DEPONERING VS SKP2: REFLEKSI KASUS MANTAN PIMPINAN DAN PENYIDIK KPK
Oleh AHMAD SOFIAN (Maret 2016)
Kejaksaan Agung akhirnya men-deponering kasus mantan pimpinan KPK, yaitu Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Sebelum itu, Kejaksaan Negeri Bengkulu menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) atas kasus Novel Baswedan. Terbitnya penetapan deponering dan SKP2 ini dinilai banyak kalangan sebagai langkah tepat atas kegaduhan yang muncul selama ini terkait dengan “kriminalisasi” mantan pimpinan dan penyidik KPK. Tulisan ini tidak mempersoalkan alasan dan kewenangan penerbitan kedua keputusan hukum tersebut, namun mengulas konsekuensi hukum atas terbitnya SKP2 dan deponering. Undang-undang yang mengatur deponering dan SKP2 tidak mempertimbangkan konsekuensi apapun atas dicabutnya atau dikesampingkannya perkara tersebut. Untuk itu, perlu dipertanyakan langkah-langkah atau kebijakan apa yang dapat dilakukan pasca-keputusan tersebut.
Aspek Hukum Deponering dan SKP2
Pada prinsipnya kedua produk hukum yang diterbitkan oleh kejaksaan merupakan upaya untuk tidak melanjutkan perkara penuntutan. SKP2 adalah kewenangan yang dimiliki oleh kejaksaan untuk menghentikan tuntutan suatu perkara. Berdasarkan Pasal 76, 77, 78 dan 82 KUHAP, SKP2 dilakukan dengan dua alasan, yaitu: dihentikan demi kepentingan hukum karena tidak cukup bukti dan dihentikan demi hukum. SKP2 adalah salah satu objek praperadilan, sehingga bisa diajukan gugatan praperadilan ke pengadilan.
Deponering sendiri merupakan suatu diskresi Jaksa Agung untuk mengenyampingkan suatu perkara untuk kepentingan umum. Alat bukti yang dikumpulkan penyidik dinilai sudah sempurna, dan hanya tinggal diuji di pengadilan terkait kebenaran peristiwa pidana yang dituduhkan di pengadilan. Deponering hanya dimiliki oleh Jaksa Agung, sehingga kewenangan ini tidak dimiliki oleh kejaksaan negeri sebagaimana SKP2. Pengaturannya hanya ada pada Undang-Undang Kejaksaan yaitu Undang-Undang No. 16 Tahun 2004. Oleh karena itu deponering bukan objek praperadilan, keputusan yang dibuat oleh Jaksa Agung seolah-olah bersifat final dan berkekuatan tetap.
Pasal 35 huruf c UU No. 16 Tahun 2004 menyatakan: “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”. Dalam penjelasan pasal ini, yang dimaksud kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan suatu perkara oleh kejaksaan erat kaitannya dengan asas oportunitas; maknanya adalah lebih banyak kerugiaannya jika perkara tersebut dilanjutkan ke pengadilan daripada tidak dilanjutkan ke pengadilan. Dengan kata lain, ini adalah kewenangan diskresi yang dimiliki oleh kejaksaan.
Terbitnya SKP2 dan deponering secara prosedural tidak menimbulkan persoalan hukum. Kedua produk hukum ini berbeda, sehingga cara menganalisisnya juga berbeda. SKP2 dan deponering sudah diterbitkan, “kebersalahan” para tersangka, sebagaimana dituduhkan oleh penyidik terhenti pada tingkat kejaksaan, sehingga kebenaran materiil atas kasus ini menjadi menggantung atau setidak-tidaknya menyisakan tanda Tanya apakah mereka bersalah atau tidak.
Merujuk kepada asas presumption of innocence (asas praduga tidak bersalah), jelas sepanjang belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka setiap orang dianggap tidak bersalah. Jika asas ini diterapkan pada kasus Novel Baswedan, Bambang Widjojanto, dan Abraham Samad, maka selamanya ketiganya harus dianggap tidak pernah bersalah, sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan tetap. Perkara ketiganya terputus dari penyidikan ke penuntutan, padahal penyidik sudah mengumpulkan alat bukti, sudah menjadikan ketiganya tersangka, sudah mengikuti proses pemeriksaan yang panjang. Ketiganya sudah menghabiskan banyak waktu, tenaga dan uang, kehilangan nama baik, tekanan psikologis pada dirinya dan keluarganya, kehilangan pekerjaan karena harus dinonaktifkan. Proses “men-tersangka-kan” ketiganya menimbulkan kerugian yang amat besar. Ada kekosongan hukum atas konsekuensi (akibat) penetapan mereka sebagai tersangka yang kemudian terhenti di kejaksaan.
