“IUS CONSTITUTUM” DALAM KASUS PERKOSAAN TERHADAP ANAK
Oleh ERNA RATNANINGSIH (Mei 2016)
Peristiwa perkosaan dan pembunuhan terhadap YY di Rejang Lebong (Bengkulu) yang dilakukan oleh sekelompok remaja (gang rape) di Bengkulu telah menyita perhatian publik. Diikuti dengan merebaknya kasus perkosaan lainnya yang tidak kalah menyedihkan dan memprihatinkan yaitu kasus dugaan pemerkosaan terhadap 58 anak di bawah umur di Kediri, Jawa Timur, yang dilakukan pengusaha Sonni Sandra.[1]
Berbagai tanggapan muncul baik dari akademisi yang menganalisis bahwa penyebab pelaku melakukan tindakan keji terhadap korban akibat terpaparnya pelaku pada konten pornografi dinilai sebagai faktor yang lebih dominan sedangkan alkohol yang ditenggak pelaku hanya sebatas pemicu.[2] Wakil Ketua Komisi VIII, Sodik Mudjahid menyatakan kita dalam kondisi darurat kekerasan terhadap anak sehingga hukuman kebiri bahkan hukuman mati segera diberlakukan pada pelaku.[3] Bahkan Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPAI) akan mengadvokasikan ke kementrian teknis dan Mahkamah Agung untuk mengajukan pemberatan hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak dari mulai kebiri hingga hukuman mati juga hukuman lainnya yang bersifat sanksi sosial.[4] Hal senada juga disampaikan oleh Menteri Sosial yang meminta pelaku tidak hanya dipidana tapi juga dikenakan hukuman kebiri, sedangkan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyatakan selain dikebiri juga diberikan hukuman seumur hidup penjara atau ditembak mati (nyawa dibayar nyawa).[5] Sejumlah organisasi swadaya masyarakat dan individu juga menyerukan agar negara dan DPR bertanggung jawab dan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).[6] Kemarahan terhadap peristiwa perkosaan yang di luar batas kemanusian menimbulkan tuntutan kepada aparat penegak hukum untuk menjatuhkan hukuman pidana seberat-beratnya kepada pelaku antara lain hukuman pidana mati, kebiri, hukuman pidana penjara seumur hidup dan hukuman sanksi sosial. Desakan publik yang mewakili rasa keadilan korban dan masyarakat apakah dapat dipenuhi dengan sistem pemidanaan yang berlaku saat ini di Indonesia.
Hukum yang berlaku terhadap kasus perkosaan (Ius Constitutum)
Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental yang merupakan warisan dari Belanda. Prinsip utama dari sistem hukum Eropa Kontinental ialah bahwa hukum itu memperoleh kekuatan mengikat karena berupa peraturan yang berbentuk Undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi[7]. Kepastian hukumlah yang menjadi tujuan hukum. Kepastian hukum dapat terwujud apabila segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup diatur dengan peraturan tertulis. Hakim dalam hal ini tidak bebas dalam menciptakan hukum baru karena hakim hanya menerapkan dan menafsirkan peraturan yang ada berdasarkan wewenang yang ada padanya[8]. Hukum positif (peraturan tertulis) yang berlaku di Indonesia untuk tindak pidana perkosaan adalah berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) untuk pelaku dan korban dewasa. Sedangkan untuk pelaku dewasa dan korban adalah anak atau pelaku dan korban adalah anak maka hukum yang digunakan diatur di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak). Oleh sebab itu, pasal-pasal di dalam KUHP dan UU Perlindungan anak yang mengatur ketentuan tentang perkosaan adalah Ius Constitutum yaitu hukum yang berlaku pada saat ini [9].
