TELAAH YURIDIS ATAS EKSISTENSI DIVIDEN
Oleh JANUARDO S.P. SIHOMBING (Maret 2016)
Dividen adalah pembagian keuntungan kepada para pemegang saham oleh Perseroan Terbatas (“Perseroan”), atau persekutuan dengan penyertaan atau perusahaan yang terbagi atas saham-saham. Hal ini merujuk kepada penafsiran gramatikal yang diatur dalam OECD Model berikut:[1]
By “dividends” is generally meant the distribution of profits to the shareholders by companies limited by shares, limited partnerships with share capital, limited liability companies or other joint stock companies.
Berdasarkan definisi di atas, kedudukan pemegang saham dalam suatu Perseroan berbeda dari para anggota suatu persekutuan dengan penyertaan non-saham[2]. Suatu persekutuan dikenai pajak hanya satu kali, yaitu di tingkat para anggotanya karena hasil usaha yang dilakukan oleh persekutuan tersebut merupakan keuntungan dari para anggotanya dan berasal dari kegiatan para anggota itu sendiri.[3]
Di dalam praktik, formula pembagian dividen dikaitkan dengan laba yang diperoleh oleh suatu Perseroan, yang metode perhitungannya diperoleh dari hasil Laporan Laba Rugi Perseroan pada tabel kolom LABA SETELAH PAJAK (EAT / Earning After Tax). Selanjutnya, tata cara pembagian laba Perseroan berupa dividen kepada pemegang saham diatur dalam pasal 15 ayat (1) butir i, Pasal 70 dan Pasal 71 Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) yang pada intinya terangkum sebagai berikut :
- Tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen diatur dalam Anggaran Dasar Perseroan;
- Perseroan wajib menyisihkan jumlah tertentu dari laba bersih setiap tahun buku sebagai cadangan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah modal yang ditempatkan dan disetor;
- Penggunaan laba bersih termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk cadangan diputuskan oleh Rapat Umum Pemegang Saham / RUPS;
- Seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan untuk cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen, kecuali ditentukan lain dalam RUPS;
- Dividen hanya boleh dibagikan apabila saldo laba Perseroan positif.
UUPT tidak memberikan definisi yang jelas, lengkap dan tegas tentang pengertian dan penjelasan dividen, namun dapat kita simpulkan dengan terjemahan bebas bahwa dividen adalah keuntungan yang dibagikan kepada pemegang saham Perseroan yang berasal dari laba bersih usaha Perseroan dalam satu periode tahun buku dan wajib memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam UUPT.
Dengan menggunakan PENAFSIRAN SISTEMATIS dalam Ilmu Hukum, maka pengertian dan penjelasan yang jelas, lengkap dan tegas tentang dividen dapat kita jumpai dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (“UU PPh”). Pengertian dividen diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf (g) UU PPh dengan uraian ketentuan beserta penjelasannya sebagai berikut:[4]
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi.
Termasuk dalam pengertian dividen sebagai berikut: (ada 12 jenis)
- pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
- pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
- pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
- pembagian laba dalam bentuk saham;
- pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
- jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;
- pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
- pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
- bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
- bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
- pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
- pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Adapun mengenai klasifikasi dan pengenaan tarif pajak atas dividen diatur berdasarkan Pasal 4 ayat 1 huruf (c) dan huruf (g) UU PPh sebagaimana terangkum sebagai berikut:
- Dividen yang diterima oleh Orang Pribadi. Tarif pajaknya adalah sebesar 10% dan bersifat Final merujuk Pasal 17 ayat (2c) UU PPh.
- Dividen yang diterima oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Selain Orang Pribadi. Tarif pajaknya adalah sebesar 15% dari jumlah bruto dan bersifat tidak final merujuk Pasal 23 ayat (1) butir a poin 1. Ada pengecualian (dividen bukan Objek Pajak) untuk pemegang saham berbentuk Perseroan Terbatas, sepanjang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (a) Berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan (b) bagi Perseroan, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
- Dividen yang diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri. Tarif pajaknya adalah sebesar 20% dari jumlah bruto dan bersifat tidak final merujuk Pasal 26 ayat (1) huruf (a) UU PPh. Pengecualian tarif 20% diatur dalam Tax Treaty (Perjanjian Bilateral tentang Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dan Negara tempat penerima Dividen berasal).
