POLITIK HUKUM KEKAYAAN INTELEKTUAL TERHADAP PERKEMBANGAN MULTIMEDIA DI INDONESIA
Oleh BESAR (Mei 2016)
Bagaimana Politik Hukum Penanganan masalah Kekayaan Intelektual? Konsep pembangunan ekonomi di Indonesia yang diadopsi dari konsep pembangunan di negara-negara Eropa maupun Amerika Serikat, semakin mendapatkan kritik dari berbagai pihak, terutama dari para ahli ilmu sosial yang menyebutkan: “pembangunan yang sangat berfokus pada pertumbuhan, yang menempatkan uang sebagai yang paling pokok” (capital centered development), memang telah berhasil dengan gemilang mewujudkan kemakmuran tetapi gagal mewujudkan kesejahteraan yang lebih merata, bahkan sebaliknya banyak membawa masalah yang sulit dicari pemecahannya.
Sistem hukum yang ditujukan untuk mendukung pembangunan ekonomi, tentu tidak lepas dari kritik tersebut di atas, karena dirasa bahwa hukum positif Indonesia (terutama pada masa Orde Baru) berpola pada kerangka pembangunan ekonomi seperti terlihat pada peraturan perundang-undangan di bidang kekayaan intelektual (selanjutnya disingkat KI). Perundang-undangan KI merupakan “… body of law concerned with protecting both cretive effort and economic investment in creative effort”.
Masyarakat negara berkembang di dunia seperti Indonesia, merupakan masyarakat transformasi dari masyarakat tradisional ke masyarakat industri. Ketika globalisasi dan pembangunan dan budaya barat kemudian menjadi paradigma yang dipakai dalam pembangunan ekonomi negara berkembang seperti Indonesia, sistem hukum ekonomi negaranya tentu berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung kepada kehidupan masyarakat.
Karya-karya seni tradisional, teknik-teknik tradisional yang telah lama “hidup” dalam masyarakat tradisional sampai pada hasil dari rekayasa teknologi canggih, dianggap sebagai suatu aset yang bernilai ekonomis. Terdapat beberapa kasus KI yang terkenal tatkala traditional knowledge maupun yang rekayasa teknologi (multimedia) menjadi objek atau sumber perselisihan hukum. Sebagai contoh: masalah pembatalan paten Shisedo atas ramuan tradisional Indonesia, Kasus paten baswati rice antara India dan perusahaan multanasional (MNC) Amerika Serikat, paten tempe di Amerika Serikat, dll.
Akibat hal di atas paradigma dalam melihat suatu karya tradisional di negara berkembang cenderung berubah. Dari suatu objek yang perlu tetap dijaga “kegratisannya” menjadi objek yang bernilai ekonomis. Negara yang merasa memiliki kekayaan budaya dan sumber daya alam mulai melihat bahwa traditional knowledge harus dioptimalkan dalam kompetisi perdagangan di
tingkat internasional. Pembicaraan traditional knowledge menjadi wacana dalam berbagai forum Internasional.
Apakah yang menjadi isu-isu pokok dalam pembicaraan multimedia dalam perlindungan KI?Seberapa jauh sistem perlindungan KI mengatur multimedia di Indonesia? Apa implikasinya pada perkembangan kewirausahaan, dan ekonomi terhadap perlindungan HKI multimedia? Apakah hukum KI yang ada di Indonesia saat ini tepat atau cocok dengan budaya dan tingkat perkembangan ekonomi yang dimiliki Indonesia dan apakah hukum KI dapat memenuhi hasrat kebutuhan dan kepentingan rakyat Indonesia?
Dalam penelaahan ini, penulis mencoba melihat dari sisi lain dengan berlandaskan asumsi bahwa sistem KI adalah juga sistem hukum yang harus dapat dilihat sebagai suatu yang tidak normatif, keharusan-keharusan, tetapi mencoba melihat sistem hukum yang harusnya berasal dari kebutuhan masyarakat, dan tercipta untuk kepentingan masyarakat. Memang menjadi suatu yang tidak mungkin karena pranata hukum di Indonesia sudah tercipta sedemikian rupa.
