REFLEKSI ATAS UU PERDAGANGAN
Oleh REZA ZAKI (Maret 2016)
Pada tanggal 11 Februari 2014 akhirnya Indonesia memiliki Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. UU Perdagangan ini merupakan rentetan perjuangan yang diusulkan pertama kali pada masa Menteri Perdagangan RI, Mari Elka Pangestu. Namun, perjuangan itu sempat terhenti sampai Menteri Perdagangan RI, Gita Wirjawan mendorong lagi proses pembahasan di DPR RI.
Selama ini produk hukum yang setara undang-undang di bidang perdagangan adalah hukum kolonial Belanda Bedrijfsreglementerings Ordonnantie 1934 yang lebih banyak mengatur peizinan usaha. Menurut Aria Bima, Ketua Panja RUU Perdagangan, proses pemahasan RUU ini berjalan sangat alot. Akan tetapi, berkat keseriusan DPR RI bersama pemerintah dalam mewujudkan produk hukum perdagangan perdana ini, pada akhirnya Indonesia memiliki aturan mengenai perdagangan yang lebih komprehensif.
Undang-undang Perdagangan mengandung 19 bab dan 122 pasal. UU Pedagangan juga mengamanatkan beberapa Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Menteri (Permen). Rencananya, Kementerian Perdagangan RI akan mulai melakukan sosialisasi UU Perdagangan mulai bulan Juni 2014. Setiap tahunnya terdapat tiga provinsi yang mendapatkan kesempatan sebagai lokasi sosialisasi. Pemerintah pun sedang mengejar aturan pelaksana agar konten UU ini dapat segera diimplementasikan dan segera menyesuaikan dengan kondisi bisnis saat ini.
Adopsi Aturan WTO
Indonesia adalah negara anggota World Trade Organization (WTO) berdasarkan ratifikasi Agreement Establishing World Trade Organization (WTO) melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Berdasarkan prinsip single undertaking, Indonesia diwajibkan untuk mengimplementasikan seluruh perjanjian yang tertuang di dalam WTO.
Sudah hampir 20 tahun Indonesia menjadi anggota WTO bersama 159 negara lainnya. Setahun yang lalu (3-7 Desember 2013), Indonesia berhasil menyelenggarakan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) IX WTO yang menjadi lima momen besar dunia karena berhasil menjaga wajah WTO sebagai lembaga yang mengatur perdagangan multilateral di dunia. Kini, nama Bali disebut-sebut di dalam literatur perdagangan di banyak lembaga pendidikan di dunia. Keberhasilan Indonesia mendorong kesepakatan di dalam KTM IX WTO, menjadi referensi diplomasi tersohor dalam beberapa tahun terakhir ini.
Di dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) diatur mengenai lingkup pengaturan perdagangan barang dan jasa. Pada Pasal 4 ayat (2) dijelaskan bahwa ada 12 jasa yang diatur sebagaimana yang diatur pula di dalam WTO. Jasa-jasa yang diatur antara lain jasa bisnis, distribusi, komunikasi, pendidikan, lingkungan hidup, keuangan, konstruksi dan teknik terkait, kesehatan dan sosial, rekreasi, kebudayaan, dan olah raga, pariwisata, transportasi, dan lainnya. Pengaturan mengenai perdagangan jasa ini dapat dilakukan di dalam negeri maupun melampaui batas wilayah negara.
Kemudian di dalam Pasal 50 ayat (2) diatur mengenai larangan impor atau ekspor barang untuk kepentingan nasional yang didasarkan kepada tiga alasan yakni untuk melindungi keamanan nasional, kepentingan umum, termasuk sosial, budaya, dan moral masyarakat, melindungi HKI, dan untuk melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, dan lingkungan hidup.
Di samping itu, pada Pasal 67 ayat (3) juga diatur mengenai perlindungan dan pengamanan perdagangan yang meliputi dumping dan lonjakan impor yang menyebabkan distorsi perdagangan. Pasal ini diatur lengkap dengan proses advokasi yang perlu diambil untuk menjaga kepentingan nasional.
Mendorong Kualitas Ekspor Indonesia
Ada lima langkah yang dibentuk melalui UU ini untuk dapat mendorong kualitas ekspor Indonesia. Pertama, pada Pasal 57 diatur mengenai standarisasi barang dimana para pelaku usaha diwajibkan memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) dalam melakukan aktifitas perdagangan. Di samping itu, pada Pasal 60 diatur hal yang sama mengenai SNI, namun objeknya adalah standarisasi jasa.
Kedua, pada Pasal 65 diatur mengenai perdagangan melalui sistem elektronik. Sistem perdagangan ini adalah model bisnis yang paling menjanjikan saat ini karena tidak membutuhkan modal yang besar. Namun, pemerintah juga mengatur secara ketat model bisnis secara elektronik ini dengan mewajibkan pengusaha untuk memberikan data dan informasi yang valid.
Ketiga, pada Pasal 73 diatur mengenai pemberdayaan koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah. Pemerintah berupaya memberikan fasilitas, insentif, bimbingan teknis, akses, dan bantuan permodalan serta pemasaran.
Keempat, di dalam Pasal 74 diatur mengenai pembinaan ekspor dengan cara perluasan akses pasar bagi barang dan jasa produksi dalam negeri. Pemerintah berupaya memberikan fasilitas, insentif, bimbingan tekhnis, akses, dan bantuan permodalan serta pemasaran. Pemerintah juga memberikan insentif fiskal dan/atau nonfiskal dalam upaya meningkatkan daya saing ekspor produk dalam negeri.
Kelima, pada Pasal 75 diatur mengenai promosi dagang dengan cara melakukan pameran dagang di tingkat lokal, nasional, dan internasional. Pemerintah akan melibatkan koperasi serta UKM untuk bisa terlibat di dalam kegiatan promosi ini.
Melalui kelima langkah tersebut, Pemerintah Indonesia berupaya untuk meningkatkan kualitas ekspor Indonesia agar mampu bersaing dengan produk-produk mancanegara serta dimungkinkan akan mendapatkan penerimaan yang positif, sehingga berimplikasi kepada peningkatan kuantitas produk dalam negeri yang dapat di ekspor ke luar negeri dan mendatangkan devisa untuk negara. (***)
Published at :