People Innovation Excellence

APA ITU “JURISPRUDENCE”?

Oleh SHIDARTA (Maret 2016)

Kata “jurisprudence” kerapkali dimaknai secara rancu oleh penstudi hukum Indonesia menjadi “yurisprudensi”. Namun, kerancuan ini tidak dimonopoli oleh para penstudi hukum Indonesia semata. Penulis seperti Surya Prakash Sinha dari Pace University, New York (AS), dalam bukunya “Jurisprudence: Legal Philosophy in A Nutshell” (1993) rupanya juga berpendapat demikian. “Jurisprudence has two menaings,” katanya. “In the civil law tradition of Europe it means the collectivity of decisions of a particular court. In the common law tradition of England, United States, and other common law countries it means legal philosophy.”

Kata “jurisprudence” konon berasal dari bahasa Latin, yaitu juris (law; hukum) dan prudens (skilled; terlatih). Itu sekadar pemahaman etimologis. Sebagai sebuah kata, harus diakui bahwa jurisprudence memiliki makna yang longgar. Longgarnya makna jurisprudence ini membuat tidak mudah pula untuk membuat pengkategorian jurisprudence, sebagaimana dapat ditilik dari isi tulisan di bawah ini.

Guru besar dari Universitas Melbourne, George Whitecross Paton dalam karya monumentalnya “A Textbook of Jurisprudence” (1953) menegaskan, “Jurisprudence is sometimes used merely as an imposing synonym for law, as when we speak of medical jurisprudence. This is not the use to which the term is put in this work. Jurisprudence is a particular method of study, not of the law of one country, but of the general notion of law itself.”

Suri Ratnapala dari Universitas Queensland (Jurisprudence, 2009) mengatakan, “Jurisprudence is about the nature of law and justice. It embraces studies and theories from a range of disciplines such as history, sociology, political science, philosophy, psychology and even economics. Why do people obey the law? How does law serve society? What is law’s relation to morality? What is the nature of rights?”

Hal yang kurang lebih sama disampaikan oleh ahli hukum dari Harvard University Richard A. Posner (The Problems of Jurisprudence, 1993) dengan mengakui, “By ‘jurisprudence’ I mean the most fundamental, general, and theoretical plane of analysis of the social phenomenon called law. For the most part it deals with problems, and uses perspectives, remote from the daily concerns of legal practitioners: problems that cannot be solved by reference to or by reasoning from conventional legal materials; perspectives that cannot be reduced to legal doctrines or to legal reasoning. Many of the problems of jurisprudence cross doctrinal, temporal, and national boundaries.”

Raymond Wacks (Understanding Jurisprudence, 2015) mengakui kata “jurisprudence” ini kerap dipakainya secara bergantian dengan “legal theory” dan “legal philosophy”. Namun, pada catatan kaki pada halaman pertama dari bukunya itu, ia mengatakan “… strictly speaking, ‘jurisprudence’ concerns the theoretical analysis of law at the highest level of abstraction (eg, questions about the nature of a right or a duty, judicial reasoning, etc) and are frequently implied within substantive legal discipline. ‘Legal theory’ is often used to denote theoretical enquiries about law ‘as such’ that extend beyond the boundaries of law as understood by professional lawyers (eg, the economic analysis of law, Marxist approaches to legal domination, etc). ‘Legal philosophy’ or the ‘philosophy of law’, as its name implies, normally proceeds from the standpoint of the discipline of philosophy (eg, it attempts to unravel the sort of problems that might vex moral or political philosophers, such as the concepts of freedom or authority).”

Dalam sebuah outline kuliah Roscoe Pound yang dirilis tahun 1920 (Outlines of Lectures on Jurisprudence), ada pertanyaan tentang apa itu jurisprudence. Pound tidak memberi jawaban tegas, kecuali memulainya dengan mengatakan:

A developed system of law may be looked at from four points of view: 1. Analytical. — Examination of its structure, subject-matter, and rules in order to reach its principles and theories by analysis. 2. Historical . — Investigation of the historical origin and development of the system and of its institutions and doctrines. 3. Philosophical. — Study of the philosophical bases of its institutions and doctrines. 4. Sociological. — Study of the system functionally as a social mechanism and of tis institutions and doctrines with respect to the social ends to be served.

