BPHN MOTOR DALAM “EXECUTIVE REVIEW” PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM pada tanggal 25 April 2016 menyelenggarakan focus group discussion (FGD) untuk penyempurnaan pedoman analisis dan evaluasi hukum nasional. Pedoman ini diarahkan untuk menjadi panduan bagi peneliti di BPHN khususnya, dan/atau di kementerian/lembaga lain dalam rangka mengetahui kondisi sebenarnya dari hukum positif. Pada gilirannya penelitian ini berguan untuk memberikan penilaian apakah tujuan pembentukan suatu hukum telah tercapai, sekaligus mengetahui manfaat dan dampak pelaksanaan norma hukum tersebut.
Ada tiga orang narasumber yang diundang memberikan paparannya, yaitu Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. (Ketua Jurusan Business Law BINUS), Dr. Suhariyono A.R., S.H., M.H. (mantan Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan dan staf ahli Menkum HAM), dan M. Nur Solikhin (Direktur Riset PSHK).
Dalam panduan yang sedang disusun oleh BPHN ini terdapat instrumen analisis dan evaluasi hukum yang terdiri dari tiga besaran kelompok, yaitu: (1) evaluasi hukum yang didasarkan pada hasil analisis terhadap prinsip-prinsip yang bersifat fiosofis ideologis; (2) evaluasi hukum yang didasarkan pada hasil analisis terhadap potensi masalah norma; dan (3) evaluasi hukum yang didasarkan pada hasil analisis terhadap efektivtas pelaksanaan peraturan perundang-undangan.
Dalam paparannya, Shidarta yang mendapat tugas menelaah tentang evaluasi terhadap potensi masalah norma, menyatakan pentingnya para perancang pedoman ini menyepakati terlebih dulu makna dari konsep-konsep hukum yang digunakan. Misalnya, kata “kewenangan” dalam pedoman tersebut harus jelas dipahami. “Jangan sampai nanti terminologi kewenangan ini dimaknai sama dengan kekuasaan, tugas, atau fungsi aparatur negara,” ujarnya. Definisi konseptual seperti ini harus juga jelas ketika dihubungkan dengan konsep-konsep yang lain, sehingga perlu ada kerangka konsep yang menghubungkan kewenangan itu, misalnya dengan konsep hak dan kewajiban para pemangku kepentingan, konsep perlindungan hukum, dan konsep penegakan hukum.
Potensi masalah norma tidak hanya terbatas pada problematika sinkronisasi (ada tidaknya disharmonisasi atau tumpang tindih) norma, yang diuji dengan cara mengecek kesesuaian antara prinsip-prinsip dan indikator-indikatornya. Jika hanya sebatas itu, maka dikhawatirkan analisis dan evaluasi tersebut tidak cukup komprehensif untuk dapat melahirkan rekomendasi bagi perencanaan hukum. Sangat perlu analisis dan evaluasi juga menjangkau ranah empiris.
Kesadaran untuk menjangkau ranah ini sebenarnya sudah ada dan diberi tempat dalam pedoman itu. Namun, ranah empiris ini dilakukan secara minimalis melalui diskusi kelompok terfokus. Padahal, diskusi semacam itu seringkali terkendala dari sisi keterbatasan orang yang diundang dan lembaga/institusi yang mereka wakili. Shidarta menyarankan agar diskusi demikian bisa melibatkan perguruan-perguruan tinggi setempat dan pers di daerah. Sumber hukum yang dijadikan acuan penilaian juga harus lebih lengkap, termasuk putusan pengadilan dan peraturan kebijakan yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan.
FGD yang diadakan oleh BPHN ini dimoderatori Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN Pocut Eliza, S.H., M.H. Tampak ikut hadir dalam acara FGD ini antara lain Kabid Polhukam BPHN Arfan Faiz Muhlizi, S.H., M.H. Menurut Pocut Eliza, BPHN perlu bersinergi dengan kementerian dan lembaga pemerintah/negara lain untuk kepentingan “executive review” seperti ini. “Sudah waktunya ego-sektoral diakhiri,” katanya. Ia juga berharap, “Jika analisis dan evaluasi hukum sudah berjalan dengan baik, maka keinginan melakukan pengujian terhadap undang-undang (judicial review) seyogianya juga makin berkurang.” (***)
Published at :