PERMASALAHAN FINANSIAL “GOJEK” DAN DUKUNGAN NEGARA YANG ABU-ABU
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Mei 2016)
Nadim Makarim, CEO PT Gojek Indonesia mengumumkan bahwa saat ini perseroan membutuhkan investor baru. Kehadiran investor baru tersebut dipandang menjadi solusi untuk memperluas bisnis dengan mempertahankan tarif murah yang kompetitif (Fajrina, Hani Nur dalam <http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20160502142126-185128097/nadiem-masih-butuh-uang-untuk-kembangkan-gojek/> diakses pada tanggal 10 Mei 2016). Sebelumnya perseroan yang berdiri sejak tahun 2011 tersebut telah mendapatkan suntikan dana dari Northstar Group dengan membentuk perusahaan ventura. Semenjak mendapatkan suntikan dana tersebut bisnis perseroan terus berkembang terutama setelah diluncurkan applikasi di telepon pintar yang diikuti dengan perubahan model bisnisnya menjadi transportasi berbasis aplikasi atau yang dikenal dengan nama ride-sharing. Saat ini PT Gojek Indonesia sedang memasuki tahap ketiga dalam perjalanan suatu StarsUp yaitu tahap menjalankan operasional layaknya perusahaan besar yaitu untuk mencari keuntungan. (Ismanto, Doni, dalam <http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20151202113021-186-95419/gojek-dan-bom-waktu-ride-sharing-di-indonesia/> diakses pada tanggal 10 Mei 2016). Tahap ini menjadi penting, apakah PT Gojek Indonesia dapat menjadi perusahaan yang besar dan sukses atau sebaliknya.
Memang keberhasilan suatu StarsUp yang kemudian bertransformasi menjadi suatu perusahaan besar ditentukan oleh banyak faktor. Mulai dari aspek pendanaan, manajemen operasional, keputusan bisnis yang tepat, kepemimpinan, inovasi bisnis, dan lainnya. Dari banyaknya faktor tersebut dukungan dari negara juga memegang peranan penting. Terkait dengan hal ini, pemerintah sangat mendukung keberadaan PT Gojek Indonesia sebagai bagian dari produk ekonomi kreatif Indonesia. Presiden Joko Widodo sendiri mengapresiasi keberadaan model bisnis PT Gojek Indonesia sebagai suatu inovasi dan ide dari anak muda Indonesia serta keberadaannya memamng saat ini yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Pertanyaannya kemudian apakah dukungan tersebut benar-benar memberikan dampak yang positif bagi perkembangan PT Gojek Indonesia, terutama dari sisi kelangsungan bisnisnya. Dalam kerangka ilmu hukum, dukungan yang diberikan oleh negera tersebut harus dirumuskan dalam suatu kebijakan dan regulasi yang mendukung berkembangnya Startup tersebut. Terlebih Indonesia adalah negara hukum sehingga sudah sepatutnya semua langkah dan kebijakan pemerintah dituangkan dalam suatu peraturan tertulis yang memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Indonesia sebagai negara kesejahateraan (welfare state) memiliki kewajiban untuk membentuk undang-undang sebagai sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi warganya. Lebih dari itu negara harus terlibat aktif dalam kehidupan ekonomi dan sosial warganya untuk mewujudkan sejahteraan umum. Faktanya tidaklah demikian, negara seolah-oleh diam. Sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang menjadi payung hukum bagi kegiatan usaha moda transportasi roda dua dengan model ride sharing ini. Bahkan ketika rapat degar pendapat antara Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Menteri Perhubungan menyatakan bahwa saat ini ojek online, termasuk Gojek diperbolehkan karena sifatnya private to private dan solusi sementara untuk mengatasi permasalahan transportasi publik yang ada. Entahlah apakah sikap ini dapat dianggap sebagai dukungan atau tidak.