Lalu, Pound meneruskan dengan kalimat: “Applied to the study of legal system generally, these methods are called the ‘methods of jurisprudence’.” Artinya, di sini mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Harvard ini ingin menyatakan bahwa jurisprudence itu pada hakikatnya bersinggungan dengan metode yang diterapkan untuk mempelajari sistem hukum secara umum. Metode-metodenya ada empat, yaitu analitis, historis, filosofis, dan sosiologis. Semua metode ini menggunakan pendekatan komparatif, kendati Pound sendiri tidak sepenuhnya setuju memberi nama metode jurisprudence sebagai metode komparatif.

Lalu Pound mengatakan, bahwa apabila metode-metode tersebut (analitis, historis, filosofis, dan sosiologis) itu diterapkan untuk satu sistem hukum tertentu, maka ada beberapa kemungkinan gaya penerapannya, yakni: (1) dogmatis, atau (2) kritis. Disebut dogmatis jika berkenaan dengan penjelasan praktis tentang asas-asas dan aturan-aturan hukum. Disebut kritis jika berkenaan dengan pertimbangan bagaimana asas-asas dan aturan-aturan hukum itu seharusnya dicermati secara analitis, historis, filosoifs, dan tujuan-tujuan kemasyarakatan.  “On this side, sociological jurists insist that account must be taken of all the social sciences,” kata Pound.

Mari kita bandingkan apa yang ditulis oleh Pound dengan sebuah buku kecil karya Austin Chinhengo (2000) berjudul “Essential Jurisprudence.” Dalam buku ini, Austin Chinhengo memberi klasifikasi yang lebih beragam tentang jurisprudence, tetapi sekaligus berpotensi menambah kebingungan kita. Melalui klasifikasi itu muncul istilah-istilah:  (1) analytical jurisprudence, (2) normative jurisprudence, (3) general jurisprudence, (4) particular jurisprudence, (4) historical jurisprudence, (5) critical jurisprudence, (6) sociological jurisprudence, dan (7) economic jurisprudence.

Bertolak dari klasifikasi yang dibuat oleh Austin Chinhengo tersebut, ditambah mutatis mutandis dengan pandangan sejumlah tokoh sebelumnya, dapat saya gambarkan skema atas jurisprudence sebagai berikut:


 

Gambar.000.jurisprudence


Dalam skema tersebut terlihat bahwa fokus pertanyaan dari jurisprudence adalah tentang apa hakikat hukum (what is the nature of law). Untuk menjawab pertanyaan ini, arah kajiannya bisa ditujukan kepada hukum yang ideal (law as it ought to be) atau hukum yang senyatanya (law as it is). Kedua kajian ini melahirkan cabang disiplin hukum yang disebut teori hukum, yang masing-masing bisa didekati secara reflektif-kontemplatif maupun secara empiris. Teori hukum sebagai nama lain yang bisa disematkan untuk jurisprudence, dengan demikian dapat berupa teori hukum reflektif-kontemplatif yang berguna untuk membantu kajian filsafat hukum, dan teori hukum empiris yang bermanfaat bagi ilmu hukum dogmatif (dogmatika hukum; ilmu hukum positif).

Analytical jurisprudence dalam skema di atas menjadi arena kegiatan teori hukum yang mengundang kehadiran ilmu-ilmu empiris tentang hukum. Dari sini kemudian lahir kajian-kajian yang berdimensi historis, sosiologis, ekonomis, dan sebagainya. Jika dilihat dari kaca mata ilmu-ilmu empiris tentang hukum itu, maka kajian demikian bisa disebut sebagai sejarah hukum, sosiologi, hukum, atau ekonomi hukum. Apabila optiknya dibalik, yakni dengan melihat kajian ini dari sudut jurisprudence, maka dapatlah dimunculkan teori-teori hukum yang disebut historical jurisprudence, sociological jurisprudence, dan economical jurisprudence (juga bisa berupa: psyhcological jurisprudence, political jurisprudence, anthropolocial jurisprudence, dst.). Richard A. Posner, sebagaimana dikutip di atas, menyebutkan keseluruhan area ini sebagai “… the most fundamental, general, and theoretical plane of analysis of the social phenomenon”.

Berbeda dengan historical jurisprudence, sociological jurisprudence, dan economical jurisprudence yang memang didesain untuk membedah konsep-konsep hukum dalam struktur sistem-sistem hukum sebagaimana adanya, maka dalam critical jurisprudence terdapat misi yang berbeda. Critical jurisprudence memiliki ekspektasi untuk melakukan perubahan dengan melakukan kritik-kritik terhadap konsep-konsep hukum dalam struktur sistem-sistem hukum. Penjelasan ini, sekalipun tidak sepenuhnya cocok, ternyata punya ketersambungan dengan pendapat Pound  yang membedakan jurisprudence menjadi dua kategori: dogmatis dan kritis.

