NIAT JAHAT
Oleh AHMAD SOFIAN (April 2016)
Belakangan kata “niat jahat” menjadi begitu popular dalam pemberitaan di media massa. Perdebatan niat jahat ini mengemuka pada kasus dugaan korupsi “Sumber Waras” dan kasus reklamasi teluk Jakarta. Niat jahat ini juga diperdebatkan dalam kasus-kasus kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Niat jahat dipersepsikan sebagai sebuah elemen yang sangat penting dalam menentukan ada tidaknya tindak pidana. Niat jahat ini penjadi polemik yang berkepanjangan terutama dalam kasus-kasus dugaan korupsi, karena umumnya pelaku berlindung dibalik “atas nama pembangunan”. Tanpa niat jahat, seolah-olah subjek hukum tidak bisa dipersoalkan dihadapan hukum. Benarkah niat jahat itu harus menjadi unsur yang fundamental dalam menentukan ada tidaknya tindak pidana? Bagaimana menentukan ada tidaknya niat jahat dalam sebuah tindak pidana?
Dalam sebuah dialog di salah satu tv swasta, seorang pakar hukum pidana mengatakan hanya ada dua pihak yang dapat mengetahui ada tidaknya niat jahat yaitu: si pembuat, Tuhan. Seharusnya ada dua pihak lagi, yaitu malaikat dan mungkin wakil Tuhan yaitu hakim di pengadilan.
Sulit menakar kedalaman niat jahat ini, sehingga niat jahat ini menjadi bagian yang diperdebatkan, terkait apakah merupakan unsur dari tindak pidana atau urusan “wakil” Tuhan untuk membuktikannya di pengadilan. Niat Jahat ini ada dalam sikap batin seseorang. Niat jahat menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dengan tindakan seseorang. Dalam mewujudkan suatu tindakan, ada kalanya tindakan tersebut dilakukan dengan niat jahat adakalanya juga dengan tanpa niat jahat. Jika perbuatan dilakukan tanpa niat jahat, namun menimbulkan akibat yang terlarang, pertanyaannya: Apakah si pembuat dapat dipidana? Sebagai contoh, A meminta B membersihkan senapannya, lalu B membersihkan senapan tersebut dengan sebuah kain pembersih, tanpa disadari kain permbersih tersebut tersangkut dan B mencoba melepaskannya namun terjadi letusan dan mengenai C. Ternyata C meninggal dunia. Dalam kasus ini, baik A maupun B tidak memiliki niat jahat untuk membunuh C. Lalu, apakah A dan B yang tidak memiliki niat jahat dapat dihukum.
Dalam konteks hukum pidana “niat jahat” merupakan “mental elements of crime”. Dalam berbagai literatur common law, niat jahat ini disebut juga mens rea atau guilty mind. Dalam common law, doktrin in dikenal dengan “an act is not criminal in the absence of a guilty mind atau dalam bahasa Latin disebut dengan actus non est reus, nisi mens sit rea”. Dalam keluarga civil law, “niat jahat” berada dalam doktrin kesalahan (schuld). Kesalahan ini menjadi asas tersendiri “geen straf zonder schuld beginsel” yang dimaknai sebagai tiada pidana tanpa kesalahan. Ini artinya pertanggungjawaban pidana hanya bisa diberikan jika ada kesalahan pembuat (liability base on fault). Dengan kata lain, meskipun semua unsur tindak pidana dipenuhi, jika tidak terpenuhinya unsur kesalahan, maka pembuat tidak bisa dipidana. Dalam konteks ini, “niat jahat” menjadi faktor yang sangat menentukan dalam meminta pertanggungjawaban pidana seseorang.
Apakah “Niat Jahat” ?
Literatur hukum pidana Indonesia tidak banyak mengulas mengenai niat jahat, namun yang lebih banyak dibahas adalah ajaran kesalahan. Meski demikian, niat jahat ini dapat diidentikkan dengan ajaran kesalahan. Kesalahan sendiri diartikan sebagai sikap batin seseorang yang diwujudkan dalam bentuk kelakuan, dan kelakuan tersebut mendapat celaan. Dalam konteks ini sikap batin tersebut selalu diwujudkan dalam bentuk kelakuan, karena sangat sulit menakar sikap batin yang jahat tersebut. Kesalahan sebagai sikap batin yang buruk, diartikan sebagai kemampuan untuk menduga akibat yang terlarang. Seseorang sudah dapat menduga bahwa akibat terlarang dari perbuatan tersebut akan muncul, tetapi dia tidak mencegah perbuatan tersebut. Kesalahan juga diartikan sebagai maksud atau keinginan untuk melakukan kejahatan. Maksud atau keinginan dapat diwujudkan dalam perbuatan, artinya maksud atau keinginan melakukan kejahatan ini tidak akan pernah kelihatan jika kejahatan tersebut tidak pernah diwujukan. Ada juga ahli yang mengatakan kesalahan ini sebagai sikap kurang hati-hati atau sembrono sehingga merugikan orang lain atau membahayakan kesalamatan orang lain. Kesalahan ini dilekatkan pada “orangnya” karena ingin melihat sikap batinnya. Orang yang sikap batinnya buruk adalah orang-orang yang mampu bertanggung jawab, orang yang mampu bertanggung jawab ini adalah orang-orang yang normal, dan orang orang dewasa. Orang yang jiwanya cacat atau masih di bawah umur, diaggap belum mampu bertanggung jawab, dengan kata lain orangnya belum dapat dipersalahkan.