Doktrin Hukum Terkait Pemajakan atas Dividien
Sehubungan dengan ketentuan pengenaan dividen atas Perseroan terhadap pemegang saham orang pribadi, maka Indonesia menganut “classical system”, yaitu penghasilan Perseroan yang telah dikenakan pajak di tingkat Perseroan yang dibagikan sebagai dividen kepada orang pribadi sebagai pemegang sahamnya akan dikenakan pajak lagi pada orang pribadi tersebut.
Dalam doktrin hukum pajak yang dikemukakan oleh Sijbren Cnossen[5], Classical System ditegaskan sebagai suatu pemajakan berganda atas pemberian dividen yang akan dikenakan pajak secara penuh sampai diterima oleh pemegang saham tipe perorangan yang jumlah tarif nya mengikuti ketentuan pajak progresif orang pribadi. Dalam jenis sistem ini, dividen yang dibayarkan kepada pemegang saham Perseroan tidak dapat dijadikan sebagai biaya / faktor pengurang Laba Kena Pajak / Taxable Profit Perseroan.
Berikut adalah pendapat dari Sijbren Cnossen:[6]
“Under the classical or separate entity system of corporation tax, no deduction for dividends to shareholders is allowed when computing taxable profits. Moreover, dividends are taxed again in full in the hands of shareholders at rates that differ from one shareholder to another depending on the amount of the dividend and the shareholders’ other income, but that may range from the lowest to the highest marginal rate of the progressive PIT/Personal Income Tax. This phenomenon is called the “economic double taxation of dividends.”
Dari pendapat Professor Sijbren Cnossen di atas dikaitkan dengan uraian ketentuan dalam hukum positif Indonesia, maka dapat diambil beberapa kesimpulan penting sebagai berikut:
- Terkait perlakuan atas pemajakan dividen, Indonesia menganut Classical System;
- Tarif Progresif atas PIT/Personal Income Tax diatur dalam Pasal 17 ayat (1) UU PPh;
- Dividen yang dibayarkan Perseroan kepada Pemegang Saham tidak boleh dikurangkan sebagai biaya dalam laporan keuangan Perseroan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) butir (a) UU PPh;
- Berdasarkan hukum positif Indonesia, pemajakan dividen yang diterima oleh orang Pribadi tidak masuk ke dalam pengertian Pajak Progresif sebagaimana disebutkan oleh Sijbren Cnossen;
- Dividen yang diterima Orang Pribadi sesungguhnya masuk ke dalam ranah Pajak Penghasilan (PPh) Final dengan tarif 10 % sesuai Pasal 17 ayat (2) huruf (c) UU PPh, bukan tarif progresif sebagaimana menganut doktrin Sijbren Cnossen.
REFERENSI:
[1] Model Tax Convention on Income and on Capital (Condensed Version), OECD, July 2010, hal. 186.
[2] Suatu terminologi persekutuan disini merujuk pada pemahaman bentuk usaha dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yakni : Persekutuan Perdata (Maatschaap), Firma, CV.
[3] Lihat Pasal 4 ayat (3) huruf (i) Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).
[4] Untuk tujuan pajak, definisi dividen diperluas untuk mencegah adanya pengalihan laba usaha (profit-shifting), seperti contohnya pemberian bonus, pembayaran kembali modal saham dalam kondisi tertentu, bantuan kepada pemegang saham, bunga yang timbul dari transaksi hutang kepada pemegang saham, pembayaran dividen terselubung dan contoh – contoh lainnya.
[5] Sijbren Cnossen is a Professor of Tax Law at Erasmus University, Rotterdam – Netherland.
[6] Sijbren Cnossen, What kind of Corporate Tax Regime? Osgoode Hall Law Journal, Volume 52, (York University), 2015, hal. 524.
Published at :