Teori hukum yang berjenis normatif maupun analitis, seharusnya tidak lagi melihat pada hukum positif satu negara saja. Teori hukum harus bersifat antar-negara. Itulah sebabnya, Pound sebagaimana dikutip pernyataannya di atas, menyebutkan metode jurisprudence sebagai metode perbandingan (komparatif). Perbandingan tersebut umumnya berskala luas, bahkan tidak lagi diberi label sistem hukum negara manapun. Metode demikian dikenal dengan general jurisprudence. Sekalipun demikian, ada juga perbandingan yang berskala kecil atau menengah, misalnya perbandingan sistem hukum antara dua negara, atau antara dua kawasan (regional), atau antara dua tradisi hukum. Perbandingan seperti ini layak disebut sebagai particular jurisprudence.

Apabila analytical jurisprudence bersifat netral (dalam arti bebas nilai), maka dalam analisisnya ia tidak boleh memberi penilaian tentang baik dan buruk. Lalu, apakah ini tidak berarti analytical jurisprudence adalah kajian deskriptif tentang hukum? Saya lebih cenderung mengatakannya “ya”. Makna deskripsi di sini menggambarkan konsep-konsep yang senyatanya memang sudah eksis di berbagai sistem hukum (bukan seyogianya ada). Untuk itu pembaca perlu berhati-hati bahwa kata “analitis” di sini seharusnya tidak dilawankan dengan “deskriptif” melainkan dengan kata “sintesis”. Dalam analisis terkandung makna penjabaran (dari genera ke spesia), sementara pada sintesis terkandung penggolongan (dari spesia ke genera). Analytical jurisprudence  dengan demikian adalah analisis yang berfokus pada penjabaran (derivasi), yakni dari konsep yang besar dipecah menjadi unsur-unsur yang lebih kecil dan seterusnya, bukan sebaliknya berupa penggolongan.

Pada normative jurisprudence, karena teori hukumnya diarahkan untuk membantu tugas-tugas filsafat hukum, maka jurisprudence sudah memasuki area kerja filsafat hukum yang tidak bebas nilai. Kata “normatif” itu sendiri jelas sudah menggambarkan nuansa nilai ini.

Apabila cabang disiplin yang disebut teori hukum ini diposisikan sebagai perantara antara ilmu hukum dogmatis (yang paling konkret) dan filsafat hukum (yang paling abstrak), maka jurisprudence sebenarnya merupakan teori tentang ilmu hukum dogmatis tersebut. Filsafat hukum kemudian menjadi teori tentang teori hukum. Nah, jika ilmu hukum dogmatis merupakan teori tentang hukum positif, maka jurisprudence (=teori hukum atau lebih tepat lagi: teori ilmu hukum) adalah meta-teori tentang hukum positif. Penjelasan mengenai hal ini dapat dibaca dalam buku “Rechtsreflecties” karya ahli hukum dari Universitas Utrecht (Belanda) J.J.H. Bruggink.

Sebagai meta-teori tentang hukum positif, dengan sendirinya jurisprudence tidak akan berbicara tentang masalah-masalah hukum yang terlalu teknis. Ia lebih senang berkutat pada diskursus mengenai konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum. Richard A. Posner (1993: xi) kembali dapat kita kutip pernyataannya tentang hal ini sebagai berikut:

….   Problems of jurisprudence include whether and in what sense law is objective (determinate, impersonal) and autonomous rather than political or personal; the meaning of legal justice; the appropriate and the actual role of the judge; the role of discretion in judging; the origins of law; the place of social science and moral philosophy in law; the role of tradition in law; the possibility of making law a science; whether law progresses; and the problematics of interpreting legal texts.

All these are examples of what may be termed “wholesale” problems of jurisprudence, to distinguish them from such “retail” problems as the phlosophical pros and cons of forbiding abortion or capital punishment, or of imposing tort liability for failing to rescue a stranger. The retail problems are no less worthy than the wholesale ones, nor even less fundamental in a useful sense; they are only narrower. The line is as indistinct as it is unimportant, …

Karena posisinya yang lebih abstrak daripada ilmu hukum dogmatis, maka kesan “filosofis” dari jurisprudence ini tdak bisa dihindari. Sejak lama memang diyakini bahwa di mana ilmu hukum berakir, di situlah filsafat hukum mulai (dalam arti menampung pertanyaan-pertanyaan yang tidak lagi mampu dijawab oleh ilmu hukum). Mungkin oleh karena itu pula Edgar Bodenheimer membuat anak judul menarik dari bukunya “Jurisprudence” (1962). Anak judul tersebut berbunyi: “The Philosophy and Method of the Law”. Artinya, apabila suatu problematika hukum diangkat ke tingkat yang lebih filosofis tetapi masih bernuansa metodologis, maka di sinilah arena problematis bagi cabang disiplin hukum bernama jurisprudence itu.

