ALFINI LESTARI: MORALITAS POSITIF, RASA MALU, DAN AKAL SEHAT
Oleh SHIDARTA (Mei 2016)
Alfini Lestari bukan seorang pejabat publik. Ia warga biasa kebanyakan yang sehari-hari melintasi Jakarta dengan berjalan kaki di atas trotoar kota. Oleh karena itu, menarik juga mencermati sebuah harian sekelas “the Jakarta Post” merasa perlu mengangkat berita tentang seseorang bernama Alfini Lestari di halaman depan koran ini selama dua hari berturut-turut (3 dan 4 Mei 2016). Aksi nekadnya memblok para pengendara sepeda motor di jalan Sudirman (salah satu jalan paling bergengsi di ibukota negara ini) yang merampas hak-hak pejalan kaki adalah sebuah cerita menarik. Tindakannya mendemonstrasikan tentang betapa hukum positif sudah “kehilangan muka” karena tidak mampu mendidik perilaku para warganya.
Cerita ini membawa kita pada satu kesimpulan sementara bahwa hukum positif rupanya tidak memiliki kekuatan apa-apa tanpa ditopang oleh kekuatan lain yang disebut moralitas positif. Istilah “moralitas positif” kita pinjam dari John Austin dalam bukunya the Province of Jurisprudence Determined (1995). Ia menempatkan moralitas positif dalam kelompok ketiga dari tiga jenis hukum utama (three capital classes) setelah hukum Tuhan dan hukum negara. Kata “positif” di sini dilekatkannya karena sumber dari moralitas itu berasal dari manusia, bukan dari Tuhan.
Manusia tanpa harus dikaitkan dengan keyakinan agama dan kepercayaan supranatural apapun, seharusnya memiliki pegangan moralitas positif ini. Moralitas ini hadir melalui akal sehat (rasio) manusia normal pada umumnya. Moralitas positif tidak selalu harus sejalan dengan hukum positif karena bisa saja ada hukum buatan penguasa (dan itu adalah makna hakiki dari “hukum positif”) yang tidak dapat dibenarkan menurut akal sehat, tetapi tokh ia tetap eksis untuk disebut sebagai hukum. Sebagai contoh, ada lampu lalu lintas di perempatan jalan raya yang padat, yang warna hijaunya hanya menyala selama lima detik. Lampu lalu lintas itu adalah media yang memuat hukum positif dalam hal berkendaraan di jalan raya, tetapi akal sehat manusia pada umumnya tidak dapat menerima hukum positif yang tidak rasional seperti lampu lalu lintas itu. Hukum positif yang tidak didukung oleh moralitas positif biasanya tidak akan mampu bertahan lama karena langsung membuahkan penolakan dan pelanggaran bertubi-tubi, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
Lalu apakah ada kondisi sebaliknya, yakni tatkala moralitas positif yang justru bermasalah dalam rangka mencerna hukum positif? Ya, dan itulah yang kerap terlihat terkait nasib implementasi hukum positif kita. Feomena yang terjadi di mana-mana, di seantero negeri ini.
Pasal 131 ayat (1) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan tegas menyatakan, “Pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan dan fasilitas lain.” Sebelumnya, Pasal 106 ayat (2) menyatakan, “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda.” Aturan dalam hukum positif ini berlaku untuk seluruh Indonesia tanpa terkecuali. Tidak ada dalih pengecualian untuk kondisi lalu lintas yang sedang macet atau tidak macet. Hak pejalan kaki untuk berada di trotoar tidak boleh dianulir karena lalu lintas sedang macet, sehingga jalur aman untuk pejalan kaki ini menjadi boleh-boleh saja diserobot oleh pengendara sepeda motor.
Filosofi berhukum sebagaimana dirumuskan Pasal 106 dan 131 Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan itu tentu bisa diterima akal sehat, sehingga dalam hal ini moralitas positif sudah sinkron dengan hukum positif. Namun, ketika logika orang-orang normal ini ditanyakan kepada para pengendara sepeda motor yang berebutan masuk ke trotoar-trotoar kota Jakarta, jawaban mereka boleh jadi sangat berbeda. Logika yang dibangun dengan “akal sehat” dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 itu bisa mereka sangkal mentah-mentah; tentu tidak untuk mencari kebenaran, tetapi untuk pembenaran. Pembenaran bahwa ruang yang tersedia untuk bergerak hanya trotoar. “Habis, bagaimana lagi? Salah sendiri mengapa jalan dibuat sebegitu macetnya!” dalih mereka.
Seberapa jauh batas toleransi kita terhadap “logika pembenaran” seperti di atas merupakan indikator dari seberapa tinggi derajat moralitas positif suatu bangsa. Tatkala terjadi tsunami di Jepang tahun 2015, misalnya, terdapat gambar fantastis yang diambil dari udara, memperlihatkan ribuan orang berdiri antri dengan tertib menunggu giliran mendapatkan bantuan makanan dari petugas penyalur bala-bantuan. Mengapa mereka begitu tertib mengantri, padahal situasinya sudah sedemikian darurat di tengah ketidakpastian nasib sanak saudara mereka yang tersapu tsunami? Apa ilustrasi ini bisa kita bandingkan dengan antrian ratusan orang di negeri ini yang tidak bisa tertib dan harus saling serobot, bahkan meregang nyawa akibat terinjak dan terjepit, demi mendapatkan sebingkis zakat atau sebungkus daging hewan korban? Seberapa tinggi tolok ukur moralitas positif kita sebagai bangsa?
