JERAT UU TIPIKOR PADA PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH
Oleh PAULUS ALUK FAJAR DWI SANTO (Maret 2016)
Pasal yang sering menjadi acuan para penegak hukum untuk menetapkan ada tidaknya perbuatan korupsi adalah Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi. Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan, sedangkan Pasal 3 UU 20/2001 mengatur: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Kata-kata dapat ini merupakan wujud dari delik formil yang bersifat karet, jadi asalkan dapat dibuktikan bahwa telah terjadi peluang merugikan keuangan atau perekonomian negara, meskipun belum tentu sudah nyata terjadi kerugian negara, atau kerugian negara belum faktual, maka pelaku dapat dipidana.
Ternyata implikasi dari pemberlakuan pasal diatas hingga saat ini, ada terpidana korupsi yang merasa dia tidak bersalah karena merasa tidak memiliki niat dan perbuatan jahat untuk memperkaya dirinya sendiri, orang lain, atau korporasi. Rupanya aparat penegak hukum pada saat melakukan penyidikan menekankan pada adanya kerugian negara. Padahal, tidak semua kerugian negara harus berujung dalam ranah pidana.
Masalahnya menjadi lebih pelik lagi kalau kondisinya berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah, karena hal ini menyangkut kewenangan berjenjang mulai dari pengguna anggaran, kuasa pengguna anggran, pejabat pembuat komitmen, sampai dengan unit layanan pengadaan merupakan rangkain yang bisa diminta pertanggungjawaban jika ditemukan suatu pengadaan barang dan jasa yang dapat merugikan negara. Tanpa bermaksud untuk melakukan pembelaan terhadap Dahlan Iskan, contoh kasus yang menimpa beliau dapat dijadikan salah satu contohnya. Kasus ini berawal dari pembangunan megaproyek Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terhadap 21 unit Gardu Induk Jawa-Bali-Nusa Tenggara yang sudah dimulai pada Desember 2011, tatkala Dahlan Iskan sebagai Direkur Utama yang merangkap pula sebagai kuasa pengguna anggaran untuk proyek di atas. Ia kemudian dinyatakan sebagai tersangka atas kasus ini yang detilnya tidak dipaparkan pada tulisan ini.
Secara umum penyidik memulai investigasi suatu proses hukum tindak pidana korupsi pada pengadaan barang dan jasa pemerintah, dengan melihat ada tidaknya kerugian negara. Penyidik tidak memulai penyidikannya dengan menelusuri ada tidaknya niat jahat dari pelaku untuk memperkaya dirinya sendiri, orang lain, atau korporasi. Padahal, tidak semua proses bisnis selalu berujung untung. Menjadi repot lagi jika kemudian ditelusuri terkait unsur melawan hukumnya dari kesalahan administratif hingga pengambilan keputusan atau kebijakan yang pada kemudian hari dianggap salah.
Hal lain yang perlu dicermati adalah ketika pelaku yang disidik dianggap memperkaya orang lain atau korporasi. Jika keuntungan yang diperoleh dari orang lain atau korporasi merupakan proses yang tidak berkaitan dengan niat jahat pelaku korupsi, hal tersebut tidak seharusnya dikategorikan sebagai memperkaya orang lain atau korporasi.
Adalah wajar jika orang lain atau korporasi dalam pengadaan barang atau jasa dengan pemerintah mendapat keuntungan. Penulis berpendapat, seharusnya apabila tindakan memperkaya orang lain atau korporasi itu berkaitan erat dengan niat jahat (mens rea) dari pelaku korupsi, barulah perbuatan itu layak masuk ke dalam ranah tindak pidana korupsi. Korupsi yang merupakan musuh bersama tentu harus diperangi. Namun, jangan sampai munculnya kerugian negara tanpa bukti niat dan perbuatan jahat menjadikan seseorang sebagai tersangka, terdakwa, bahkan terpidana. (***)