MEMPANCASILAKAN KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
Oleh BESAR (Mei 2016)
Ulasan ini untuk menyampaikan mengenai ketatanegaraan setelah reformasi bergulir. Dengan suatu pemikiran bahwa Konstitusi (UUD) melandasi praktik-praktik ketatanegaraan yang berjalan atau UUD sebagai landasan operasional ketatanegaraan Republik Indonesia. UUD 1945 pada masa Orde Baru praktis tidak mengalami perubahan sama sekali karena UUD dianggap sebagai dokumen yang sakral yang tidak boleh sembarangan dalam melakukan perubahannya. Kegiatan mengoreksi UUD 1945 harus dilakukan dengan sangat rigid, dengan cara-cara yang rumit dan melalui prosedur yang cukup berat. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar pembangunan nasional yang dicanangkan tetap berjalan dengan baik dan lancar. Semua lembaga diarahkan untuk berkonsentrasi kepada upaya pembangunan yang berkelanjutan dengan menekankan pembangunan di bidang ekonomi dan stabilitas nasional.
Dengan tekad untuk menjaga agar pembangunan nasional berjalan tertib, maka pemikiran dan upaya-upaya yang mengarah kepada perubahan UUD 1945 sangat dicegah dan bahkan dilarang. Kekuatan untuk mempertahankan UUD 1945 untuk tidak diubah diperkuat oleh adanya kewenangan yang luas yang dimiliki oleh lembaga kepresidenan. Kekuasaan Presiden yang lebih besar menurut UUD 1945 ini juga menjadi sarana yang sangat kuat dan ampuh untuk mempertahankan kekuasaan. Upaya untuk mempertahankan UUD 1945 diperkuat dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum.
Beberapa saat setelah jatuhnya kepemimpinan Presiden Soeharto, (sebagian) masyarakat menginginkan bahwa kekuasaan lembaga kepresidenan harus dikurangi atau dibatasi dan meningkatkan kekuasaan lembaga legislatif sebagai wakil rakyat. Tuntutan untuk mengamandemen UUD semakin tidak bisa dibendung, maka dari itu sebagian anggota MPR bersepakat untuk melakukan amandemen UUD 1945. Dalam upaya untuk melaksanakan perubahan terhadap UUD 1945, MPR terhalang oleh TAP MPR itu sendiri yakni TAP MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum. Maka dari itu sebelum melakukan perubahan terhadap UUD 1945, MPR dalam Sidang Istimewa MPR tahun 1998 terlebih dahulu mencabut Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983. Keputusan tersebut menjadi era baru dalam sejarah konstitusi dan ketatanegaraan Indonesia. Susunan ketatanegaraan Indonesia dalam perspektif konstitusional telah mengalami perubahan yang signifikan pasca-amandemen UUD 1945. Melalui rangkaian amandemen yang dilakukan dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, MPR telah mengubah secara signifikan dan telah menggeser paradigma bangungan ketatanegaraan Indonesia.
Bisa kita lihat dan kita baca dalam perubahan terhadap UUD 1945 yang sedemikian banyak dengan membongkar hampir seluruh naskah asli. Perubahan tersebut bersifat sangat mendasar karena mengubah prinsip kedaulatan rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR menjadi dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Perubahan yang mendasar tersebut menyebabkan hilangnya lembaga tertinggi negara (MPR yang semula sebagai lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi biasa) dengan demikian, semua lembaga negara dalam UUD 1945 berkedudukan sederajat. Hadirnya Dewan Perwakilan Daerah, seolah melengkapi suasana demokratis di Indonesia, dengan merubah parlemen yang menjadi Bikameral. Pada sisi yudisial, hadirnya Mahkamah Konstitusi diharapkan memberikan warna keadilan seperti yang diharapkan dari sila ke-2 dan sila ke-5 Pancasila.
Harus kita sadari bahwa Pancasila adalah sebagai akar atau dasar dari ketatanegaraan Indonesia. Pancasila sebagai filosofische grondslag, sebagai dasar negara Indonesia. Maka dari itu harus diimplementasikan ke dalam seluruh ranah kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak diketahui persis apakah dengan mengamandemen UUD 1945 sebagai wujud nasionalisme, kesatuan dan persatuan yang sejati atau ranah kristalisasi keinginan individu. Pancasila sebenarnya sedang dipertahankan atau sedang dalam upaya pelunturan greget Pancasilais secara halus. Pancasila seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah tekad, semangat, jiwa bangsa dan cita hukum (rechtsidée), yang harus di implementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, melalui pembentukan pembentukan peraturan perundang-undangan.
Upaya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetap mempertahankan Sistem Pemerintahan Presidensial, dan perubahan dilakukan dengan cara “adendum”, seperti yang terjadi pada kesepakatan Panitia Ad Hoc I MPR pada saat itu adalah upaya yang baik dalam rangka “mempancasilakan Ketatanegaraan Republik Indonesia”. Kesepakatan tersebut apabila dipahami maka kita bisa menemukan makna bahwa: dengan tidak mengubah Pembukaan UUD 1945 sudah tentu didasari oleh sebuah kesadaran bersama bahwa di dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat nilai dasar dibangunnya negeri ini. Pada pembukaan itu pula, Pancasila sebagai dasar negara dinyatakan dengan tegas setelah menyatakan dengan tegas pula tujuan dari didirikannya bangsa Indonesia (melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial). Ada adagium pada saat itu yang membela agar Pembukaan UUD 1945 tidak diubah yakni: “Mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 berarti Pembubaran Negara”. Agaknya adagium tersebut memang harus kita pahami betul-betul apabila Negara Republik Indonesia tidak ingin bubar. (***)