BANK SYARIAH VERSUS BANK KONVENSIONAL
Oleh ABDUL RASYID (April 2016)
Sebagai salah satu lembaga keuangan perantara (intermediary financial institution), bank syariah dan bank konvensional mempunyai fungsi yang sama, yakni menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Meskipun mempunyai fungsi yang sama, setidak-tidaknya terdapat beberapa perbedaan yang mendasar di antara keduanya. Tulisan ini akan menjelaskan secara singkat perbedaan-perbedaan tersebut.
Pertama, dari segi operasional, bank syariah dalam menjalankan aktivitasnya mesti berdasarkan prinsip syariah. Prinsip syariah, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 (12) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, adalah ‘prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.” Berdasarkan pasal tersebut dapat dipahami yang dimaksud dengan ‘prinsip syariah’ adalah prinsip hukum Islam yang berbentuk fatwa; dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, dalam hal ini Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Fatwa DSN-MUI mesti dipatuhi oleh lembaga perbankan dan keuangan syariah di Indonesia. Berbeda dengan bank syariah, bank konvensional berdasarkan kepada prinsip sekuler yang terbebas dari nilai-nilai agama. Dengan kata lain aktivitasnya berdiri sendiri, terpisah dari pengaruh agama atau kepercayaan tertentu. Bank konvensional bebas melakukan kegiatan apa saja selama tidak diatur dan melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di samping itu, bank syariah juga tidak boleh berpartisipasi dalam kegiataan ekonomi yang tidak sesuai dengan syariah, seperti memberikan pembiayaan bisnis perjudian, alkohol, dan prostitusi. Namun batasan ini tidak berlaku bagi bank konvensional. Bank konvensional bebas membiayai kegiatan apa saja, termasuk yang dilarang dalam bank syariah, selama kegiatan itu bisa menghasilkan keuntungan.
Kedua, berbeda dengan bank konvensional yang melakukan kegiatannya berbasiskan bunga, bank syariah melakukan kegiatannya tidak berbasiskan bunga (interest free), tapi berdasarkan prinsip bagi untung dan rugi (profit and loss sharing). Berdasarkan prinsip ini, keuntungan dan kerugian dibagi dan ditanggung secara bersama. Kemudian dalam memberikan pembiayaan, bank syariah berdasarkan kepada prinsip jual beli aset/barang (murabahah), yaitu harga jual termasuk keuntungan yang diperoleh. Apabila pembayaran dilakukan secara cicilan, maka harga barang tersebut tidak mengalami perubahan (fixed) dari awal sampai akhir.
Memang ada yang mengatakan bahwa pembiayaan bank syariah lebih mahal dibandingkan dengan bank konvensional, namun apabila kita melihat ke depan, manfaatnya akan terasa, terutama dalam pembiayaan jangka panjang, ketika harga tidak akan mengalami perubahan meskipun dalam kondisi krisis ekonomi sekalipun. Berbeda halnya dalam pembiayaan (kredit) yang diberikan oleh bank konvensional, harga barang bisa mengalami perubahan (fluctuating) berdasarkan tingkat suku bunga. Secara umum cicilan yang dibayar jarang mengalami penurunan, tapi selalu mengalami kenaikan. Kenaikan pembayaran cicilan akan lebih terasa ketika ekonomi mengalami krisis di mana suku bunga melambung tinggi.
Ketiga, terkait dengan denda keterlambatan dalam membayar (finalty on defaulter). Dalam bank syariah tidak ada ketentuan untuk membebankan uang tambahan (additional money) bagi nasabah yang default. Berdasarkan fatwa DSN-MUI No. 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran mengatur apabila nasabah tidak bisa membayar dikarenakan force majeur, maka ia tidak boleh dikenakan sanksi. Sanksi dalam bentuk denda bisa diberikan apabila nasabah yang mampu sengaja menunda-nunda pembayaran atau mempunyai iktikad tidak baik untuk membayar. Sanksi bertujuan agar nasabahnya disiplin dalam menjalankan kewajibannya. Sanksi tersebut dapat berbentuk uang yang besarnya dibuat saat akad ditanda-tangani. Yang penting untuk dicatat dana yang diperoleh dari denda tidak dimasukkan sebagai keuntungan bank namun diperuntukkan sebagai dana sosial. Berbeda dengan bank syariah, dalam bank konvensional, nasabah yang default akan dibebankan uang tambahan (bunga). Bunga ini akan berbunga kembali apabila nasabah tidak mampu membayar di waktu berikutnya sehingga tagihan akan semakin membesar jumlah. Hal ini dikenal dengan istilah compound of interest.
Keempat, dalam setiap bank syariah diwajibkan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS), sedangkan dalam bank konvesional tidak harus ada. Menurut Pasal 32 ayat 1 & 3 menyatakan bahwa ‘Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah.”
Kelima, terkait dengan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana yang telah penulis jelaskan dalam tulisan penulis yang berjudul ‘hukum perbankan syariah di Indonesia’, bank syariah awalnya diatur dalam UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian diamendemen dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Tahun 2008, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah disahkan sehingga bank syariah mempunyai UU khusus. UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang diamendemen dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 dan peraturan pelaksanaanya dinyatakan tetap berlaku berlaku selama tidak bertentangan dengan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (lihat Pasal 69). Di samping UU tersebut, bank syariah juga harus patuh dengan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh BI / OJK dan fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI. Sementara itu, bank konvensional hanya cukup patuh pada UU Perbankan dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh BI/OJK saja. Wallahu ‘alam (***)