BERCANDA “MENGHINA” SIMBOL NEGARA, HARUSKAH DIPIDANA?
Oleh AGUS RIYANTO (April 2016)
Maksud hati menghibur dengan bercanda, namun justru kecaman yang diterimanya. Itulah yang terjadi di dalam tayangan langsung di RCTI (15/3/2016). Ketika itu Zaskia Gotik, yang terkenal dengan goyang itiknya, ditanyakan “kapan proklamasi dikumandangkan?” yang bersangkutan menjawab “Saat adzan Subuh 32 Agustus”. Demikian halnya ketika ditanya apa lambang sila kelima dari Pancasila dengan nyeleneh menjawab dengan simbol “bebek nungging”. Dengan jawaban yang terkesan menggampangkan terekam jelas telah menghina simbol negara Pancasila sebagai letak kesalahannya. Kesalahan kepada dugaan pelanggaran atas Pasal 48 ayat (2) huruf e dan Pasal 57 huruf a UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, dengan ancaman hukuman pidana penjara lima tahun atau denda Rp500 juta rupiah. Besarnya sanksi tersebut membuahkan pertanyaan haruskah si pelaku dikenakan hukuman yang maksimal atau hukuman apa yang sebaiknya dijatuhkan kepada yang bersangkutan?
Kasus Zaskia Gotik ini tidaklah seharusnya terpaku kepada hukum yang telah dilanggarnya. Yang juga harus dipertimbangkan adalah mengapa hal itu dapat terjadi. Terjadinya peristiwa itu dalam bentuk tanya-jawab dengan spontanitas menjawabnya, sehingga tidak ada unsur rekayasa terlebih dahulu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tidak ada perencanaan untuk menghina simbol negara. Namun, tetaplah saja tindakan canda tersebut tidak dapat dibenarkan jawabannya. Bahkan terhadap kelalaiannya itu juga yang bersangkutan telah meminta maaf terhadap kebodohan, keteledoran, dan kekhilafannya. Artinya, telah diakui bahwa memang penyanyi dangdut itu telah mengakui kesalahannya, namun niat menghina simbol negaranya tidaklah tampak ada. Tanpa bermaksud mendahului putusan Pengadilan, maka jikalau tetap bermaksud menghukumnya, karena telah terpenuhi unsur-unsur pidana yang dipersangkakannya, adalah lebih baik menghukum yang tidak harus memenjarakannya yaitu dengan hukuman percobaan (voorwaardelijke straf). Dalam hal ini yang dimaksud adalah terdakwa dinyatakan bersalah dan dihukum dengan hukuman penjara, namun tidak harus dimasukkan penjara atau lembaga pemasyarakatan dengan syarat selama masa percobaan yang bersangkutan memperbaiki kelakuannya. Artinya, tidak melakukan kejahatan lagi atau tidak melanggar perjanjian, dengan harapan apabila berhasil maka ia tidak perlu menjalani hukuman selamanya (Pasal 14 a ayat [1] KUHP). Hukum itu sebagai ultimum remedium. Yang dimaksud menghukum lebih baik dijadikan senjata pilihan pamungkas dalam menyelesaikan kasus. Sepanjang masih ada jalan keluar sebagai pilihan, maka seharusnya penghukuman tidaklah lagi menjadi pilihan utamanya.
Hukuman yang diterima, baik suka maupun tidak, untuk Zaskia Gotik adalah hukuman sosial dari masyarakat. Hukuman sosial dalam arti penilaian terhadapnya akan berbeda sebelum dan sesudahnya peristiwa yang menghebohkan itu terhadapnya. Oleh karena itu peribahasa “mulutmu harimaumu” adalah dasar untuk menjatuhkan sanksi sosial terhadapnya. Sanksi yang tidak harus dilatarbelakangi balas dendam, tetapi lebih menekankan pembelajaran dengan harapan bahwa yang melanggarnya akan menjadi lebih baik lagi hidupnya. Sekalipun demikian tidak dapat berarti bahwa hukuman sosial tidak memberi efek jera. Bahkan dapat dikatakan lebih jelas sanksinya langsung, karena lingkungan sekitarnya saat itu menghukum bentuk yang berbeda dengan hukuman negara. Dalam kasus ini, RCTI tidak lagi melibatkan lagi artis dangdut tersebut di dalam acara-acara yang bersangkutan ikut serta di dalamnya. Yang dilakukan oleh RCTI adalah hukuman sosial pertama yang langsung dapat dirasakan Zaskia Gotik setelah acara “Cerdas Cermat Bersama Cecepy” yang menghebohkan tersebut. Di samping itu, opini publik juga tidak dapat dilepaskan sebagai hukuman sosial yang harus dihadapi oleh yang bersangkutan dalam kesehariannya. Melalui berbagai media, baik cetak maupun sosial, memberitakan informasi yang negatif terhadap kasus ini, terutama kepada pelakunya. Dengan sudut pandang demikian, maka sesungguhnya hukuman sosial itu telah dijatuhkan dan tidak mungkin dapat dibantahnya. Artinya, media telah menghakiminya dan menjatuhkan sanksinya melalui pemberitaannya yang sangat meluas itu. Masihkah kita akan menghukumnya lagi?
Pelajaran yang dapat dijadikan permenungan adalah apakah menghukum Zaskia Gotik dapat menjadikan selesai masalahnya. Jawabannya tidak. Masihlah banyak kasus-kasus lain yang seharusnya menjadi perhatian yang serius, seperti korupsi, terorisme, narkoba, pencucian uang dan lain-lain yang jelas merugikan publik, dibandingkan menghabiskan energi untuk mengurusi canda “kelewatan”. Penegakan hukum yang menangani kasus ini idealnya adalah dapat mempertimbangkan perlu tidaknya kasus ini dilanjutkan ke pengadilan. Pilihan untuk perdamaian sudah waktunya dibuka selebar-lebarnya, sehingga janganlah berlebihan dalam penyelesaiannya. Walaupun demikian kesalahan yang tetap salah, tetapi tidak harus dengan memaksakan norma hukum yang memenjarakan pelakunya. Hal ini karena tidak dibenarkan menerapkan hukum hanya semata-mata sebagai ”legal justice”, melainkan wajib mengutamakan konsep ”moral justice” atau ”social justice”. (***)