Dalam kasus YY, pelaku kasus perkosaan YY berjumlah 14 (empat) orang yang 7 (tujuh) orang di antaranya adalah anak-anak dan korbannya sendiri adalah anak. Sementara untuk kasus di Kediri, pelaku adalah orang dewasa dan korban adalah anak. Ancaman hukuman untuk pelaku perkosaan terhadap anak berdasarkan pasal 81 ayat (1) juncto pasal 76 D dan UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain dan apabila melanggar dikenakan pidana penjara paling singkat lima tahun dan maksimal 15 tahun, dan/atau denda Rp 5 miliar. Apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kematian, maka hukumannya mengacu pada pasal 80 ayat 3 UU Perlindungan Anak adalah penjara paling lama 15 belas tahun, dan/atau denda Rp 3 miliar. Apabila pelakunya adalah anak maka lamanya pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak paling lama ½ (satu perdua) dari maksimun ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Curup telah menjatuhkan putusan terhadap tujuh terdakwa kasus perkosaan dan pembunuhan YY dengan 10 tahun penjara sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum selama 10 tahun terhadap pelaku anak. Tim Cahaya Perempuan Women Crisis Center (WCC) menilai putusan pengadilan itu cukup ringan dan belum memberi rasa keadilan bagi keluarga korban. Mereka mengusulkan hukuman seumur hidup atau dikebiri[10]. Menurut UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang juga memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (pelaku), yang melihat penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak antara lain disebabkan oleh faktor diluar diri anak tersebut. Data anak yang berhadapan dengan hukum dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menunjukkan tingkat kriminalitas serta pengaruh negatif penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif semakin meningkat.[11] Adapun pidana pokok bagi anak terdiri atas:[12] pidana peringatan, pidana dengan syarat (pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat dan pengawasan), pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga dan penjara. Sedangkan pidana tambahan terdiri atas: perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, pemenuhan kewajiban adat. Selanjutnya dalam Pasal 81 ayat (6) UU Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. Berdasarkan ketentuan hukum yang ada, maka putusan yang dijatuhkan terhadap pelaku anak dalam kasus perkosaan YY di Bengkulu merupakan putusan maksimal yang dapat dijatuhkan terhadap anak.
Di sisi lain dalam perkara terdakwa SS, seorang pengusaha yang memperkosa puluhan anak di Kediri, dijatuhi hukuman oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kota Kediri dengan kurangan penjara 9 (Sembilan). Hukuman ini lebih rendah dari permintaan Jaksa yang menuntut hukuman 13 (tiga belas) tahun. Putusan itu disambut kecewa para pendamping korban dan akitifis perlindungan anak di Kediri[13]. SS juga menerima putusan vonis 10 tahun penjara dan denda Rp. 300 juta subsider 5 bulan penjara dari tuntutan JPU yang mengajukan tuntutan 14 tahun dan denda 300 juta subsider 6 bulan. Terhadap kedua putusan Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Kota Kediri dan Kabupaten Kediri, Kejaksaan Negeri Kota Kediri dan Kejaksaan Negeri Kabupaten Kediri akan mengajukan banding [14]. Perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh SS berdiri sendiri-sendiri dan tempat tindak pidana (locus delicti)-nya berbeda sehingga terhadap kedua putusan Pengadilan Negeri akan diakumulasi untuk dijatuhkan hukuman kepada SS.