KUHAP dan UU Kejaksaan tidak memberikan jalan keluar atas dihentikannya perkara ini atas timbulnya konsekuensi tersebut. Hal yang patut dipertimbangkan adalah implikasi yang terjadi jika ternyata ada kesalahan dalam penetapan seseorang sebagai tersangka. Terbitnya SKP2 untuk Novel Baswedan, sudah jelas dan terang disebutkan dalam KUHAP bahwa ada kemungkinan alat bukti atas perkara ini tidak lengkap (meskipun kejaksaan sudah menyatakan perkara tersebut lengkap, dan berkas perkara ditarik kembali lalu dikoreksi), sehingga ada kemungkinan proses penetapan seseorang menjadi tersangka menjadi cacat hukum. Dapat ditafsirkan ada “kesewenangan-wenangan hukum” atas penetapan seseorang menjadi tersangka. Dapatkah Novel Baswedan menuntut ganti kerugian atas kesalahan penetapan ini? KUHAP tidak memberikan jalan keluar yang adil bagi Novel, tidak ada pengaturan tentang ganti kerugian atau kompensasi atas kekurangan alat bukti dalam penetapan seseorang menjadi tersangka. Negara belum mengakomodir persoalan ini, padahal kasus-kasus seperti ini sudah terulang terjadi.
Sementara itu, hal yang berbeda dialami oleh Bambang Widjojanjo dan Abraham Samad. Secara normatif kasus mereka sudah dinyatakan lengkap oleh kejaksaan, artinya tugas-tugas penyidikan sudah selesai. Keputusan deponering menunjukan bahwa alat bukti sudah lengkap, penyidik sudah selesai melakukan tugasnya. Jaksa tidak melanjutkan perkara ke pengadilan karena ada kepentingan umum yang lebih besar jika perkara ini dilanjutkan.
KUHAP maupun UU Kejaksaan tidak memberikan pengaturan tentang pemulihan, rehabilitasi dan kompensasi atas implikasi dari kesalahan penetapan seseorang sebagai tersangka. KUHAP hanya mengatur pemberian pemulihan dan rehabilitasi atas penangkapan, penahanan, penuntutan dan diadilinya seseorang tanpa dasar undang-undang atau karena kekeliruan orangnya (Pasal 1 butir 23). Selanjutnya dalam Pasal 97 ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa pemulihan dan rehabilitasi juga diberikan kepada terdakwa yang dilepaskan atau dibebaskan dari tuntutan hukum.
Persoalannya menjadi lebih pelik terhadap mantan Pimpinan KPK yang ditetapkan menjadi tersangka yang kemudian di-deponering. Keduanya sedang giat-giatnya memberantas korupsi di negeri ini. Kerugian tidak saja dialami oleh mereka sebagai pribadi, tetapi juga oleh bangsa teristimewa sebagai anak bangsa yang pada waktu kejadian tersebut ikut membela mati-matian dalam menyuarakan pemberantasan korupsi.
Penetapan SKP2 menunjukkan bahwa negara telah melakukan pembatalan penetapan tersangka atas diri Novel Baswedan. Pertanyaannya adalah apa langkah-langkah yang seharusnya diikuti setelah terbitnya SKP2 tersebut. Menurut Pasal 81 KUHAP Novel Baswedan punya hak untuk mendapatkan ganti kerugian dan rehabilitas atas terbitnya SKP2, hak ini dapat diajukannya kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat dia ditetapkan sebagai tersangka melalui mekanisme gugatan praperadilan.
Penetapan deponering terhadap Bambang Widjojanto dan Abraham Samad menimbulkan tiga konsekuensi yang berbeda. Pertama jika mantan pimpinan KPK ini menerima keputusan deponering ini, maka penetapan tersangka yang dilakukan oleh penyidik terhadap keduanya merupakan langkah yang tepat. Dengan kata lain tidak benar kepolisian melakukan kriminalisasi terhadap keduanya. Kedua, jika keduanya menolak menerima penetapan deponering, apakah kasus ini akan dibawa ke pengadilan untuk menemukan kebenaran materiil. Sayangnya, tidak ada upaya hukum yang dapat mengakomodir langkah ini. Undang-undang tidak mengatur lebih lanjut jika ada penolakan atas keputusan deponering ini. Demikian juga dengan sistem peradilan pidana kita yang masih belum mengakomodasi atas adanya upaya penolakan ini. Ketiga, bisa jadi keduanya berkeinginan perkara ini dilanjutkan ke pengadilan karena mereka yakin tidak melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana dituduhkan oleh penyidik. Namun keduanya ragu terhadap proses peradilan pidana yang akan dihadapi di pengadilan. Publik tidak begitu memiliki percayaan yang besar atas sistem peradilan pidana dalam menemukan kebenaran materiil. Putusan pengadilan pidana dinilai banyak kalangan masih menimbulkan ketidakadilan bagi pencari keadilan.
Penutup
Sebagai penutup artikel ini, disarankan agar ada revisi terhadap Undang-Undang Kejaksaan dan KUHAP. Perlu mempertimbangkan pengaturan tentang mekanisme pemulihan nama baik dan rehabilitasi/restitusi atas dibatalkannya penetapan seseorang menjadi tersangka atau dikesampingkannya sudah perkara oleh kejaksaan. Di samping itu, perlu juga kita mempertimbangkan untuk mengatur mekanisme dan tata cara pengembalian hak-hak sipil dan politik yang hilang atas kesalahan penggunaan kewenangan penyidik dalam penetapan seseorang menjadi tersangka. (***)
Published at :