Moralitas positif akan kalah apabila logika orang-orang normal itu tadi tidak segera dimenangkan dengan cara dikembalikan dan didudukkan ke posisi yang paling minimal, yaitu posisi yang dikehendaki saat suatu bangunan hukum positif yang “ideal” dibentuk. Saya ingin menegaskan di sini bahwa apabila suatu hukum positif telah dibentuk dengan baik, maka sepantasnyalah tolok ukur pencapaian minimal atas kebenaran moralitas positif itu ada pada hukum positif. Tentu saja ini tidak lalu berarti saya memahami moralitas positif identik dengan hukum positif.
Upaya yang mempromosikan moralitas positif jelas bukan pekerjaan main-main. Jauh akan lebih mudah jika persoalannya terletak pada hukum positifnya, bukan pada moralitas positif. Gerakan seperti yang diperagakan oleh Alfini Lestari ini sangat urgen dilakukan, tapi bukan dalam skala individual, melainkan harus masif dan berkelanjutan dengan motor dan pengendali tunggalnya, yaitu negara. Sebab, pembenaran yang terus-menerus atas sesuatu tindakan yang bertentangan dengan akal sehat (bahwa pengendara sepeda motor boleh menikmati akses di trotoar), akan menggeser kebenaran yang semula melekat pada moralitas positif (bahwa pejalan kaki lebih berhak menikmati trotoar). Dengan perkataan lain, tindakan mempertontonkan pelanggaran-pelanggaran atas hukum positif yang bertentangan dengan akal sehat itu tadi, pada gilirannya akan membentuk sikap permisif yang akhirnya berbalik membenarkan abnormalitas itu. Moralitas positif mungkin sudah keluar dari jalur akal sehat, tetapi ia terpaksa diterima dengan konsensus pembenaran. Pelaku pelanggaran hukum dalam kondisi permisif seperti ini biasanya tetap mampu tersenyum lebar walaupun perilakunya disaksikan orang banyak. Fenomena inilah yang lazim kita lihat, mulai dari jalan raya sampai ke gedung KPK.
Upaya mengembalikan moralitas positif yang sejati, akhirnya jatuh pada satu kata, yaitu “rasa malu”. Kita bisa mengaitkan konsep rasa malu ini dengan “Superego” dari Sigmund Freud ketika ia berbicara tentang struktur kesadaran manusia. Menurut Freud, “Superego” adalah perasaan bersalah apabila kita melakukan sesuatu yang tidak layak dilakukan. Perasaan inilah yang memfilter perilaku agar dorongan nafsu dan tuntutan spontan yang dimunculkan oleh “Id” dapat dipertanggungjawabkan oleh si “aku” yang sadar (“Ego”).
Dalam ulasan yang lebih rumit, kita bisa saja menghubungkan kata kunci “rasa malu” atau “rasa bersalah” itu tadi dengan konsep “imperatif kategoris” dari Immanuel Kant. Di mata Kant, ada perbedaan antara moralitas dan legalitas. Dalam moralitas, sikap batin menjadi tolok ukur penting, tidak sekadar tindakan lahiriah sebagaimana telah dipandang cukup dalam konteks legalitas. Imperatif kategoris mengajak orang berbuat sesuatu karena menganggap memang kewajibannyalah untuk berbuat demikian. Bukan lagi karena ada iming-iming atau karena takut pada ancaman sanksi.
Warga negeri ini harus ditanamkan untuk makin memiliki rasa malu, yakni malu telah merampas hak pejalan kaki yang memang telah berjalan pada tempatnya; malu telah menggunakan sirene polisi dan/atau lampu rotator untuk mengelabui serta meminta akes jalan dari pengendara di depannya; malu telah menguntit ketat ambulan atau mobil jenazah di depannya agar terus-menerus bisa menyalip kendaraan di jalanan yang tengah macet (padahal ia bukan bagian dari konvoi ambulan/mobil jenazah itu); malu telah membuang sampah dari kendaraan ke atas jalan raya, dan seterusnya.
Rasa malu sebagai bagian penting dalam pelembagaan moralitas positif membutuhkan proses difusi sosial (mencakup institusionalisasi dan internalisasi) yang tidak sederhana. Upaya demikian, khususnya untuk kota-kota besar semacam Jakarta, jelas membutuhkan dukungan penuh negara. Apalah artinya Alfini Lestari dan kawan-kawan yang berdiri setiap hari merintangi pengendara sepeda motor di trotoar-trotoar Jakarta apabila tindakan mereka tidak diapresiasi secara konkret oleh Pemerintah DKI Jakarta dan Kepolisian. Perusahaan-perusahaan yang memiliki armada kendaraan di jalan-jalan raya, seperti pengusaha bus, taksi, bajaj, termasuk juga ojek online, dituntut untuk memiliki rasa malu lebih dalam lagi apabila ada pengendara yang notabene berada di bawah kendali mereka ternyata tidak menghormati etiket berlalu lintas. Sebagai contoh, pengendara Go-Jek dan Grab-bike, sepatutnya memberi contoh tentang cara berlalu lintas yang baik sehingga mereka tidak melawan arus atau berhenti sembarangan jika harus berteduh dari guyuran hujan.
Kehadiran vigilante semacam Alfini Lestari pada hakikatnya merupakan tamparan bagi negara yang terbukti absen membela warganya yang masih tersisa untuk berjuang sendiri memperlihatkan cara-cara berhukum dengan topangan moralitas positif; berhukum dengan mengedepankan rasa malu dan akal sehat! Dalam perspektif berhukum yang sehat, munculnya vigilante tidak boleh sampai dibiarkan meluas dan terorganisasi sehingga akhirnya malahan mengalahkan pamor negara. Munculnya ormas-ormas vigilante yang mengatasnamakan keyakinan tertentu, yang kerap bertindak sewenang-wenang melakukan penggeledahan, sweeping, dan lain-lain adalah wajah bopeng dari hukum Indonesia yang tidak layak dipertontonkan, apalagi diwariskan ke anak cucu kita. (***)