Jenis hukuman yang dijatuhkan terhadap para pelaku tindak pidana perkosaan dalam dua kasus tersebut diatas adalah hukuman pidana penjara dan denda. Harapan dari masyarakat untuk menerapkan hukuman yang lebih berat kepada pelaku belum terwujud karena hakim menerapkan asas kepastian hukum (legalitas) dibandingkan rasa keadilan korban dan masyarakat. Hal ini juga dikuatkan dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHPidana memuat asas nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali, yaitu tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang terlebih dahulu menyebut suatu perbuatan yang bersangkutan sebagai delik dan memuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan atas delik itu (asas kepastian hukum). Ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Pidana ini memberikan kepastian hukum kepada pelaku yang melakukan tindak pidana dimana pelaku tidak dapat dikenakan hukuman yang tidak ada di dalam Undang-Undang. Ketentuan pidana itu harus ada dari perbuatan itu. Dengan perkataan lain, ketentuan pidana itu harus sudah berlaku ketika perbuatan itu dilakukan. Berlakunya asas legalitas memberikan sifat perlindungan pada undang-undang pidana yang melindungi rakyat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari undang-undang pidana.[15]
Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini (ius constitutum) memberikan hukuman maksimal 15 (lima belas) tahun penjara terhadap pelaku pemerkosa anak. Sehingga dalam kasus-kasus perkosaan yang menarik perhatian publik ini hukuman kebiri, hukuman mati atau hukuman seumur hidup yang disuarakan oleh publik melalui berbagai bentuk dukungan kepada korban belum dapat diberlakukan karena belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur. Putusan terhadap pelaku perkosaan yang dinilai rendah oleh masyarakat dan mencederai rasa keadilan korban dan keluarganya mendorong untuk dilakukan perubahan terhadap ketentuan hukum yang ada. Komnas Perempuan, LBH APIK, organisasi kemasyarakatan, serta pihak-pihak lainnya mendesak DPR untuk menetapkan RUU PKS sebagai salah satu RUU usulan DPR dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2016. Diharapkan RUU PKS ini dapat merumuskan hukuman yang dapat memberikan efek jera, merehabilitasi pelaku agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya setelah bebas dari hukuman, melindungi hak korban, serta memulihkan korban dari luka fisik dan psikis. (***)
*Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis, tidak mewakili pendapat dari Institusi atau Lembaga manapun.
REFERENSI:
[1] http://nasional.harianterbit.com/nasional/2016/05/15/61811/0/25/Kasus-Pengusaha-Perkosa-58-Anak-Dilaporkan-ke-Presiden-dan-DPR, diunduh pada tanggal 15 Mei 2016
[2]http://www.tribunnews.com/nasional/2016/05/07/pornografi-dinilai-punya-peran-dominan-pada-kasus-yy, diunduh pada tanggal 8 Mei 2016
[3]http://nasional.news.viva.co.id/news/read/769676-tragedi-yuyun-anggota-dpr-minta-hukuman-kebiri-diterapkan, diunduh pada tanggal 9 Mei 2016
[4]http://www.tribunnews.com/nasional/2015/10/09/kpai-hukuman-kebiri-untuk-pelaku-kejahatan-seks-pada-anak, diunduh pada tanggal 8 Mei 2016
[5]http://banjarmasin.tribunnews.com/2016/05/06/dua-menteri-cewek-jokowi-ini-punya-hukuman-mengerikan-bagi-pelaku-pemerkosaan-dan-pembunuhan, diunduh pada tanggal 8 Mei 2016
[6]http://portalkbr.com/05-2016/jangan_tunggu_ada_korban_lagi__sahkan_ruu_penghapusan_kekerasan_seksual_/80871.html, diunduh pada tanggal 8 Mei 2016
[7] Yang dimaksud kodifikasi adalah himpunan beberapa peraturan menjadi undang-undang; hal penyusunan kitab perundang-undangan.
[8] J.B Daliyo, S.H. dkk, Pengantar Hukum Indonesia, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Prenhallindo, Jakarta, 2001, hlm. 36.
[9] R. Soeroso, S.H., Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm 205.
[10] Vonis terhadap Tujuh Pemerkosa Yuyun Terlalu Ringan, www.m.okezone.com
[11] Penjelasan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
[12] Pasal 71 UU Nomor 11 Tahun tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
[13] http://portalkbr.com/05-2016/vonis_mengecewakan__ky_belum_lihat_pelanggaran_hakim_pn_kediri_/81470.html, diunduh pada tanggal 22 Mei 2016
[14] http://www.bangsaonline.com/berita/23019/divonis-10-tahun-total-hukuman-predator-anak-di-kediri-19-tahun-dan-denda-rp-550-juta, diunduh pada tanggal 23 Mei 2016
[15] D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. Ph. Sutorius, Hukum Pidana, Citra Adytia Bakti, Bandung, hlm. 3-5.
Untuk membaca kelanjutan dari artikel ini, silakan klik tautan di bawah ini:
Published at :