ABOLISI: UPAYA PEMULIHAN STATUS TERSANGKA PASCA-PEMBERIAN SEPONERING
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (April 2016)
Jaksa Agung pada tanggal 4 Maret 2016 lalu telah mengeluarkan ketetapan pengenyampingan perkara atas nama Abraham Samad dan Bambang Wijdojanto. Pengenyampingan perkara atau yang dikenal oleh umum dengan istilah deponering ini mengakhiri polemik isu kriminalisasi dua mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), meskipun masih timbul perbedatan hukum mengenai apakah pemberian ini merupakan sesuatu yang demi kepentingan umum yang berakibat pada diajukannya upaya pra peradilan oleh pemohon OC Kaligis, Suryadharma Ali Antonius Bambang Djatmiko dan Made Meregawa atas penerbitan ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Terkait istilah deponering ini, Andi Hamzah berpendapat bahwa istilah ini kurang tepat karena seharusnya istilah yang dipergunakan adalah seponering. Berdasarkan Kamus Hukum Belanda – Indonesia karangan Marjanne Termorshuizen (Kamus Hukum Belanda-Indonesia, 1999) mengartikan seponeren berkaitan dengan zie ook; sepot, straft yang berarti mengenyampingkan, mendeponir, memetieskan. Sementara deponeren mengandung makna (i) mendaftarkan, menitipkan, menyimpankan (ii) mengenyampingkan perkara, memetieskan, mendeponir.
Seponering merupakan wewenang atributif dari Jaksa Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung Republik Indonesia (UU No. 16 Tahun 2004) . Tidak dimungkinkan untuk diperiksa oleh pengadilan apakah penerbitannya sah atau tidak sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), setidak tidaknya sampai saat ini dimana Peradilan Negeri Jakarta Selatan melalui Putusannya No. 22/Pid.Pra/2016/PN JKT.SEL tanggal 23 Maret 2016 yang menolak permohonan praperadialn atas dua mantan pimpinan KPK tersebut. Dalam seponering, penuntut sesungguhnya sudah memiliki cukup bukti untuk membuat dakwaan dan membawa perkara tersebut ke pengadilan, namun kemudian ditutup perkaranya untuk kepentingan umum. Penutupan perkara tersebut tidak membuat permasalahan hukum bagi tersangka selesai karena walaupun stutus tersangkanya dihilangkan namun tidak terjadi pemulihan secara hukum kepada diri tersangka. Kemudian timbul pertanyaan upaya hukum apa yang tepat untuk memulihkan status hukum mantan tersangka tersebut? Pasal 77 KUHAP dan tidak mengartur menganai upaya hukum untuk pemulihan status hukum dari mantan tersangka tersebut. Praperadilan tidak dimungkinan untuk meminta ganti rugi maupun rehabilitasi atas penerbitan seponering. Demikian pula dengan UU No. 16 Tahun 2004 yang tidak memiliki norma hukum tentang hal tersebut.
Upaya hukum yang mungkin dilakukan adalah mengajukan permohonan abolisi kepada Presiden. Seusai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), abolisi merupakan hak dari Presiden yang dapat diberikan dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebelum amandemen UUD 1945 abolisi merupakan hak absolut dari Presiden. Abolisi berasal dari bahasa Inggris abolition yang berarti penghapusan atau pembasmian. Lebih lanjut abolisi merupakan suatu keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara, di mana pengadilan belum menjatuhkan keputusan terhadap perkara tersebut. Abolisi lebih luas daripada seponering yang hanya pada tingkat penuntutan. Penghapusan disini dimaknai sampai pada setiap tingkatan proses sebelum putusan pengadilan dikeluarkan beserta akibat hukumnya. Dengan demikian jika abolisi diberikan oleh Presiden berarti tidak saja penghapusan terhadap proses penuntutan sehingga status tersangkanya tersebut dihapuskan atau dipandang tidak pernah ada. (***)
Published at :