DEMO SOPIR TAKSI MELAWAN BISNIS TAKSI ONLINE
Oleh BAMBANG PRATAMA (Maret 2016)
Fenomena bisnis penyedia jasa transportasi online (PJTO) terus menjadi perdebatan di kalangan pengambil kebijakan, konsumen, dan pelaku usaha transportasi. Ketidakjelasan pengaturan tentang PJTO hingga saat ini memicu gelombang demostrasi di kalangan para supir taksi, karena dianggap mengganggu pendapat mereka.
Berdasarkan pemberitaan media, menteri perhubungan menunjukkan sikap menolak keberadaan PJTO dengan meminta menteri KOMINFO melalui suratnya untuk menutup aplikasi PJTO. Tetapi, respon dari menteri KOMINFO belum menunjukkan sikap yang sama dengan menteri Perhubungan. Meski wilayah penutupan akses Internet adalah kewenangannya.
Akibatnya, muncul pertanyaan mendasar dari fenomena PJTO ini, apakah ada dasar hukum yang dapat digunakan untuk akses aplikasi PJTO? Jawaban terkait dasar hukum itu adalah sebagai berikut.
Pertama, aplikasi PJTO bisa dikatakan sebagai perbuatan memfasilitasi transportasi umum tanpa izin. Terlepas dari perdebatan tentang transportasi roda dua dan transportasi roda empat. Tindakan memfasilitasi yang dilakukan oleh PJTO adalah menghubungkan penumpang dengan pemilik mobil pribadi untuk mengangkut penumpang. Padahal, secara jelas undang-undang mengatur bahwa kendaraan yang berhak untuk mengangkut penumpang umum adalah angkutan umum, bukan mobil pribadi.
Artinya, di sini ada pintu masuk untuk dapat mengenakan pertanggungjawaban pidana pada PJTO, yaitu Pasal 55 KUH Pidana tentang peserta tindak pidana. Jika merujuk pada Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, setidaknya ada beberapa bentuk pelanggaran yang difasilitasi oleh PJTO, yaitu:
- Tidak adanya izin oleh pemilik mobil (taxi gelap) untuk berlaku menjadi angkutan orang;
- Kendaraan yang digunakan oleh pemilik mobil, bukanlah standar kendaraan yang dapat dijadikan sebagai angkutan orang. Standar kendaraan angkutan orang bearti harus lulus uji kelayakan dari pihak berwenang;
- Perusahaan angkutan orang wajib memberikan asuransi kepada penumpangnya. Bagi taxi gelap tentunya tidak mengasuransikan penumpangnya.
Norma hukum yang dapat diterapkan dari tiga bentuk pelanggaran di atas bisa dikenakan kepada pengemudi taksi gelap. Sedangkan pada PJTO, secara actus reus dapat dikatakan sebagai orang yang memfasilitasi tindak pidana. Artinya, PJTO dapat dikenakan sanksi pidana juga, sama seperti pengemudi taksi gelap.
Kedua, aktivitas PJTO berbeda dengan perusahaan tour and travel. Pada perusahaan tour and travel, bisnis model yang dijalankan adalah mengumpulkan dan mensistematisasi informasi dan harga jual dari perusahaan penerbangan dan hotel. Kemudian, data yang dikumpulkan tersebut disistematisasi sedemikian rupa untuk ditawarkan kepada konsumen melalui media TIK. Konsumen diberi pilihan untuk memilih harga yang ditawarkan oleh perusahaan tour and travel. Setelah konsumen memilih maka konsumen akan langsung dihubungkan dengan perusahaan yang dipilih baik itu penerbangan ataupun hotel. Di sini perusahaan tour and travel hanya bertindak sebagai penghubung/perantara antara produsen dengan konsumen. Artinya di sini tidak ada aktivitas yang melanggar hukum, karena penyedia penerbangan dan hotel adalah perusahaan yang secara hukum sah menjalankan bisnisnya. Berbeda dengan PJTO yang merekrut orang umum untuk berlaku menjadi supir angkutan umum dengan kendaraan pribadi bukan kendaraan angkutan umum.
Ketiga, di beberapa negara penentangan terhadap PJTO dibenturkan dengan hukum persaingan usaha. Artinya, di sini ada dampak dari tindakan PJTO yang menyebabkan rusaknya harga pasar dan rusaknya struktur pasar dari konsumen angkutan umum. Ada kata kunci dari pengertian persaingan usaha tidak sehat yang diatur dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam definisinya, yaitu: perbuatan tidak jujur, perbuatan melawan hukum, dan menghambat persaingan usaha. Diantara tiga larangan yang diatur dalam undang-undang persaingan usaha, PJTO dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya.
Dari ketiga alasan hukum yang dikemukakan di atas, mungkin pemerintah terlalu khawatir mengambil sikap untuk menutup PJTO. Hal ini disebabkan karena presiden Jokowi berkeinginan untuk menghasilkan 1000 bisnis startup yang berbasis TIK. Tetapi, yang perlu direnungkan, apakah pemerintah akan membiarkan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh bisnis startup? Perlu disadari ada bentuk-bentuk bisnis model baru di bidang TIK yang melanggar hukum dan menjadi fenomenal, misalnya pada kasus Napster, Youtube, VOIP dan sebagainya. Tetapi ada banyak juga bisnis startup di bidang TIK yang tidak melanggar hukum.
Pada kasus PJTO, pihak yang dirugikan adalah perusahaan transportasi konvensional. Pemerintah seharusnya berperan aktif melindungi mereka. Meski di permukaan muncul opini yang menyebutkan bahwa kehadiran PJTO membuka lapangan pekerjaan. Tetapi pertanyaannya apakah lapangan pekerjaan yang muncul itu adalah lapangan pekerjaan yang halal (tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang)?
PJTO dapat dipersamakan dengan penambangan liar. Pertanyaannya apakah penambangan liar diijinkan oleh undang-undang? Meski secara faktual dapat dikatakan bahwa penambangan liar membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat ketimbang hanya menjadi penonton atas aktivitas korporasi.
Urgensi penataan transportasi di Indonesia sangat tinggi. Pemerintah dituntut untuk bertindak cepat, bukannya merasa senang karena sebagian masalah transportasi ini dipecahkan oleh pihak swasta, atau menjadi pencari rente dengan mencari-cari celah untuk mengenakan pajak terhadap PJTO. Hal yang tidak disadari adalah dampak ekonomi, dan dampak sosial yang tidak bisa dibiarkan terus menerus. Oleh sebab itu, di sini pemerintah harus tegas dan berani mengambil sikap menerapkan aturan. Jika pemerintah tetap diam tanpa sikap yang jelas, maka siap-siap nantinya akan ada PJTO di bidang penerbangan yang dilakukan oleh pemilik alat transportasi udara dan laut. (***)