SPIN-OFF UNIT USAHA SYARIAH BANK UMUM KONVENSIONAL
Oleh ABDUL RASYID (Maret 2016)
Perbankan syariah di Indonesia mulai berkembang secara signifikan dengan diamandemenya UU No. 7 Tahun 1992 dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, tatkala bank umum konvensional dibolehkan beroperasi berdasarkan prinsip syariah dengan membuka Unit Usaha Syariah (UUS). Pendirian UUS merupakan syarat wajib yang mesti dilakukan oleh bank konvensional yang ingin memberikan layanan berdasarkan prinsip syariah. Pengaturan UUS ini dipertegas kembali dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (selanjutnya ditulis UUPS). Menurut Pasal 1 angka 10 UUPS yang dimaksud dengan UUS adalah “Unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.”
Eksistensi UUS sebagai unit kerja atau devisi dari bank konvensional tidaklah bersifat permanen, namun bersifat sementara. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 68 ayat 1 UUPS yang menyatakan: “Dalam hal Bank Umum Konvensional memiliki UUS yang nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai aset bank induknya atau 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini, maka Bank Umum Konvensional dimaksud wajib melakukan Pemisahan UUS tersebut menjadi Bank Umum Syariah.” Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa bank umum konvensional diwajibkan melakukan pemisahan (spin-off) UUS yang dimilikinya menjadi Bank Umum Syariah apabila nilai asetnya telah mencapai minimal 50 persen dari total nilai aset bank induknya atau telah beroperasi selama 15 tahun semenjak berlakunya UU perbankan syariah ini.
Apa yang dimaksud dengan pemisahan (spin-off) dan bagaimana mekanisme pemisahan (spin-off) UUS milik Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum Syariah? Tulisan ini akan menjelaskan secara singkat pertanyaan-pertanyaan tersebut. Terkait dengan pengertian pemisahan (spin-off), menurut Pasal 1 angka 32 UUPS yang dimaksud dengan pemisahan (spin-off, pen) adalah “pemisahan usaha dari satu bank menjadi dua bank badan usaha atau lebih sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”. Black’s Law Dictionary mendefinisikan spin-off sebagai “a corporate divestiture in which a division of a corporation becomes on independent company and stock of the new company is distributed to the corporation’s shareholders.” Pengertian pemisahan juga diperkenalkan dalam dalam UU No. 40 tahun 2007 Tentang Perseoran Terbatas, di mana yang dimaksud dengan pemisahan adalah ‘perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseoran untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan atau lebih’ (Pasal 1 angka 12). UU Perseoaran Terbatas ini dirujuk karena bentuk badan hukum bank syariah adalah Perseroan Terbatas sehingga mempunyai relevansi yang erat. Berdasarkan definisi di atas dapat dipahami secara sederhana bahwa yang dimaksud dengan pemisahaan (spin-off) UUS Bank Umum Konvensional merupakan proses pemisahan UUS dari bank induknya menjadi Bank Umum Syariah yang ber-badan hukum sendiri yang mandiri dan independen.
Mengenai mekanisme pemisahan (spin-off) UUS telah diatur secara spesifik dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 11/01/PBI/2009. (lihat Bab IX Pasal 40-54). Perlu dicatat bahwa PBI No.11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah ini sebenarnya diubah dengan PBI No.15/14/PBI/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No.11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah, namun redaksi sejumlah pasal masih tetap dipertahankan seperti semula.
Menurut Pasal 41 terdapat dua cara pemisahan UUS dari BUK, pertama dengan cara mendirikan Bank Umum Syariah (BUS) baru; atau kedua dengan cara mengalihkan hak dan kewajiban UUS kepada BUS yang telah ada. ‘Pemisahan UUS dengan Cara Pendirian BUS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia (sekarang Otoritas Jasa Keuangan). Modal yang disetor sekurang-kurangnya lima ratus milyar rupiah (Rp500.000.000,00). Apabila modal yang disetor kurang, penambahan bisa dilakukan dengan bentuk tunai dan/atau tanah dan gedung yang digunakan untuk operasional BUS hasil pemisahan. Modal yang disetor BUS hasil pemisahan wajib ditingkatkan menjadi paling kurang sebesar satu trilyun rupiah (1.000.000.000.000,00) paling lambat 10 (sepuluh) tahun setelah izin usaha BUS diberikan. (lihat Pasal 45) Pemberian izin pendirian BUS hasil pemisahan dilakukan dalam 2 (dua) tahap: a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian BUS hasil pemisahan; dan b. izin usaha, yaitu izin yang diberikan setelah BUS hasil pemisahan siap melakukan kegiatan operasional. (Pasal 46). Penting untuk dicatat, apabila izin prinsip telah diberikan kepada BUK, namun dalam jangka waktu 6 bulan setelah izin prinsip diberikan BUK belum mengajukan izin usaha BUS hasil pemisahan, maka persetujuan prinsip yang telah diberikan menjadi tidak berlaku. (Pasal 48). Oleh karean itu BUK harus mempersiapkan semua persyaratan yang diperlukan dengan semaksimal mungkin.
Adapun cara pemisahan kedua, yakni Pemisahan UUS dengan Cara Pengalihan Hak dan Kewajiban kepada BUS juga hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Bank Indonesia (sekarang Otoritas Jasa Keuangan). Apabila persetujuan rencana pengalihan telah diperoleh, maka BUK yang memiliki UUS wajib mengumumkan hal tersebut dalam surat kabar nasional selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari dan mengalihkan hak dan kewajiban UUS kepada BUS paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal persetujuan pengalihan diberikan. Apabila dalam 30 hari pengalihan hak dan kewajiban UUS kepada BUS penerima pemisahan belum dilakukan maka persetujuan yang diberikan tersebut akan ditinjau kembali. Kemudian penerima pemisahan juga wajib melaporkan kondisi keuangannya setelah menerima pengalihan hak dan kewajiban UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan (lihat Pasal 52 dan 53). Penting untuk dicatat bahwa pemisahan UUS dari BUK dengan cara mengalihkan hak dan kewajiban UUS kepada BUS yang telah ada hanya dapat dilakukan kepada BUS yang mempunyai hubungan kepemilikan dengan BUK yang memiliki UUS (lihat Pasal 41 ayat [3]).
Berdasarkan statistik Perbankan Syariah, OJK, January 2016, terdapat 12 BUS dan 22 UUS. Pada tahun 2005, baru terdapat tiga BUS, yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah, namun saat ini jumlah BUS meningkat cukup signifikan dengan adanya beberapa UUS yang melakukan spin-off menjadi BUS, antara lain adalah Bank BRI Syariah, PT BNI Syariah, dan BJB Syariah. Ke depan diharapkan UUS yang ada segera melakukan spin-off menjadi BUS sehingga jumlah Bank Syariah semakin banyak dan berkembang di Indonesia. Wallahu ‘alam. (***)
Leave Your Footprint
-
nasher syukran atas penjelasannya