Hasil uraian jurisprudence dengan demikian bisa dipakai untuk membantu ilmu hukum dogmatis dan/atau filsafat hukum. Bagi ilmu hukum dogmatis, uraian tersebut akan dipakai untuk memberi penjelasan secara lebih ilmiah lagi mengenai makna suatu norma hukum positif. Bagi filsafat hukum, uraian jurisprudence itu akan dijadikan dasar pijakan untuk merefleksikan secara kritis hakikat hukum terkait, namun tidak lagi diarahkan pada hukum positif, melainkan pada dimensi meta-yuridis. Dalam dimensi meta-yuridis yang berada di arena filsafat hukum tadi, problematika hukum yang dibahas tidak lagi cukup bernuansa metodologis, melainkan sudah memasuki ranah aksiologis, yakni bersentuhan dengan nilai-nilai yang layak diterima secara universal.

Jadi, sebagai catatan akhir dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut. Pertama, jurisprudence lebih tepat jika dipahami sebagai teori [ilmu] hukum, yakni suatu cabang disiplin hukum yang menjembatani antara ilmu hukum dogmatis dan filsafat hukum. Oleh sebab itu, tidak tepat menerjemahkan jurisprudence dengan yurisprudensi. Tradisi civil law system yang dianut di Indonesia juga tidak pernah memahami jurisprudence sebagai yurisprudensi. Kedua, jurisprudence secara umum (dalam hal ini terlacak pada “analytical jurisprucence”) adalah teori hukum yang punya kecenderungan untuk lebih membantu ilmu hukum dogmatis daripada membantu filsafat hukum. Karakteristik teori hukum yang bebas nilai pada hakikatnya adalah teori hukum empiris. Namun, sebagai cabang disiplin hukum yang berada di antara ilmu hukum dogmatis dan filsafat hukum, ada pula teori hukum reflektif-kontemplatif yang bermuatan nilai-nilai. Ketiga, jurisprudence (teori hukum) tidak lagi bersentuhan pada satu hukum positif tertentu suatu negara saja. Jurisprudence selalu bekerja dengan menggunakan metode komparatif, terlepas apakah skalanya sangat luas maupun lebih sempit (antar-tradisi hukum, antar-regional, atau antar-negara tertentu).(***)


Screen.Shot.2015.12.21.at.04.40.58


Untuk melihat tulisan selanjutnya, klik tautan di bawah ini:

KLASIFIKASI DAN KEMANFAATAN “JURISPRUDENCE”

 

 


Published at : Updated
Leave Your Footprint
  1. Salam hormat pak sidharta,
    Pertanyaan saya adalah apa yg menjadi pembeda antara legal history dan historical jurisprudence, serta apa yg menjadi ciri kedua disiplin ilmu tersebut?

    Trimakasih

    • Legal history adalah cabang dari ilmu sejarah, atau setidaknya suatu pendekatan sejarah dalam melihat hukum. Historial Jurisprudence adalah teori hukum atau bisa juga disebut aliran filsafat hukum yang menyatakan hukum merupakan produk budaya yang berjalan secara berkelanjutan mengikuti alur sejarah suatu masyarakat. Teori ini tidak menerima pandangan yang memberi kewenangan pada penguasa politik untuk membuat hukum, karena kalau hukum sudah dibuat secara sengaja (by-design), maka hukum bukan lagi produk budaya yang berkelanjutan. Akan terjadi “momentary legal system” yang justru mudah disusupi oleh iktikad buruk pembentuk undang-undang.

  2. terimakasih Prof, paparan di atas sangat bermanfaat, tidak hanya bagi mahasiswa hukum secara umum, tapi juga telah secara langsung menambah kedalaman dari cakrawala pengetahuan hukum akademisi hukum seperti saya yang masih serba terbatas ini…

    HB

Periksa Browser Anda

Check Your Browser

Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

We're Moving Forward.

This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

  1. Google Chrome
  2. Mozilla Firefox
  3. Opera
  4. Internet Explorer 9
Close