Dalam kaitannya dengan kesalahan ini, secara teoretis dibagi menjadi dua, yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa). Sengaja atau dolus berarti adanya kehendak atau maksud (willens en wetens) yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu. Kehendak membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat dari perbuatan itu atau akibat dari perbuatannya itu yang menjadi maksud dari dilakukannya perbuatan itu. Dalam praktiknya kehendak untuk melakukan kejahatan sangat sulit dibuktikan, sehingga jika tidak terbukti akan dicari jenis kesalahan kedua, yaitu culpa.
Culpa yang dalam doktrin hukum pidana disebut sebagai kealpaan yang tidak disadari atau onbewuste schuld dan kealpaan disadari atau bewuste schuld. Culpa kurang diperhitungkan oleh yang bersangkutan kemungkinan munculnya akibat yang dikehendaki oleh pembuat. Faktor terpentingnya adalah pelaku dapat menduga terjadinya akibat dari perbuatannya itu atau pelaku kurang berhati-hati. Unsur terpenting dari culpa ini adalah pelaku mempunyai kesadaran atau pengetahuan yang mana pelaku seharusnya dapat membayangkan akan adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya, atau dengan kata lain bahwa pelaku dapat menduga bahwa akibat dari perbuatannya itu akan menimbulkan suatu akibat yang dapat dihukum dan dilarang oleh undang-undang.
Niat Jahat dan Subjek Hukum Bukan Manusia
Tidak semua “niat jahat” harus dimiliki subjek hukum. Ketika subjek hukum yang melakukan tindak pidana adalah bukan manusia, maka ada bermacam-macam benturan untuk menemukan niat jahat pada subjek hukum bukan manusia tersebut. Kesulitan yang utama adalah tentang bagaimana mengetahui kehendak dan keinginan dari subjek hukum bukan manusia tersebut. Bagaimana menentukan kadar niat jahat tersebut, apakah pada level sengaja atau pada level lalai? Bagaimana juga menentukan sikap batin subjek hukum bukan manusia ini ini (karena mereka tentu saja tidak bisa disamakan dengan manusia yang memiliki sikap batin)? Karena itu, berbagai doktrin yang ditujukan kepada subjek hukum manusia tentang niat jahat ini tidak bisa begitu saja diterapkan pada subjek hukum bukan manusia untuk menentukan niat jahat tersebut.
Muncul berbagai doktrin yang dijadikan rujukan untuk menentukan kadar kesalahan ini. Doktrin pertama mengatakan bahwa subjek hukum bukan manusia pada prinsipnya dikendalikan oleh manusia juga, sehingga niat jahat subjek hukum bukan manusia seperti korporasi tetap dapat ditentukan, yaitu dari niat jahat orang-orang yang mengendalikan korporasi tersebut. Orang-orang yang mendalikan korporasi disamakan dengan korporasi, doktrin ini dikenal dengan doktrin identifikasi. Doktrin lain mengatakan bahwa, dalam kasus kejahatan yang dilakukan oleh korporasi, maka tidak diperlukan membuktikan adanya “niat jahat”, yang penting adalah perbuatan yang merugikan atau perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang. Bagi doktrin ini, korporasi dan subjek hukum bukan manusia lainnya adalah sesuatu yang harus dibedakan dengan manusia, jika manusia memiliki sikap batin maka subjek hukum bukan manusia tidak memiliki sikap batin, sehingga tidak perlu mencari dan menemukan “niat jahat”. Sepanjang perbuatannya melawan hukum maka sudah cukup untuk diminta pertanggungjawaban pidananya.
Penutup
Tulisan ini dapat dijadikan refleksi bahwa tidak semua tindak pidana harus memenuhi unsur perbuatan dan niat jahat. Niat jahat hanya bisa diterapkan pada kejahatan-kejahtan yang dilakukan oleh subjek hukum manusia, sementara untuk kejahatan-kejahatan yang diakukan oleh korporasi atau subjek hukum bukan manusia, maka niat jahat tidak harus menjadi unsur mutlak. Dalam berbagai doktrin hukum pidana, ajaran niat jahat berkembang demikian pesat, pembuktian ada tidaknya niat jahat menjadi sangat sulit. Karena itu, ada tidaknya niat jahat diserahkan kepada pengadilan untuk menilainya.
Perkembangkan lain, “niat jahat” pada tindak pidana yang dilakukan manusia pun mulai diperbaharui, beberapa tindak pidana tidak diperlukan adanya elemen niat jahat. Pada subjek hukum bukan manusia, doktrin tanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability) menunjukkan kemenangananya dalam menakar tanggung jawab korporasi yang melakukan tindak pidana dengan tidak perlu membuktikan ada tidaknya niat jahat.
Jika dikaitkan dengan kasus-kasus dugaan korupsi, maka niat jahat harus dibuktikan di pengadilan jika pelaku perorangan, sedangkan jika pelakunya adalah korporasi atau subjek hukum bukan manusia, niat jahat boleh dibuktikan di pengadilan atau tidak perlu dibuktikan sama sekali, tergantung pada pilihan doktrin yang dipergunakan. (***)
Published at :