People Innovation Excellence

PENGGANDAAN BUKU MENURUT UU HAK CIPTA DAN PERMASALAHANNYA

Oleh BESAR (April 2016)

Dalam praktik, masih sering terjadi penggandaan karya cipta (khususnya buku) secara ilegal dilakukan oleh masyarakat luas, termasuk oleh mahasiswa, dosen, dan/atau peneliti, yang berkepentingan untuk mendapatkan akses memanfaatkan karya cipta tersebut. Fenomena ini dapat dengan mudah dijumpai dari tumbuhnya usaha-usaha fotokopi di sekitar perguruan tinggi. Usaha jasa fotokopi ini biasanya sekaligus menyediakan buku-buku teks hasil penggandaan. Ironisnya, mereka secara terang-terangan berani memajangkan buku-buku hasil penggandaan itu, tanpa peduli apakah penulis buku-buku dimaksud adalah juga dosen-dosen di perguruan tinggi di lokasi itu. Tulisan ini secara khusus akan membahas problematika terkait penggandaan buku, sejalan dengan pengaturannya di dalam  UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, tepatnya pada  Pasal 9 ayat (3) dinyatakan: “Setiap orang yang tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta dilarang melakukan penggandaan dan/atau penggunaan secara komersial ciptaan”. Pasal 10 dari undang-undang yang sama berbunyi “Pengelola tempat perdagangan dilarang membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang basil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya”.

Namun, menurut Pasal 44, tidaklah dianggap sebagai pelanggaran untuk tindakan atau kondisi sebagai berikut:

  1. Penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau pengubahan suatu ciptaan dan/atau produk hak terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan:  (a) pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta; (b) keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan; (c) ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau (d) pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
  2. Fasilitasi akses atas suatu ciptaan untuk penyandang tuna netra, penyandang kerusakan penglihatan atau keterbatasan dalam membaca, dan/atau pengguna huruf braille, buku audio, atau sarana lainnya, tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap, kecuali bersifat komersial.
  3. Dalam hal ciptaan berupa karya arsitektur, pengubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitasi akses terhadap ciptaan bagi penyandang tuna netra, penyandang kerusakan penglihatan dan keterbatasan dalam membaca dan menggunakan huruf braille, buku audio, atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sementara pada Pasal 46 ayat (1) dijelaskan bahwa penggandaan untuk kepentingan pribadi atas ciptaan yang telah dilakukan pengumuman hanya dapat dibuat sebanyak 1 (satu) salinan dan dapat dilakukan tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta. Lebih lanjut dalam ayat (2) penggandaan untuk kepentingan pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencakup:

  1. karya arsitektur dalam bentuk bangunan atau konstruksi lain;
  2. seluruh atau bagian yang substansial dari suatu buku atau notasi musik;
  3. seluruh atau bagian substansial dari database dalam bentuk digital;
  4. program komputer, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1); dan
  5. penggandaan untuk kepentingan pribadi yang pelaksanaannya bertentangan dengan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta. telah diatur tentang pelanggaran hak cipta terkait dengan penggandaan buku, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan secara ekonomis.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta terkait larangan penggandaan buku belum berhasil terlaksana dengan baik, sebagaimana terihat dari masih maraknya penggandaan buku yang dilakukan, misalnya oleh mahasiswa dan pengelola usaha fotokopi (dengan motif untuk memperoleh keuntungan secara ekonomis). Perilaku seperti ini tentu harus mulai ditertibkan.

Tentu akar permasalahan yang melatarbelakangi maraknya penggandaan buku, terutama oleh kalangan pelaku pendidikan dan peserta didik, perlu juga ditelusuri. Latar belakang yang paling banyak terlihat, khususnya untuk penggandaan di tingkat pendidikan tinggi adalah karena kesulitan mencari literatur tersebut di pasaran. Hal ini terutama berlaku untuk karya literatur asing. Penyebab lain, boleh jadi juga karena buku tersebut sudah tidak lagi dicetak ulang, sehingga pihak penerbit dan toko buku juga tidak lagi memiliki ketersediaan stok.

Hal lain lagi sebagai penyebab munculnya tindakan penggandaan adalah karena harga buku di Indoensia masih terbilang mahal menurut ukuran kantong pelaku pendidikan dan peserta didik. Buku-buku di lapangan ilmu kedokteran termasuk dalam kategori ini. Repotnya lagi, buku-buku teks  tersebut biasanya memuat gambar warna-warni. Untuk menjamin kualitas pewarnaannya, buku-buku itu harus dicetak dengan kertas khusus. Apabila digandakan, bahkan dengan teknik printing berwarna canggih sekalipun, hasilnya tidak akan pernah sebagus cetakan aslinya. Namun, terkadang pilihan untuk tetap menggandakan buku-buku itu tetap ditempuh oleh pelaku dan peserta didik kita, demi alasan efisiensi.