Dari sisi pelaku usaha, tentu saja PT Gojek Indonesia dididirikan bukan hanya sebagai solusi sementara untuk mengatasi permasalahan transportasi publik di Indonesia yang carut marut. PT Gojek Indonesia memerlukan landasan hukum untuk beroperasi secara legal dan lebih dari itu diperlukan regulasi yang jelas untuk mendukung keberlangsungan kegiatan bisnisnya dalam jangka panjang. Dapat dikatakan pemerintah memegang andil dalam permasalahan finansial yang dialami oleh PT Gojek Indonesia sehingga saat ini memerlukan investor baru. Menelaah dari model bisnis PT Gojek Indonesia, model bisnis yang digunakan yaitu ride-sharing merupakan low entry barrier businesses menyebabkan kompetitor lain mudah memasuki pasar ini. Setelah PT Gojek Indonesia beropersi banyak kompetitor lahir seperti Bluejek, LadyJek, dan bukan rahasia umum bahwa Grab Bike merupakan pesaing utama dari Gojek, bahkan saat ini Uber telah memiliki Uber Bike. Seperti yang dikemukan oleh CEO PT Gojek Indonesia, Nadim Makarim, investor baru diperlukan untuk mempertahankan tarif murah yang kompetitif. Faktanya, memang kompetisi di bidang bisnis ini sangat ketat. Masing-masing operator saling berebut market dengan menerapkan tarif murah dan promosi. Sayangnya, tidak ada batasan tarif dan promosi yang diatur sehingga para operator dengan modal yang besarlah yang dapat bertahan. Modal yang dimiliki oleh PT Gojek Indonesia tentunya tidak sebesar modal yang dimiliki oleh Grab Indonesia maupun Uber Indonesia. Kedua unit usaha tersebut merupakan pelaku usaha yang telah sukses di luar negeri sebelum masuk ke Indonesia dan memiliki modal lebih besar. Gojek mungkin tidak memerlukan suntikan dana dari investor baru jika pemerintah dari awal tegas dan cepat mengatur hal ini.
Keberadaan moda transportasi publik roda dua dengan model bisnis ride sharing ini tidak hanya dapat dilihat secara sempit dari sisi keamanan dan kenyamanan penumpang saja yang menjadi wewenang Kementerian Perhubungan. Mengenai aturan hukum ini, kurang tepat kiranya pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyatakan bahwa “Aturannya bisa transisi sampai misalnya transportasi massal kita sudah bagus, transportasi massal kita sudah nyaman, secara alami orang akan menentukan pilihannya.” (Juanita, Necy, edt.<http://jakarta.bisnis.com/read/20151218/77/503143/url> diakses tanggal 10 Mei 2016).
Sekilas tampaknya pemerintah menggampangkan kekosongan hukum mengenai moda transportasi dengan model ride sharing ini. Pada kenyatannya keberadaan moda transportasi roda dua dengan model bisnis ride sharing ini bukan lagi supplemen ataupun subtitusi bagi masyarakat akan transportasi publik, namun lebih dari itu, merupakan bisnis yang memberikan lapangan pekerjaan dan pendapatan bagi masyarakat Indonesia. Melihat dari hal tersebut, dukungan pemerintah yang diberikan saat ini tidaklah cukup tanpa ada dasar payung hukum yang jelas, karena hal ini menyebabkan berbagai permasalahan yang pada akhirnya akan mengakibatkan kekacauan.
Pada akhirnya penataan peraturan perundang-undangan yang mencangkup keseluruhan aspek dari moda transportasi roda dua dengan model ride sharing ini sangat urgen diperlukan. Peraturan pengganti undang-undang (Perpu) yang diikuti dengan peraturan di bawahnya dipandang perlu segera diterbitkan pemerintah untuk mengatasi hal ini. Dikeluarkannya peraturan tersebut harus dipandang sebagai dukungan pemerintah dan negara, bukan untuk menghambat. Tanpa adanya peraturan tertulis pada akhirnya akan mematikan keberlangsungan bisnis ini dan pada akhirnya akan merugikan masyakarat. (***)
Published at :