KASUS KEKERASAN SEKSUAL ANAK DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA
Oleh AHMAD SOFIAN (Mei 2016)
Tragis apa yang dilakukan oleh anak-anak remaja di Rejang Lebong Bengkulu terhadap YY yang juga masih belia. Meninggalnya YY meninggalkan kepedihan yang sangat mendalam. Bayangkan dia harus diperkosa secara bergantian, lalu tubuhnya dianiaya hingga meninggal dan mayatnya dilemparkan ke jurang. Perasaan kemanusiaan kita memberontak dan terpanggil untuk mengutuk atas apa yang dilakukan oleh ke-14 remaja tersebut. Bahkan sebagian besar dari kita menuntut agar pelaku dihukum berat dan tidak sedikit yang memintanya agar ke-14 orang tersebut dihukum mati. Pemerintah merespon dengan emosional dan mengancam akan menerbitkan perpu untuk mengkebiri pelaku kejahatan seksual anak.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk membela ke-14 remaja dan orang muda tersebut, tetapi ingin mendudukkan masalah ini secara lebih proporsional dan ingin menempatkan rasio dan emosi kita pada tempat yang layak. Tulisan ini ingin melihat masalah ini dari sudut pandang kriminologi. sehingga dapat dianalisa tentang aktor-aktor yang memberikan kontribusi atas timbulnya kejahatan ini serta bagaimana sebaiknya hukuman yang patut diberikan kepada pelaku.
Teori Penyebab
Dalam Krimonologi, hal terpenting yang dipelajari adalah memahami sebab-sebab timbulnya kejahatan serta bagaimana langkah-langkah dalam mengatasi kejahatan tersebut. Dalam menentukan penyebab kejahatan ada tiga aliran yang hingga saat ini masih mendominasi pemikiran pada kriminolog, yaitu aliran biologi, aliran psikologi, dan aliran sosiologi. Dalam perkembangan selanjutnya muncul aliran baru yang menggabungkan antara aliran biologi dan sosiologi, yang disebut dengan aliran biososiologi; dan gabungan antara psikologi dan sosiologi, yang disebut dengan psikososial (J. Robert Lilly,2015). Kelima aliran ini memetakan sebab-sebab timbulnya kejahatan dari faktor-faktor yang signifikan.
Aliran biologi misalnya mengatakan bahwa faktor-faktor keturunan, genetika, dan fisiologi seseorang dapat berkontribusi atas timbulnya kejahatan. Karena ini intervensi yang paling tepat adalah dengan menggunakan pendekatan medis, yaitu menyembuhkan mereka. Namun tidak semua pelaku memiliki kecenderungan faktor ini sebagai pencetus, karena bisa jadi hanya beberapa orang saja. Faktor biologi ini bisa saja karena faktor hormon seksual yang berlebihan, temparamen seseorang, IQ rendah karena bawaan lahir. Bahkan bisa karena faktor keturunan sebagaimana dikemukakan ahli forensik biologi asal Italia Cesare Lombroso dengan teori born criminal-nya. Teori ini banyak dipengaruhi oleh teori evolusi dari Charles Darwin. Dia mengatakan bahwa para penjahat itu adalah orang-orang yang dilahirkan dan bukan orang-orang yang dibentuk oleh lingkunganya. Teori ini banyak ditentang oleh ahli-ahli sosiologi dan psikologi.
Jika menggunakan pendekatan teori ini, maka sebagian anak-anak yang melakukan kejahatan adalah disebabkan oleh faktor genetika, faktor keturunan atau faktor hormonal. Karena itu maka pendekatan yang paling efektif adalah menyembuhkan mereka. Diperlukan intervensi medis untuk menyembuhkan mereka. Pendekatan hukuman tidak tepat dilakukan karena mereka adalah “orang-orang yang sial” dilahirkan menjadi jahat. Hukuman bukan jalan keluar untuk memecahkan masalah ini. Hukuman yang berat tidak akan membuat rasa takut atau memberikan efek jera kepada pelaku. Negara perlu hadir menyembuhkan mereka. Anak-anak yang melakukan kejahatan ini perlu didiagnosis secara medis. Para ahli kedokteran perlu memeriksa mereka, apakah ada faktor medis yang menjadi penyebab, dan apa tindakan medis yang harus ditempuh untuk menyembuhkan anak-anak ini.
Aliran psikologi mengatakan bahwa, faktor mentalitas pelaku menjadi penyebab, misalnya karena stres yang berkepanjangan atau karena pengaruh yang luar biasa dari orang-orang tertentu. Aliran ini lebih menekankan pada faktor individual, dan faktor-faktor yang pencetus pada diri seseorang. Tekanan psikologi juga bisa disebabkan oleh adanya faktor-faktor dari ego dan super ego yang terganggu atau tidak stabil. Sigmund Freud seorang ahli neurologis asal Austria dengan teori terkenalnya psychoanalysis mengatakan bahwa ketika seseorang tidak mampu mengendalikan ego-nya maka orang tersebut cenderung untuk berbuat jahat. Ego ini ada di alam bawah sadar, yang dipengaruhi oleh perasaan seseorang yang disebutnya dengan Id. Id ini melahirkan ego, dan ego ini akan mengekspresikan super-ego. Super-ego ini sebagai manifestasi dari ego dan ego sendiri sebagai manifestasi atas id yang dirasakan seseorang. Keputusan akhir ada di super-ego yang dikendalikan oleh ego, ketika ego terganggu, maka berpengaruh pada perilaku yang dihasilkan seseorang.
