People Innovation Excellence

PASAL RAWAN PERPRES PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH

Oleh PAULUS ALUK FAJAR DWI SANTO (April 2016)

Pada dasarnya tujuan pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah untuk mencapai efisiensi. Ternyata kondisi ini di lapangan tidak berjalan mulus ini disebabkan adanya pasal-pasal teknis yang seringkali secara akal-akalan. Pasal ini ditafsirkan secara salah untuk diambil keuntungannya secara tidak adil oleh pihak-pihak terkait dalam pengadaan barang/jasa. Salah satu pasal tersebut adalah Pasal 83 Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (catatan: Perpres ini telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Perpres No. 4 Tahun 2015).

Pasal 83 ini mengisyaratkan Unit Layanan Pengadaan untuk menyatakan pelelangan sah apabila: (1) jumlah peserta yang lulus kualifikasi tidak kurang dari tiga peserta; dan (2) jumlah peserta yang memasukkan dokumen penawaran barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya tidak kurang dari tiga peserta; dan harga penawaran terendah terkoreksi tidak lebih tinggi dari harga perkiraan sendiri (HPS). Untuk seleksi konsultan dinyatakan sah apabila: (1) peserta yang lulus kualifikasi tidak kurang dari lima (untuk seleksi umum) atau tidak kurang dari tiga untuk seleksi sederhana; dan (2) penawaran biaya terendah terkoreksi tidak lebih tinggi dari pagu anggaran; dan seluruh penawaran biaya yang masuk untuk kontrak lump sum tidak di atas pagu anggaran.

Namun, modus penyalahgunaannya terjadi, dengan cara Pasal 83 disalahtafsirkan oleh para pihak yang terkait dalam pengadaan barang/jasa, baik oleh kalangan calon penyedia barang/jasa, pejabat pembuat komitmen, dan oleh ULP. Penyalahtafsiran dapat dilakukan secara individual dan atau secara bersama-sama. Dengan penafsiran yang salah tersebut, mereka mengabaikan ketentuan lain yang mengarah pada diperolehnya harga yang efisien. Untuk itu mereka melakukan “pengaturan” sedemikian rupa sehingga secara formal pelelangan/seleksi seolah-olah sesuai dengan Perpres Nomor 54 Tahun 2010, namun secara substantif harga barang/jasa yang dibeli mahal, tidak efisien. Pengaturan tersebut dapat dilakukan dengan:

Pertama, harga pada HPS ditinggikan. Praktik penggelembungan harga ini diawali dari penentuan HPS yang terlalu tinggi karena penawaran harga peserta lelang/seleksi tidak boleh melebihi HPS sebagaimana diatur pada Pasal 66 Perpres 54 tahun 2010 mengingat HPS adalah dasar untuk menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah untuk pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya dan pengadaan jasa konsultansi yang menggunakan metode pagu anggaran. Contohnya, kasus korupsi pengadaan peralatan penunjang laboratorium di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Harga wajar barang yang hanya Rp11,815 milyar dibuat HPS seharga Rp16,99. Diperkirakan terjadi penggelembungan harga Rp 5,175 milyar atau hampir 45% dari harga wajarnya (harian Kompas, Rabu, 16 januari 2013). Peninggian harga HPS seperti ini bahkan bisa dimulai pada saat pengusulan anggaran yang akhirnya tercantum dalam dokumen isian pelaksanaan anggaran (DIPA). Dalam kasus seperti ini biasanya pembuat HPS sudah “main mata” dengan panitia pengadaan barang dan calon pemenang lelang.

Kedua, pinjam nama perusahaan. Untuk memenuhi ketentuan minimal jumlah peserta lelang/seleksi, seluruh peserta lelang berada dalam satu komando. Hal ini bisa terjadi karena perusahaan-perusahaan yang kalah atau menang dalam pelelangan bisa dikondisikan sebagai perusahaan “boneka” karena perusahaan tersebut hanya dipinjam namanya. Sebagai contoh, seperti dilansir oleh merdeka.com pada kamis 4 Juli 2013, cara yang dipakai adalah dengan mengatur PT Marrell Mandiri menjadi pemenang lelang proyek. “Padahal yang mengerjakan proyek itu adalah Konsorsium Grup Permai, yaitu PT Anugrah Nusantara, intinya PT Marrell hanya dipinjam namanya untuk mengikuti persyaratan lelang,” demikian keterangan yang disampaikan Jaksa Fitri Zulfahmi.

Di sini terlihat pihak-pihak tersebut tampak berusaha menjaga jangan sampai tindakan mereka melanggar ketentuan yang diatur dalam Perpres, tetapi di belakang layar sebenarnya mereka banyak melakukan tipu muslihat dengan berkolusi (dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaiangan Usaha Tidak Sehat, dikenal dengan istilah ‘persekongkolan’). Modus operandi seperti ini walaupun secara adminstratif seolah-oleh terpenuhi, pada dasarnya menyalahi Pasal 6 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 berkaitan dengan etika dalam pengadaan.

Pasal 6 tersebut mensyaratkan para pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus mematuhi etika sebagai berikut: (a) melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai sasaran, kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan pengadaan barang/jasa; (b) bekerja secara profesional dan mandiri, serta menjaga kerahasiaan dokumen pengadaan barang/jasa yang menurut sifatnya harus dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa; (c) tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat terjadinya persaingan tidak sehat; (d) menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak; (e) menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pengadaan barang/jasa; (f) menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang/kasa; (g) menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara; dan (h) tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan pengadaan barang/jasa. (***)


Screen Shot 2015-09-09 at 16.34.35

 


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close