PRAKTIK DAGANG DESA
Oleh REZA ZAKI (April 2016)
Sejak diluncurkannya Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa, animo publik untuk bergerak ke desa semakin besar. Motif terjun ke desa tentu saja beragam, akan tetapi menurut penulis yang paling dasar untuk melahirkan magnet desa ialah membangun lumbung ekonomi desa. Lumbung ekonomi desa terejawantahkan di dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia No 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa.
Badan usaha milik desa atau lebih dikenal dengan sebutan “bumdesa” adalah lumbung ekonomi desa. Di dalam Pasal 3 peraturan menteri tersebut dijelaskan tujuan dari pendirian bumdesa antara lain untuk meningkatkan perekonomian desa, mengoptimalkan aset desa agar bermanfaat untuk kesejahteraan desa, meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomi desa, mengembangkan rencana kerja sama usaha antardesa dan/atau dengan pihak ketiga, menciptakan peluang dan jaringan pasar yang mendukung kebutuhan layanan umum warga, membuka lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pelayanan umum, pertumbuhan, dan pemerataan ekonomi desa, dan meningkatkan pendapatan masyarakat desa dan pendapatan asli desa.
Undang-Undang Desa adalah titik nol dari revolusi demokrasi di desa. Dana desa dan bumdesa akan memberikan peluang untuk mengakumulasi kapital dan menggerakkan roda perekonomiannya. Jika bumdesa adalah mesin pertumbuhan ekonomi, pemerintahan desa adalah mesin pemerataannya. Semangat kolaborasi masyarakat, yang dipersenjatai oleh teknologi informasi dan peraturan perundangan, diharapkan dapat menjaga kesinambungan dan keseimbangan antarkedua mesin tersebut (Sudjatmiko, 2016). Pada pasal 7 ayat (1) dijelaskan bahwa bumdesa dapat terdiri dari unit-unit usaha yang berbadan hukum. Kepemilikan sahamnya dapat berasal dari desa dan masyarakat.
Bumdesa dapat membentuk unit usaha yang meliputi perseroan terbatas dan lembaga keuangan mikro. Dalam hal perseroan terbatas, modal kegiatan usaha sebagian besar dimiliki oleh bumdesa sesuai dengan peraturan perundang-undangan perseroan terbatas. Sementara lembaga keuangan mikro memiliki andil enam puluh persen dalam permodalan sesuai peraturan perundang-undangan lembaga keuangan mikro. Pada Pasal 17 dijelaskan bahwa modal awal bumdesa bersumber dari APB desa. Modal tersebut terdiri dari penyertaan modal desa dan penyertaan modal masyarakat.
Di Pasal 19 hingga Pasal 24 dijelaskan mengenai klasifikasi unit usaha bumdesa. Klasifikasi tersebut terdiri dari bisnis sosial dan pelayanan umum meliputi air minum desa, listrik desa, lumbung pangan, sumber daya lokal tekhnologi tepat guna. Bisnis penyewaan barang meliputi alat transportasi, perkakas pesta, gedung pertemuan, rumah toko, tanah milik bumdesa, barang sewaan lainnya. Kegiatan usaha perantara meliputi jasa pembayaran listrik, pasar desa, jasa pengelolaan sampah, jasa pelayanan lainnya. Kegiatan perdagangan meliputi pabrik es, pabrik asap cair, hasil pertanian, sarana produksi pertanian, sumur bekas tambang, kegiatan bisnis produktif lainnya. Bisnis keuangan dengan berbagai model. Kegiatan usaha bersama (holding) meliputi pengembangan kapal desa untuk nelayan kecil, desa wisata, kegiatan usaha bersama untuk jenis usaha lokal.
Apabila kurang lebih 74.000 bumdesa dapat bergerak secara kolektif, dipastikan akan memiliki pengaruh jauh lebih besar daripada BUMN dan BUMD Indonesia saat ini. Belum lagi jika bumdesa kita dapat memainkan strategi dagang ofensif dengan melahirkan produk desa yang berpotensi ekspor. Terlebih jika mampu meramaikan percaturan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang sudah berjalan sampai saat ini. (***)
Published at :