SULITNYA MENGUBAH BUDAYA MEMBUANG SAMPAH SEMBARANGAN
Oleh ERNI HERAWATI (Mei 2016)
Sampah tidak hanya menjadi masalah nasional, tetapi juga masalah dunia. Di Indonesia isu sampah selalu mengemuka saat terjadi banjir karena salah satu sebab utama terjadinya banjir adalah adanya sampah yang menyumbat saluran air. Jumlah volume sampah di Jakarta per hari adalah sekitar 6.000 hingga 6.500 ton, sedangkan di Bali lebih besar lagi yaitu bisa mencapai jumlah 10.725 ton per hari. Lain lagi di Palembang, jumlah volume sampah mencapai 1.200 ton per hari. Secara keseluruhan pada tahun 2014 sampah yang dihasilkan di Indonesia perhari mencapai 175.000 ton sampah atau jika dirata-rata setiap orang memproduksi sampah 0,7 kg per hari. Indonesiapun menduduki peringkat penghasil sampah plastik terbesar di dunia setelah China. [1] Jumlah sampah yang demikian besar tersebut bukan satu-satunya masalah yang berkaitan dengan sampah, tetapi ada masalah yang lebih harus ditangani yaitu bagaimana mengatasi perilaku masyarakat yang sampai saat ini belum memiliki perilaku untuk membuang sampah pada tempatnya. Perilaku tersebut akan menyebabkan pengelolaan terhadap sampah menjadi semakin rumit dan sulit dicari penyelesaiannya.
Pemerintah sudah seringkali mengeluarkan kebijakan berkaitan dengan penanganan dan pengelolaan sampah. Gerakan untuk membuang sampah di tempatnya sudah pernah dicanangkan di era Presiden Soeharto melalui program Gerakan Disiplin Nasional (GDN) pada tahun 1995. Gerakan yang rencananya akan dibuat dalam program jangka panjang tersebut, pada tahap pertama dititik beratkan pada tiga hal yaitu budaya tertib, budaya bersih, dan budaya kerja. Perilaku membuang sampah pada tempatnya masuk dalam program budaya bersih. Namun sampai berlalunya masa pemerintahan orde baru, kesadaran akan budaya bersih tersebut tidak terlihat jejaknya.
Kebijakan mengenai penanganan sampah yang terbaru dari pemerintah kembali dicanangkan pada Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) tanggal 21 Februari 2016 lalu dengan mengkampanyekan gerakan Indonesia Bebas Sampah 2020. Gerakan ini dimulai dengan adanya kerjasama pemerintah dengan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) untuk memberlakukan penggunaan kantong plastik berbayar yaitu Rp. 200,- per kantong plastik. Tujuan dari kebijakan ini adalah agar masyarakat tidak mudah membuang kantong plastik, ada penghematan dalam penggunaannya dengan digunakan secara berulang-ulang. [2]
Beda lagi dengan penanganan sampah yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Depok. Melalui Perda Persampahan tahun 2014, Pemerintah Kota Depok menerapkan kewajiban pengelolaan sampah mandiri oleh masyarakat. Masyarakat wajib untuk memilah sampah mereka menjadi tiga kategori yaitu: sampah organik, sampah nonorganik, dan sampah residu. Hanya sampah organik (yang dikumpul oleh masyarakat dalam satu tempat khusus) yang akan diangkut oleh petugas kebersihan. Sampah non-organik harus dikelola oleh oleh masing-masing RT/RW setempat dan menjadi bank sampah bagi masyarakat yang menyetorkan sampah mereka. Dan sampah jenis residu akan dibawa oleh petugas Dinas Kebersihan dan Pertamanan ke tempat pembuangan sampah akhir. [3]
Pada kenyataannya, bukan hal yang mudah untuk mengajak masyarakat Kota Depok untuk bertanggung jawab atas sampahnya sendiri. Masyarakat yang telah terbiasa membuang sampah tanpa memilahnya terlebih dahulu, ternyata cukup sulit untuk mengubah kebiasaan tersebut. Apalagi sampah yang tadinya hanya dibuang dalam satu tempat, sekarang harus dipilah dalam tiga kategori. Ketika hendak membuang sampah, maka dibutuhkan waktu khusus untuk sejenak berpikir tentang jenis sampah apakah yang akan dibuang tersebut. Proses perubahan ini bukan suatu yang sepele bagi sebagian masyarakat. Bayangkan jika dalam satu hari seseorang harus memasukkan sampah ke tempat sampah sebanyak sepuluh kali, maka sebanyak sepuluh kali pulalah orang tersebut harus termenung sejenak di depan tempat sampah untuk menentukan jenis sampah apakah yang akan ia buang tersebut. Kenyataan ini membawa cara baru bagi beberapa warga Depok untuk menyelesaikan masalah membuang sampah, yaitu membawa sampahnya untuk dibuang di wilayah lain di luar wilayah Depok.
Masih banyak contoh peristiwa lain yang menunjukkan bahwa masyarakat belum menganggap sampah yang dihasilkan dalam aktivitas kehidupan mereka adalah tanggung jawab mereka. Perilaku membuang sampah sembarangan masih menjadi penyakit sebagian besar masyarakat di Indonesia, tidak hanya milik orang miskin tetapi juga orang kaya, bukan hanya orang-orang yang tidak berpendidikan bahkan banyak orang yang berpendidikan masih memiliki perilaku membuang sampah sembarangan. Oleh karena itu segala peraturan dan kebijakan yang dibuat berkenaan tentang sampah, sebaiknya tidak hanya ditujukan sekadar adanya ketersediaan aturan tentang sampah lalu selesai, yang paling penting adalah bagaimana menegakkan aturan bagi mereka yang melanggarnya. Lebih jauh lagi, bagaimana peraturan tentang sampah akan dapat mengubah pemikiran masyarakat untuk memilki cara pandang yang berbeda tentang sampah. Bahwa mereka yang menghasilkan sampah harus bertanggung jawab untuk membuang sampah mereka sendiri pada tempatnya. Diharapkan, pemikiran sederhana tersebut akan dapat membawa perubahan besar pada tertanganinya masalah sampah di Indonesia. (***)
REFERENSI:
[1] http://geotimes.co.id/2019-produksi -sampah-di-indonesia-671-juta-ton-sampah-per-tahun/
[2] http://m.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/02/20/o2tq7i313-gerakan-indonesia-bebas-sampah-2020-dimulai-21-februari
[3] https://m.tempo.co/read/news/2015/02/17/083643041/siap-siap-warga-depok-harus-kelola-sampah-sendiri