DISKRESI DAN TINDAKAN PEJABAT PEMERINTAH
Oleh SITI YUNIARTI (Mei 2016)
Nama Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, kembali menjadi pemberitaan di media massa dalam beberapa minggu terakhir. Kali ini Ahok harus berurusan dengan komisi antirasuah, KPK, terkait kicauan Ariesman Widjaya, Direktur PT. Agung Padomoro Land, yang telah ditetapkan sebagai tersangka suap dalam kasus pembahasan Raperda tentang Rencana Zonasi dan Pulau-Pulau Kecil dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Dalam keterangannya, Ariesman memberikan informasi tentang penertiban penertiban Kalijodo yang “dibarter” dengan proyek reklamasi. Ada 13 proyek DKI – salah satunya penggusuran kawasan Kalijodo di Penjariman – yang dikerjakan PT. Muara Wisesa Samudra, anak perusahaan Agung Podomoro. Biaya proyek yang dikeluarkan Agung Podomoro tersebut selanjutnya dijadikan pengurang kontribusi tambahan proyek reklamasi. Pasalnya, Perjanjian tersebut dibuat tanpa dasar hukum.
Menurut Ahok, proyek pengurang kontribusi tambahan tersebut dilakukan berdasarkan wewenang diskresi yang dimilikinya selaku Gubernur DKI Jakarta, karena pada saat hal tersebut diputuskan pada tahun 2014 belum ada ketentuan hukum yang mengatur. Permasalahan perihal diskresi ini tidak hanya berhenti di KPK, diberitakan bahwa DPR berencana memanggil Ahok perihal diskresi ini.
Terlepas dari kontroversi permasalahan pengurang kontribusi tambahan proyek reklamasi di atas, menarik ditinjau adalah perihal Diskresi sebagai dasar tindakan pejabat pemerintah. Dalam konsep Negara Kesejahteraan – Welfare State, tujuan negara adalah kesejahteraan rakyat, dan tidak sekedar sebagai penjaga ketertiban. Indonesia pun menempatkan “kesejahteraan umum” sebagai salah satu tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Untuk mencapai tujuan negara tersebut, Pemerintah memerlukan instrumen-instrumen, alat-alat atau sarana-sarana, baik yang bersifat yuridis maupun nonyuridis. Instrumen yuridis pemerintah dalam hal ini memiliki dua peran, yaitu di satu sisi sebagai alat yang menterjemahkan kewenangan pemerintah, melalui pejabat pemerintah yang menerbitkan, dan di satu sisi sebagai pagar untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan oleh Pemerintah.
Kebijakan atau Diskresi, merupakan salah satu bentuk instrumen yuridis pemerintah. Pembahasan mengenai kebijakan selalu dikaitkan dengan apa yang disebut sebagai kewenangan bebas/Freis Ermessen (discretion power). Freis Ermessen diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang. Menurut Bachsan Mustafa, Freies Ermessen diberikan kepada Pemerintah mengingat fungsi Pemerintah atau administrasi negara yaitu menyelenggarakan kesejahtaraan umum yang berbeda dengan fungsi kehakiman untuk menyelesaikan sengketa kependudukan. Keputusan pemerintah lebih mengutamakan pencapaian tujuan (doelmatigheid) daripada sesuai dengan hukum yang berlaku (rechmatigheid).
Undang-undang No. 30/2014 tentang Administrasi Negara mengatur secara eksplisit perihal diskresi. Diskresi, diartikan dalam Pasal 1 ayat (9) UU No.30/2014, sebagai keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintah untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Dengan demikian, suatu diskresi hanya dapat dikeluarkan apabila tujuan penerbitan diskresi tersebut adalah: (i) melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; (ii) mengisi kekosongan hukum; (iii) memberikan kepastian hukum; dan (iv) mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Namun demikian, pemenuhan tujuan diskresi sebagaimana diuraikan di atas saja tidaklah cukup. UU No.30/2014 mensyaratkan bahwa diskresi hanya dapat digunakan apabila penggunaanya memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Sesuai dengan tujuan diskresi yang tercantum dalam UU No.30/2014;
- Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- Sesuai dengan asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB);
- Berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
- Tidak menimbulkan konflik kepentingan; dan
- Dilakukan dengan itikad baik.
Selain memenuhi syarat-syarat material di atas, suatu diskresi juga wajib memenuhi persyaratan formil yang ditetapkan dalam UU No.30/2014 dimana pada intinya pejabat pemerintah yang menggunakan diskresi wajib memperoleh persetujuan Atasan dengan terlebih dahulu menguraikan maksud, tujuan, substansi serta dampak administrasi dan keuangan.
Bagaimana pengujian atas diskresi? Alat uji atas diskresi merupakan suatu hal penting bagi pejabat pemerintah karena hasil akhir dari pengujian adalah apakah disreksi yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah tersebut merupakan suatu tindakan/keputusan yang berada dalam kewenangannya atau tidak berada dalam kewenangannya atau dengan kata lain apakah termasuk dalam kategori penyalahgunaan wewenang. Mengacu pada latar belakang dan tujuan dari munculnya diskresi, alat uji dari suatu diskresi seyogianya adalah asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB), selain pemenuhan syarat-syarat materiil dan formil lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Namun demikian, dalam UU No. 30/2014, salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh suatu diskresi adalah “tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, sehingga dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa alat uji dari suatu diskresi berdasarkan UU No.30/2014 adalah undang-undang dan AAUPB.
Terlepas dari pembahasan mengenai alat uji diskresi, dengan dicantumkannya diskresi secara eksplisit dalam ketentuan peraturan hukum yang berlaku, diharapkan dapat dijadikan pijakan bagi pejabat pemerintah untuk dapat melakukan berbagai tindakan yang diperlukan guna kesejahteraan rakyat tanpa perlu khawatir hal tersebut menjadi polemik di masa yang akan datang selama diyakini bahwa diskresi yang diambilnya adalah untuk kesejahteraan rakyat dan dapat dipertanggungjawabkan. (***)