme merupakan bentuk pelanggaran HAM berat yang melanggar hak hidup.

Lebih lanjut untuk tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan psikotopika dan tindak pidana korupsi dipandang belum memunuhi kriteria sebagai kejahatan luar biasa. Pertama kedua tindak pidana tersebut tidak memenuhi kriteria dari the most serious crimes concern to international community sebagaimana dimaksud dalam Statuta Roma dan diskripsi dari Mark. A Drumble. Kedua kedua tindak pidana tersebut bukanlah tindak pidana yang dipandang oleh dunia internasional sebagai kejahatan yang mengancam perdamaian dunia dan mencederai nurani kemanusiaan. Khusus untuk tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan psikotopika penulis tidak sependapat dengan pandangan Mahkamah Konstitusi melalui dua putusannya No. 2 /PUU-V/2007 and No. 3/PUU-V/2007 tanggal 30 Oktober 2007 telah menyatakan bahwa tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan psikotopika meruapakan kejahatan luar biasa berdasarkan pada United Nation Convention Single Convention on Narcotic Drugs, 1961 dan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 dimana keduanya telah diratifikasi melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1976 dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1997. Dalam konvensi tersebut tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan psikotopika dipandang sebagai kejahatan serius apabila dilakukan dengan keadaan yang memberatkan yaitu dilakukan dengan keikutsertaan dari kelompak nasional maupun internasional, menggunakan kekerasan atu senjata api dan melibatkan pejabat publik (Lines, 2010, 24 & 26). Demikian pula dengan tindak pidana korupsi dimana tidak ada norma dalam Statuta Roma, United Nation Convention Against Corruption, maupun United Nation on Trans National Organized Crime yang menyebutkan bahwa korupsi sebagai kejahatan luar biasa.

Demikian pula dengan tindak pidana seksual anak, yang patut dipandang juga tidak memenuhi kriteria sebagai kejahatan luar biasa. Pertama, baik dari sisi tindakan/perbuatan yang dimaksud dan korban atas tindakan ini tidak memenuhi kriteria the most serious crimes concern to international community sebagaimana dimaksud dalam Statuta Roma dan diskripsi dari Mark. A. Drumble. Banyak tindak pidana seksual terhadap anak yang terjadi di Indonesia dilakukan oleh orang tua, keluarga, kerabat, tetangga dan orang dekat dari anak (Probosiwi and Bahransyaf, 2015: 30). Anak sebagai korban dalam tindak pidana ini tidaklah didominasi dari golongan agama, ras, maupun suku tertentu. Lebih lanjut dalam hukum pidana internasional hanya kejahatan seksual terhadap anak dengan keadaan yang memberatkan saja yang dapat dipandang sebagai pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional yang merupakan yurisdiksi dari International Criminal Court. Keadaan yang memberatkan tersebut adalah kejahatan seksual terhadap anak dalam situasi konflik bersenjata termasuk pemerkosaan dan kejahatan seksual berat terhadap anak. Hal tersebut tidak dalam konteks di Indonesia.

Dari tindak pidana yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa tersebut tampak bahwa tidak terdapat konsesus mengenai kriteria akan suatu kejahatan luar biasa dalam penyusunan kebijakan hukum pidana di Indonesia. Tindak pidana pelanggaran HAM berat dan terorisme merupakan tindak pidana yang dipandang sebagai kejahatan luar biasa berdasarkan kriteria the most serious crimes concern to international community dalam Statuta Roma. Tindak pidana lainnya secara yuridis formil ditetapkan sebagai kejahatan luar biasa atas dasar banyaknya tindak pidana yang terjadi dan luasnya dampak dari tindak pidana tersebut. Padahal kriteria yang baik dalam penentuan suatu tindak pidana sebagai kejahatan luar biasa berdampak pada penyusunan kebijakan hukum pidana tersebut termasuk penerapan hukum pidana yang dilakukan, hukuman yang akan diterapkan sampai pada proses penanggulangan dan pencegahan hukum pidana tersebut. Sayangnya hal ini belum dilakukan. (***)


REFERENSI:

Cohen, Aviv. (2013). Prosecuting Terrorists at the International Criminal Court: Reevaluating an Unused Legal Tool to Combat Terrorism. Michigan State International Law Review. 20.(2). 220-260.

Drumble, Mark. A. (2007). Atrocity, Punishment and International Law. New York: Cambrige University Press.

Eddyono, Supriyadi Widodo. Sofian, & Ahmad. Akbari, Anugerah Rizki (2016). Menguji Euforia Kebiri Catatan Kritis atas Kebijakan Kebiri (Chemical Castration) Bagi Pelaku Kejahatan Seksual di Indonesia. Jakarta, Indonesia: Aliansi 99 Tolak Kebiri.

Mazrieva, Eva. (2016, 3 Juni). Presiden Jokowi: Kejahatan Seksual Terhadap Anak adalah Kejahatan Luar Biasa. Retrieved <http://www.voaindonesia.com/content/presiden-jokowi-kejahatan-seksual-terhadap-anak-adalah-kejahatan-luar-biasa/3324087.html.>.


Screen.Shot.2016.01.28.at.11.23.18


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close