MELURUSKAN DAN MEMPERJELAS ARTI “PATEN”
Oleh AGUS RIYANTO (Juni 2016)
Sering kali arti kata diartikan secara salah. Salah satu di antaranya adalah kata “paten”. Paten itu sendiri telah diartikan dengan jelas dan tegas dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten (UU Paten). Pasal 1 butir (1) UU Paten mengartikan paten sebagai hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Dengan dasar ketentuan ini, paten itu telah diartikan dengan kata teknologi sebagai artinya. Tidak ada arti lain paten itu selain dari teknologi. Teknologi yang dimaksud adalah keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan demi kelangsungan, dan kenyamanan hidup manusia, seperti misalnya komputer, telepon, pesawat terbang, dan lain-lain. Perlindungan atas inovasi teknologi ini berupa paten.
Dalam praktiknya, seperti dua kejadian di bawah ini, dapat ditunjukkan terjadinya salah pengertian atas kata “paten” yang masih terjadi. Hal ini menunjukkan penggunanya tidak mau belajar tentang apa arti kata “paten” yang benar.
Pada awal tahun 2010, Indonesia dihebohkan dengan lambang Garuda di kaos rancangan salah satu perusahaan milik perancang dunia Giorgio Armani, Armani Exchange. Rumah mode kelas dunia asal Italia itu merilis kasus bergambar serupa Garuda Pancasila, yang dijual asal Italia itu merilis kaus bergambar Pancasila, yang dijual dengan harga Rp 650 ribu per helai. Kasus ini memicu perdebatan di Tanah Air. (Sumber TEMPO, Edisi 8-14, 14 Februari 2010, hlm. 10). Kasus ini menuai kontroversi. Ada yang setuju dan ada pihak yang menolak pemasangan gambar itu. Namun, yang menarik adalah reaksi Menteri Kehakiman Patrialis Akbar (saat itu) yang berpandangan bahwa “tidak semestinya” perancang itu menggunakan lambang Garuda sebagai gambar pada kaus produksinya. “Enggak boleh dong, karena ada unsur paten di sana,” ujarnya. Untuk itu, maka sang Menteri meminta Direktur Jenderal HAKI mempelajari kasus ini.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah pernyataan Pak Menteri (saat itu) benar? Sesungguhnya masalah ini masuk kategori paten atau hak cipta? Tentu saja lebih tepat hal ini dengan pendekatan hak cipta, karena logo (lambang) Garuda itu tidak berada di area inovasi teknologi, tetapi salah objek yang dilindungi Pasal 40 UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Empat tahun setelah itu, tepatnya pada awal Januari 2014, salah arti tentang paten terjadi kembali. Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin saat itu menyatakan akan mematenkan empek-empek sebagai makanan khas daerah setempat guna memperkuat keberadaan kuniler tersebut. Hal ini dilakukan karena sudah ada yang mengakui empek-empek tersebut berasal dari daerah lain. Dia mengatakan beberapa waktu lalu ada yang menyatakan empek-empek berasal dari Jambi sehingga hal itu perlu segera diperjelas. Ia mengakui bahwa hampir setiap daerah memiliki empek-empek, namun asal usul makanan itu sesungguhnya berasal dari Palembang (http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52c5418ab89fb/..).
Keinginan gubernur ini memunculkan pertanyaan apakah tepat empek-empek itu dipatenkan? Tentu saja tidak karena empek-empek adalah makanan khas daerah Palembang (bukan inovasi teknologi) dan tidak tepat kata “paten” dipakai di sini. Rencana Gubernur Sumsel yang ingin mematenkan pempek itu salah kaprah tentang arti kata “paten”. Kesalahan itu terjadi, karena kemungkinan ketidaktahuan, meski sesungguhnya kata itu telah diartikan dengan jelas dan tidak ada keraguan dalam undang-undang.
Kesalahartian tentang paten itu tidak seharusnya terjadi jika merujuk Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) UU Paten. Pasal ini telah menjabarkan lebih lanjut bahwa teknologi harus memenuhi tiga unsur paten secara akumulatif. Ketiga unsur itu adalah: (1) adanya invensi baru, (2) harus mengandung langkah yang inventif, dan (3) ketiga dapat diterapkan dalam industri.
