KEMISKINAN, ROKOK, DAN CUKAI
Oleh SITI YUNIARTI (Maret 2016)
Awal Maret 2016, edisi khusus 93 tahun majalah TEMPO menyajikan cerita di belakang panggung tentang liputan yang menjadi perhatian publik: “Dari Rekening Gendut hingga Mafia Pemalsu Lukisan”. Namun, tulisan ini tidak akan membahas salah satu dari liputan utama edisi khusus majalah TEMPO tersebut.
Saya lebih tertarik untuk membahas salah satu rubik yang bertajuk ANGKA. Rubik yang dimuat dalam satu lembar halaman majalah ini mengangkat tema “Miskin di Kota dan di Desa”. Dalam ulasannya, disampaikan data kemiskinan terbaru di Indonesia yang dipaparkan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), dipimpin Wakil Presiden Jusuf Kalla, pada rapat pleno bulan Februari 2016. Terungkap bahwa 73,07% penyebab kemiskinan, baik di kota maupun di desa adalah: mahalnya harga bahan makanan (22,1% di perkotaan dan 28,74% di pedesaan) dan konsumsi rokok (8,08% di perkotaan dan 7,68% di pedesaan).
Merokok, mengutip dari ensiklopedia bebas (Wikipedia), dilakukan pertama kali oleh suku bangsa Indian di Amerika, untuk keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh. Pada abad ke-16, ketika bangsa Eropa menemukan benua Amerika, para penjelajah Eropa membawa tembakau ke Eropa. Pada abad ke-17, para pedagang Spanyol masuk ke Turki dan saat itu kebiasaan merokok mulai masuk negara-negara Islam. Melansir informasi dari www.sampoerna.co.id, di Indonesia, tembakau yang merupakan bahan dasar rokok dibawa oleh para pedagang Portugis ke Pulau Jawa sejak tahun 1600-an. Semula, rokok di Indonesia hanya dibuat di rumah, dilinting dan dibungkus dengan kulit jagung. Sekitar abad ke-19, orang mulai mencampurkan cengkeh ke dalam rokok sehingga menghasilkan yang disebut sebagai rokok kretek.
Tingkat konsumsi rokok di Indonesia, menurut data WHO yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan tahun 2013, menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki jumlah perokok ketiga terbesar di dunia setelah Cina dan India. Berbagai aturan dikeluarkan untuk mengurangi konsumsi rokok mengingat dampak negatif yang ditimbulkan bagi tubuh, baik bagi perokok pasif maupun perokok aktif. Salah satu di antaranya adalah Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 perihal Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, yang memberikan rambu-rambu dalam peredaran rokok, termasuk iklan. Iklan rokok melalui media elektronik hanya diperkenankan untuk ditayangkan pada pukul 21:30 sampai dengan 05:00 waktu setempat. Muatan iklan memiliki pembatasan-pembatasan seperti dilarang untuk menampilkan aktivitas merokok. Adanya kewajiban bagi iklan rokok untuk mecantumkan peringatan bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan.
Tak berhenti sampai di tataran peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah pun melalui perangkat peraturan daerah melarang aktivitas merokok dilakukan di area publik, kecuali di lokasi yang disediakan khusus untuk merokok.
Kendati demikian, apakah semua ketentuan tersebut menjadi efektif dan membuat orang berpikir dua kali sebelum membeli rokok apabila rokok dapat diperoleh dengan harga terjangkau? Pada bulan April 2015, riset Deutsche Bank yang berasal dari Expatisan, lembaga yang membandingkan harga di sejumlah negara, menyatakan bahwa harga satu pak rokok merek Marlboro di Indonesia adalah USD 1,35, termurah dibandingkan harga rokok yang sama di 30 negara. Bandingkan dengan harga jual Marlboro tertinggi yaitu Australia yang dibrandol dengan harga USD 18,45.
Salah satu komponen harga rokok adalah cukai. Cukai merupakan pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan oleh undang-undang. Salah satu fungsi cukai sebagaimana dinyatakan dalam Undang- Undang No.11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat di bidang kesehatan, ketertiban dan keamanan seperti yang dinyatakan dalam penjelasan umum Angka (4) huruf ( c ) Undang-Undang No. 11 Tahun 1995. Dengan demikian, sebagai salah satu tool yang dapat digunakan oleh Pemerintah untuk mengurangi dampak negatif rokok adalah melalui penetapan besaran cukai rokok. Walaupun demikian, hasil survei Expatisan di atas menunjukkan bahwa harga rokok di Indonesia, diwakili oleh rokok merek Marlboro, merupakan harga rokok termurah.
Pada bulan November 2015, Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 198/PMk.10/2015 menaikan cukai rokok dikisaran rata-rata 11,9%. Dengan adanya kenaikan cukai, apakah dapat mengurangi konsumsi rokok di Indonesia atau masih mendudukan rokok sebagai salah satu penyebab kemiskinan? Mari kita tunggu. (***)
Published at :