Khusus untuk dunia pendidikan, problematika sebagaimana digambarkan di atas, kiranya perlu ada langkah konkret dari pemerintah untuk dicarikan jalan keluarnya. Pemerintah harus membantu memudahkan pelaku pendidikan dan peserta didik mengakses buku-buku tertentu, yang memang berkualitas dan direkomendasikan sebagai bacaan wajib. Upaya dengan membeli hak cipta atas buku itu dan kemudian memberi akses secara luas dalam versi digital untuk kepentingan dunia pendidikan kita adalah suatu solusi yang paling masuk akal saat ini. Sayangnya, lagi-lagi langkah yang bernas ini tidak cukup digalakkan, terutama untuk kebutuhan dunia pendidikan tinggi Indonesia. Akhirnya, langkah paling pragmatis yang bisa ditempuh adalah… lagi-lagi dengan penggandaan yang sebenarnya hanya menguntungkan pengusaha fotokopi. (***)


BESAR


Published at : Updated
Leave Your Footprint
  1. Bagaimana dengan buku2 lama (tua) dengan usia penerbitan diatas 20-25 tahun (yang penulisnya sendiri telah meninggal). Apakah dapat dilakukan reproduksi tanpa perlu izin penerbit dan penulisnya?
    Terimakasih atas jawabannya…

    • Tetap harus dengan seizin dari ahli waris dari pencipta (dalam hal ini penulis buku), sebab perlindungan hak cipta adalah 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Kalau penulisnya lebih dari satu orang, maka perhitungannya adalah 70 tahun setelah penulis yang meninggal dunia paling akhir.

  2. Apakah judul buku yang sama namun beda isi dan diterbitkan dalam dua penerbit yang berbeda termasuk pelanggaran hak cipta? Yang sama hanya judul bukunya.

    • Tentu saja tdak. Judul buku tidak sama dengan merek dagang.

  3. Mohon penjelasannya bagaimana dengan orang tua murid yang memfotocopy buku dikarena faktor ekonomi, dimana harga lebih murah daripada membeli buku

  4. Dear Binus,

    Saya kuliah disalah satu perguruan tinggi swasta di Pekanbaru. Saya sekarang semester 3 dan ada salah satu mata kuliah yang saya ambil yang mana kami di suruh untuk membayar Rp 15.000-; per mahasiswa kepada dosen pengampu dengan alasan hak cipta buku berbentuk PDF. Didalam buku juga tidak ada aturan hak cipta atau buku tersebut sudah terdaftar di pemerintah atas hak cipta Dosen. Dan kejadian ini memang diterapkan kepada seluruh kelas dimana Dosen tersebut mengajar. Apakah boleh seorang Dosen meminta hak cipta buku (soft file) kepada mahasiswa? Jika kami bandingkan dengan Dosen lain, tidak ada yang meminta hak cipta bukunya kepada kami atau mengharuskan untuk beli bukunya.

    Mohon penjelasannya san terima kasih.

    • Tidak ada istilah meminta “hak cipta”. Mungkin yang Anda maksud “meminta royalti” karena buku tersebut ditulis oleh dosen yang bersangkutan.
      Jika ini terjadi berarti dosen itu menjual bukunya sendiri, sekalipun bentuknya adalah e-book atau soft-file, menurut istilah Anda.
      Apabila buku itu karangan orang lain, dan dosen tersebut tidak mendapat izin dari pencipta atau pemegang hak ciptanya (untuk memperbanyak dan mengkomersialkannya), maka dosen itu sebenarnya sudah melanggar UU Hak Cipta. Seorang dosen boleh menganjurkan mahasiswanya untuk membaca buku karangannya, tetapi sangat disarankan untuk tidak memaksa mahasiswa untuk membeli. Di berbagai perguruan tinggi, pembelian buku dikoordinasikan oleh unit khusus, sehingga mahasiswa tidak berhubungan langsung dengan dosen yang bersangkutan.

  5. Apakah mengkonsumsi pdf yang mudah diunduh sendiri ataupun dikirim orang lain ke grup, sama halnya dengan melanggar UU Hak Cipta dan merugikan penulis ataupun penerbit? Mohon pencerahannya.

    • Kemudahan mengunduh atau memperoleh suatu karya cipta orang lain tidak otomatis berarti menghilangkan hak cipta pada karya itu.

  6. Terima kasih atas penjelasan. Bagus dan komprehensif. Namun, ada yang masih bingung bagi saya, bagaimana dengan mengutip tulisan dari buku yang dianggap menarik seperti membuat gambar berupa kutipan/quotes teks dari buku lalu di sebarkan di sosial media untuk sekedar sharing ke teman-teman, apakah termasuk pelanggaran atau bukan? Terima kasih.

    • Mengutip tentu saja boleh, sepanjang menyebutkan sumbernya. Jadi, ada kejujuran terkait orisinalitas karya itu, sekaligus penghormantan terhadap hasil karya orang lain. Tentang bagaimana cara pengutipannya, silakan dipelajari melalui berbagai model pengutipan yang sudah lazim dipakai dalam dunia akademik.

  7. Apakah mengambil gambar dari internet untuk dimasukkan kedalam buku atau poster yang akan kita lombakan merupakan suatu pelanggaran hak cipta? Bagaimana cara mengatasinya?

    • Sangat bergantung apa gambar yang diambil, mengingat ada saja gambar yang tidak dilindungi hak cipta, seperti lambang-lambang kenegaraan. Untuk gambar yang ada hak ciptanya, sebaiknya penulis minimal dapat menyebutkan sumbernya (lebih baik lagi jika meminta izin langsung dari pemegang hak ciptanya).

  8. Jika mengambil soal2 di buku pelajaran untuk di bahas di akun medsos, apakah itu jg merupakan pelanggaran? Mohon penjelasannya. Terimakasih

    • Sepanjang gagasannya Anda ambil dari sumber orang lain, sangat disarankan Anda menghormati sumber tersebut. Silakan cantumkan sumbernya sebagai referensi. Penulisan sumber seperti itu adalah bentuk kejujuran yang tidak merugikan Anda dan justru menunjukkan keluasan bacaan Anda.

Periksa Browser Anda

Check Your Browser

Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

We're Moving Forward.

This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

  1. Google Chrome
  2. Mozilla Firefox
  3. Opera
  4. Internet Explorer 9
Close