Dalam laman <www.lipi.go.id>, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia memberikan penjelasan tentang ketiga unsur paten itu sebagai berikut:
(1) Memiliki sifat kebaharuan (novelty). Sifat kebaruan ini dilihat secara universal, seandainya pun pendaftaran invensi hanya di satu negara, tetapi invensi yang didaftarkan tersebut harus dapat dipastikan baru dan belum ada invensi serupa di seluruh dunia. (2) Memenuhi langkah inventif. Langkah inventif adalah kontribusi dari suatu invensi terhadap invensi terdahulu. Bila suatu invensi tidak memiliki kebaruan, tentu saja tidak memiliki kontribusi terhadap invensi terdahulu atau dengan kata lain langkah inventifnya tidak ada. Oleh karena itu, pemeriksaan langkah inventif baru dilakukan setelah terbukti bahwa suatu invensi mengandung nilai kebaruan. Langkah inventif dapat dikatakan sebagai langkah teknis yang berupa solusi bagi persoalan teknis yang dijumpai pada invensi atau cara sebelumnya (prior art). (3) Dapat Diterapkan dalam Bidang Industri. Hampir semua invensi yang memenuhi persyaratan termasuk dalam kategori Pasal 1 butir 2 dan tidak termasuk kategori pasal 7 UUP dapat diproduksi atau digunakan dalam berbagai jenis industri. Oleh karena itu, masalah tidak dapat diterapkan dalam industri hampir tidak pernah dijumpai dalam kasus pemeriksaan paten.
Ditambahkan bahwa setelah memperoleh paten dari invensi seorang inventor, selanjutnya pemerintah Republik Indonesia akan memberi monopoli kepada (para) inventornya selama 20 tahun terhitung sejak penerimaan paten (filing date). Selain paten biasa, sistem paten di Indonesia juga mengenal invensi sederhana. Masa perlindungan yang diberikan pada invensi sederhana (paten sederhana) hanya 10 tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan tidak dapat diperpanjang.
Memang, dua unsur pertama dari paten ini merupakan kunci diterima tidaknya permintaan paten. Dikatakan ada kebaruan apabila pada saat tanggal penerimaan (permintaan paten) diketahui bahwa invensi tersebut memang tidak sama dengan teknologi yang telah terungkap sebelumnya (teknologi terdahulu). Tidak sama di sini tidak hanya sekadar berbeda, tetapi juga soal fungsi teknis invensi tersebut harus juga dipastikan berbeda dengan fungsi teknis invensi sebelumnya. Penemu invensi tersebut tertuju pada seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik dan kebaruan penemuannya merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya.
Unsur ketiga merupakan unsur yang terbilang dapat mudah terpenuhi karena yang dimaksud di sini adalah bahwa hasil invensi itu dapat dibuat secara berulang-ulang dan jumlah banyak (massal) dengan kualitas yang sama, jika invensi berupa proses, maka proses tersebut dapat digunakan secara massal juga. Di samping itu ketentuan ini mengandung arti bahwa produk barang yang telah dihasilkan dalam jumlah yang banyak tersebut pada akhirnya dapat diperjualbelikan di masyarakat.
Berpegang kepada ketiga unsur itu, untuk mendapatkan perlindungan hukum Paten, maka dapat dengan jelas bahwa baik itu gambar Garuda dan empek-empek Palembang tidaklah termasuk paten, karena kedua-duanya tidak termasuk di dalam ketiga unsur yang telah ditentukan Pasal 2 ayat (1) dan 3 ayat (1) UU Paten, sehingga tidak tepat menggunakan paten sebagai perlindungan hukum kekayaan intelektual.
Untuk lambang Garuda perlindungan HKI dengan menggunakan UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sebagai dasarnya. Saya berpendapat, untuk empek-empek perlindungan HKI dapat juga diberikan dengan mengacu pada UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Jatuhnya pilihan pada rahasia dagang karena empek-empek termasuk di dalam kategori makanan yang menjadi objek perlindungan rahasia dagang. Untuk itu, maka pedagang empek-empek yang berkeinginan untuk mendapatkan perlindungan HKI, maka hak intelektual itu dapat dilekatkan pada pembuatan makanannya, khususnya tentang tata cara membuat empek-empek yang enak dan lezat dengan takaran yang khas dengan ketentuan menggunakan nama pedagang pempek yang memproduksi empek-empek itu sendiri.
Sudah waktunya tidak memandang sebelah mata arti kata yang tidak sesuai dengan arti seharusnya dan telah jelas maksudnya. Kesalahan sedikit saja dapat mengurangi kredibilitas dan kapabilitas, terlebih-lebih jika hal tersebut yang menyatakannya adalah pejabat publik. Kesalahan itu dapatlah diredam dengan kembali kepada sikap kehati-hatian dan mau belajar lebih dalam kepada Undang-undang yang mengaturnya. Sebab, kesalahan kemarin adalah kebijakan kebenaran di hari esok. Semoga. (***)
Published at :