People Innovation Excellence

KEBEBASAN PERS YANG KEBLABASAN: KETIDAKBERIMBANGAN PEMBERITAAN

Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (April 2016)

Fenomena kebebasan pers di Indonesia pasca-reformasi telah menjadi fenomena kebebasan pers yang keblabasan. Pers di Indonesia begitu berkuasa karena melalui pemberitaan yang disampaikan, pers dapat mempengaruhi opini masyarakat, yang pada akhirnya menjadi tekanan bagi pengambil keputusan.

Harus diakui bahwa keberadaan pers bagian dari wadah kebebasan berekspresi, diperlukan di negara demokrasi seperti Indonesia. Pers adalah pilar keempat demokrasi. Keberadaannya menjadi penyeimbang dari informasi sepihak dari penguasa. Dalam negara demokrasi, pers jelas tidak selayaknya menjadi corong penguasa (atau pengusaha).

Pada kenyatannya tidak selamanya kebebasan pers dalam memberitakan sesuatu informasi, membawa dampak yang positif. Perkara dugaan pelecahan seksual terhadap anak di Jakarta International School (JIS) merupakan salah satu perkara yang menarik perhatian publik akibat dari pemberitaan pers yang sangat besar. Isu pelecehan seksual terhadap anak merupakan isu yang sangat sensitif, sementara masyarakat Indonesia sendiri merupakan masyarakat yang emosional. Dampak dari pemberitaan atas perkara tersebut telah memberikan tekanan bagi aparat penegak hukum untuk mencari dan menghukum “pelaku” pelecehan seksual tersebut. Peradilan dilakukan terhadap kelima tersangka yang merupakan para petugas kebersihan sekolah dan dua guru di JIS dan mereka semua divonis bersalah. Faktanya, dari hasil examinasi putusan yang dilakukan oleh Masyarakat Pemantau Peradilan Indonseia (MAPPI) dan Konstra[S] yang disampaikan dalam acara diskusi dan peluncuran buku berjudul “Hasil Examinasi Melindungi Anak Membela Kepentingan Tersangka” pada tanggal 12 April 2014, peradilan terhadap para tersangka tersebut adalah peradilan sesat. Tidak ada bukti visum et repertum maupun keterangan ahli psikolog yang dapat membuktikan bahwa telah terjadi kekerasan seksual terhadap korban, sedangkan keterangan saksi (dalam hal ini korban) layak dipertanyakan kebenarannya karena dalam rekonstruksi dominasi ibu korban dalam mengarahkan korban sangat terasa.

Kasus lainnya yang dapat diangkat sebagai contoh adalah penghentian projek reklamasi Teluk Jakarta. Dugaan tindak pidana korupsi yang menyeret Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Ahmad Sanusi dan Direktur Utama PT Agung Podomoro Land Arisman Wijaya yang sedang saat ini sedang dalam proses penyidikan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjadi headline di berbagai media masa baik cetak, elektronik, maupun siber. Buntut dari perkara tersebut adalah dihentikannya projek reklamasi Teluk Jakarta dengan berbagai isu baik isu hukum maupun lingkungan dan sosial. Padahal projek ini sudah berjalan sejak kepempimpinan gubernur-gubernur DKI Jakarta sebelumnya. Penghentian projek tersebut tidak menjadi masalah asalkan masyarakat mendapatkan infromasi yang berimbang (cover both sides) dari pers terkait permasalahan ini. Dalam pemberitaan yang ada pers tidak pernah mengangkat mengenai fakta tercemarnya dan rusaknya ekosistem Teluk Jakarta sehingga nelayan tidak lagi mencari ikan di Teluk Jakarta. Selain itu pers juga tidak pernah mengangkat permasalahan mengenai penuruan permukaan darat di wilayah Jakarta Utara sebagaimana telah diliput oleh France 24 pada sekitar Oktober 2015. Dalam liputan tersebut dinyatakan bahwa reklamasi dilakukan oleh untuk menghindari hilangnya sebagian dari permukaan daratan Jakarta akibat dari semakin menurunnya permukaan tanah di Jakarta.

Dari dua kasus tersebut terlihat satu permalsahan penting yaitu tidak berimbangnya pemberitaan yang disampaikan oleh pers di Indonesia kepada masyarakat. Dampaknya opini yang terbangun adalah opini masyarakat yang sempit yang hanya dilandasi oleh satu sisi pemberitaan saja. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadan pers sekarang tidak lepas dari aspek bisnis. Tolak ukurnya adalah penjualan, rating, dan hit terbanyak dalam halaman pencarian website, akibatnya pers lebih memilih untuk memberitakan apa yang disenangi oleh masyarakat atau membuat berita yang menonjolkan sisi negatif berita saja yang lebih menimbulkan isu dan perbincangan di masyarakat (bad news is good news).

Selain itu, tidak dapat dipungkiri perusahaan pers yang dimiliki oleh para pengusaha yang merangkap menjadi politisi telah menjadikan pers sebagai media mereka untuk membentuk opini masyakarakat ke arah yang dikehendaki. Padahal hal ini bertentangan dengan asas kemerdekaan pers sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). Demikan pula dengan Kode Etik Jurnalistik, yang pada Pasal 1 dikatakan bahwa wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Berimbang dalam hal ini ditafsirkan sebagai semua pihak mendapat kesempatan setara.

Dampak negatif dari kebebasan pers yang kebablasan tersebut sudah sangat meresahkan dan harus diatasi. Untuk itu, ketegasan Dewan Pers harus lebih ditingkatkan. Tidak hanya dalam hal penindakan terhadap pelanggaran UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, namun Dewan Pers dituntut makin intens membangun komunikasi langsung dengan para insan pers, masyarakat luas, dan pemerintah. Tujuannya tentu agar tidak ada pemberitaan yang muncul dilatarbelakangi tekanan bermotifkan ekonomi atau politik. Selain itu keberadaan jurnalisme warga diharapkan juga makin tumbuh agar dapat menjadi penyeimbang pemberitaan yang disampaikan oleh perusahaan pers.

Pada akhirnya kesadaran masyarakat juga diperlukan, masyarakat diharapkan lebih teliti dalam membaca dan menelah setiap pemberitaan yang disampaikan oleh pers sehingga tidak menjadi hanya sekedar penikmat berita namun menjadi penikmat berita yang kritis dan cerdas. (***)


Screen.Shot.2016.01.28.at.11.23.18

 

 


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close