KULIAH UMUM PROF. ABDUL MANAN TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH
Pada tanggal 16 Mei 2016, bertempat di Kampus Anggrek Kampus BINUS, dilangsungkan kuliah umum tentang penyelesaian sengketa ekonomi syariah di pengadilan agama, dibawakan oleh Ketua Muda Peradilan Agama dan Hakim MA Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.Hum. Beliau didampingi oleh Hakim Agung Dr. Amran Suadi, S.H., M.Hum., M.M. Bertindak sebagai moderator adalah Abdul Rasyid, Ph.D., dosen Jurusan Business Law BINUS.
Prof. Abdul Manan memaparkan persiapan yang telah dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia terkait keberadaan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU NO. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Paling tidak ada 14 area sengketa ekonomi syariah yang menjadi kewenangan pengadilan agama, mencakup bank syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, pengadaian syariah, dana pensiun syariah, sekuritas syariah, lembaga keuangan syariah, lembaga keuangan makro syariah, obligasi syariah (sukuk), ditambah dengan area-area kegiatan lain yang disebut bisnis syariah. Lalu, ditambah dengan wakaf melalui UU No. 41 Tahun 2004, dan zakat melalui UU No. 23 Tahun 2011, dan terakhir shadaqah.
Mahkamah Agung telah menyiapkan sarana dan prasarana, juga sumber daya para hakim melalui pendidikan formal dan informal. Beberapa peraturan perundang-undangan juga disiapkan, antara lain menyusun kompilasi hukum ekonomi syariah, hukum acara ekonomi syariah, dan sosialisasi tentang ekonomi syariah kepada seluruh masyarakat. Tercatat sekarang kasus-kasus bagi hasil (mudharabah) yang paling banyak masuk ke pengadilan agama.
Prof. Abdul Manan mencatat beberapa tantangan yang dihadapi oleh lingkugan peradilan agama. Pertama, masih berkembangnya teori Receptie yang menganggap hukum Islam lebih rendah daripada hukum yang lain, serta menghambat kemajuan, kejam, dan tidak patut dipakai dalam era globalisasi saat ini. Kedua, pengadilan agama juga dianggap sebagai pengadilan semu dan tidak perlu diurusi, sehingga akan kesulitan menangani kasus-kasus sengketa ekonomi. Ketiga, peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi syariah juga belum cukup lengkap. Masyarakat juga dinilai belum percaya pada kemampuan pengadilan agama. Mereka masih menilai lembaga keuangan syariah sama saja dengan lembaga konvensional, seperti anggapan keliru bank syriah itu masih tetap memakai riba.
Untuk peningkatan citra pengadilan agama, diperlukan waktu menumbuhkan kepercayaan masyarakat tersebut. Beliau berharap Mahkamah Agung dapat terus bekerja sama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Syariah Nasioal (DSN), Basyarnas, Dewan Pengawas Syariah (DPS), Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan lembaga keuangan lain.
Menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari mahasiswa dan dosen, Prof. Abdul Manan menyatakan bahwa DPS memang belum berfungsi dengan optimal. Penggunaan dana yang diperoleh dari perbankan syariah, misalnya, bisa saja praktiknya melenceng dari syariat Islam, sehingga terbuka untuk dilakukan pembatalan kontraknya oleh pihak kreditur. Saat ini pengadilan agama juga sudah terbuka untuk pihak-pihak non-Muslim dalam rangka menyelesaikan sengketa ekonomi, apabila mereka sudah bersepakat untuk memilih pengadilan agama sebagai forum penyelesaian sengketa di antara mereka. Lain halnya jika di dalam kontrak sudah disebutkan bahwa penyelesaian sengketanya dilakukan di Basyarnas, maka pengadilan agama tidak berwenang menangani sengketa tersebut. (***)
Published at :