Oleh karena itu, jika dianalisis atas perilaku perkosaan terhadap YY, intervensi psikologi menjadi penting dilakukan agar kondisi pribadi anak menjadi stabil. Apakah ada ego dari anak-anak ini yang terganggu, apa yang dirasakan oleh id mereka sehingga ego mereka memerintahkan untuk melakukan kejahatan pada YY? Pertanyaan-pertanyaan ini harus bisa diurai sehingga uji psikologi terhadap seluruh tersangka perlu dilakukan sehingga dapat diketahui adakah faktor ego yang menjadi penyebab terjadinya kejahatan. Uji ini penting, agar tidak menyamaratakan bentuk hukuman yang diberikan kepada pelaku. Sekali lagi, negara diperlukan kehadirannya untuk membiayai uji ini, menempatkan ilmuwan psikologi dalam bagian untuk menemukan penyebab, sehingga anak-anak yang menjadi pelaku sesegera mungkin dipulihkan kondisi psikologi mereka.
Aliran berikutnya ingin melihat dari optik sosiologi, bahwa penyebabnya dipicu oleh kondisi lingkungan tempat anak berada, kondisi norma yang ada di sekitar tempat tinggal mereka, bahkan kondisi sosial ekonomi keluarga. Aliran ini juga mengatakan bahwa absennya negara dalam menjaga kondisi sosial, bisa menjadi atribusi munculnya kejahatan-kejahatan di sekitar kita. Emile Durkheim, seorang sosiolog dari Prancis mencetuskan teori anominya yang sangat terkenal. Dia mengatakan bahwa keadaan suatu komunitas yang kacau karena tidak adanya norma yang memagari perilaku anggota kelompok. Perilaku a-normatif juga disebabkan karena ketikdamampuan sistem sosial dalam mengontrol nilai-nilai yang seharusnya menjadi pagar dalam sebuah komunitas. Nilai-nilai ini tidak lagi hadir karena karena masing-masing anggota kelompok merasa terasing dengan nilai-nilai tersebut. Kondisi ini dapat memunculkan kekacauan dan pelanggaran hukum yang terus-menerus. Karena itu, jika nilai-nilai ini tidak mampu lagi dikendalikan oleh anggota kelompok masyarakat maka negara perlu hadir menjaga sistem nilai itu. Negara tidak bisa membiarkan sistem nilai tidak mampu lagi dikendalikan oleh masyarakat.
Dari sejumlah laporan, di lokasi tempat tinggal anak-anak yang melakukan kejahatan ternyata sangat mudah untuk mengakses “tuak” yaitu minuman lokal yang yang mengandung alkohol, dan kadang-kadang disebut dengan “bir lokal” yang dapat membuat mabuk ketika mengonsumsi minuman ini dalam kadar tertentu. Masyarakat lokal sudah tidak mampu lagi mengendalikan perilaku ini, sehingga cenderung “membiarkannya” padahal meminum tuak yang mengandung alkohol ini merupakan perilaku yang tercela. Namuan celaan ini sudah tidak mampu mencegah perilaku sebagian anak dan orang-orang muda di kampung tersebut. Inilah apa yang disebut Durkheim sebagai rusaknya sistem sosial sehingga memunculkan kekacauan, dan sayangnya negara tidak hadir untuk mencegah kerusakan yang lebih fatal.
Penutup
Jika dikaitkan dengan ke-14 anak yang melakukan pemerkosaan, penganiayaan, dan pembunuhan di Bengkulu tersebut, pertanyaannya adalah: apakah faktor yang paling dominan penyebab munculnya perilaku jahat tersebut? Apakah ada di antara remaja dan pemuda tersebut ada yang memiliki “gangguan” biologis? Apakah ada faktor-faktor sosial ikut berkontribusi? Atau apakah tekanan mental, emosi, dendam, berpengaruh pada diri individu-individu tersebut sehingga memicu perilaku tersebut?
Seperti yang dikemukakan Robet J Lilly, satu faktor saja sebenarnya kurang relevan dalam menganalisis sebab munculnya kejahatan tersebut, sehingga harus dikaitkan antara faktor sosial dan psikologi atau antara faktor biologi dan faktor sosial. Oleh karena itu negara harus mampu mencegah perilaku yang a-normatif. Negara juga harus bisa mengeliminasi faktor-faktor yang dapat menimbulkan kejahatan di dalam masyarakat, negara juga harus bisa mengenali potensi perilaku yang terdapat dalam masyarakat sehingga mampu sedini mungkin mencegah terjadinya kejahatan di dalam masyarakat. Harus mampu dibentuk sistem sosial yang dapat menangkal terjadinya kejahatan seksual pada anak-anak. Negara pun patut “dihukum” ketika terjadinya kekerasan seksual pada anak anak di dalam masyarakat yang menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi anak-anak negeri ini.
Dalam konteks hukum pidana, ketika pelakunya adalah anak-anak yang belum berusia 18 tahun, maka faktor penyebab timbulnya tindak pidana tersebut akan digali oleh pengadilan melalui hasil penelitian kemasyarakatan. Penggalian penyebab kejahatan ini menentukan hukuman yang diberikan kepada pelaku. Dalam kasus YY, maka penelitian kemasyarakatan ini menjadi penting untuk mengetahui penyebab kejahatan ini agar tidak terjadi kejadian serupa di kemudian hari. (***)
Published at :