Dalam pembahasan tentang KI Multimedia ini, penulis melihat bahwa hukum KI merupakan salah satu bagian sistem hukum yang merupakan salah satu bagian tatanan nilai dalam masyarakat. Norma-norma perlindungan KI dicoba dilihat dari berbagai sudut kepentingan di luar dari hukum KI itu sendiri, sehingga KI tidak bisa tidak merupakan sistem yang dipengaruhi masyarakat dan mempengaruh masyarakat baik di tatanan masyarakat tradisional maupun masyarakat modern. Di lingkup Internasional sistem KI juga dapat dilihat sebagai suatu sistem hukum yang dijadikan sarana perlindungan kepentingan dua pihak yang saling berhadapan, yaitu: negara maju (developed countries) dan negara berkembang (developing countries).
Apabila digunakan pandangan penganut teori critical legal studies, maka hukum adalah produk politik.Jadi, hukum KI adalah produk politik yang merupakan tarik ulur atau paling tidak ada saling pengaruh mempengaruhi antar kepentingan antara negara berkembang dengan negara maju.
Konsep perlindungan KI di tingkat Internasional dalam TRIPS Agreement maupun dalam konvensi internasional lainnya, serta penerapan peraturan perundang-undangan KI terlihat adanya kepentingan yang tarik menarik dalam masyarakat, sehubungan dengan perkembangan rekayasa multimedia.
Tidak mudah untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan multimedia karena hal ini merupakan masalah dalam pembicaraan sistem KI di dunia internasional. Istilah multimedia yang merupakan perpaduan dari kata multi dan media. Kata “multi” berarti banyak atau lebih dari satu, sedangkan kata “media” berarti sarana atau piranti untuk berkomunikasi. Istilah “multimedia” berawal dari teater, bukan komputer. Pertunjukan yang memanfaatkan lebih dari satu medium di panggung sering kali disebut sebagai multimedia. Dalam sebuah pertunjukan teater multimedia meliputi beberapa media antara lain video, syinthesized band dan karya seni manusia sebagai bagian dari pertunjukan. Istilah multimedia digunakan untuk menjelaskan suatu sistem yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak dan alat–alat lain seperti televisi, monitor, video dan sistem piringan optik atau sistem stereo, untuk menghasilkan penyajian audio visual penuh.
Multimedia memanfaatkan komputer untuk membuat dan menggabungkan teks, grafik, audio, gambar bergerak ( video dan animasi ) dengan menggabungkan link dan tool yang memungkinkan pemakai melakukan navigasi, berinteraksi, berkreasi, dan berkomunikasi. Perangkat lunak aplikasi multimedia merupakan aplikasi-aplikasi yang dibuat oleh personal atau organisasi untuk user yang beroperasi dalam bidang-bidang multimedia spesifik seperti grafik 2D, modeling dan animasi.
Dalam dua dekade terakhir ini, hukum KI telah menjadi hukum yang termasuk paling cepat berkembang dan paling dinamis. Reformasi dan rekonseptualisasi yang cukup impresif di bidang hukum KI, ternyata masih belum begitu menyadarkan pada masyarakat Indonesia terhadap hukum KI. Latar belakang sejarah dan budaya menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih berpegang pada norma-norma adat yang komunal atas hasil karya intelektual. Masyarakat menganggap bahwa sistem KI yang ada di Indonesia bukan tumbuh dari rakyat Indonesia sendiri, melainkan datang dari negara-negara barat yang memiliki kepentingan ekonomi dan nilai-nilai budaya yang sangat berbeda dari yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Rupanya faktor ini mempunyai peran yang cukup besar terhadap sulitnya penegakan hukum KI di Indonesia. Adanya kecenderungan di antara orang-orang Indonesia untuk tidak mempedulikan keberadaan hukum KI dan penegakannya.
Terkait dengan pemanfaatan multimedia dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa, maka kita harus mengembalikan kepada konteks yang mendasar sesuai politik hukumnya yaitu ke arah mana negara akan memberdayakan atau membangun masyarakatnya, di era modernisasi, globalisasi yang sudah tak terbendung lagi. (***)