SEKILAS TENTANG HUMANISME
Oleh IRON SARIRA (Februari 2016)
Filsafat mulai dicetuskan pertama kali oleh filsuf Yunani Klasik bernama Thales (624 – 548 SM). Ia disebut filsuf alam karena para filsuf pada masa ini memusatkan perhatiannya kepada alam semesta, yaitu yang menjadi masalah bagi meraka adalah tentang bagaimana terjadinya alam semesta ini. Dikemukakan oleh Thales bahwa asal usul dari segala realitas di alam semesta ini adalah air. Pendapat ini tidak sepenuhnya diamini oleh para filsuf sesudahnya.
Anaximandos berpendapat bahwa inti (arkhe) dari alam adalah suatu zat yang tidak tertentu sifat-sifatnya yang disebut to apeiron. Anaximenes berpendapat bawah sumber dari alam semesta adalah udara.Heraklitos mempendapatkan bahwa alam semesta ini terbentuk dari api, Heraklitos mengeluarkan suatu slogan yang terkenal hingga saat ini yaitu Pantarei yang berarti “semua mengalir” bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak henti-hentinya berubah.Pitagoras menyebutkan bahwa bilangan sebagai dasar dari segala-galanya, dan menyinggung sepintas tentang salah satu isi alam semesta adalah manusia (humanus). Pitagoras berpendapat bahwa setiap manusia itu memiliki jiwa yang selalu berada dalam proses Khatarsis, yaitu pembersihan diri, dan manusia dalam pandangan Pitagoras memiliki kaitan yang kuat sebagai objek filsafat.[1]
Telah terjadi kerumitan dalam beragam konotasi atas humanisme, khususnya dalam pemahaman aspek pengertiannya. Perspektif etimologis dan historis dalam memahami makna kata humanisme menunjukkan bahwa inti persoalan atas pemahamannya adalah humanus atau manusia itu sendiri (pengulangan atas penjelasan di atas). Dimulai pada masa Yunani klasik, perspektif humanisme berangkat dari pertimbangan-pertimbangan yang kodrati tentang manusia, sedangkan perspektif humanisme pada Abad Pertengahan berangkat dari keyakinan dasar tentang manusia sebagai makhluk kodrati dan adikodrati. Manusia tidak lagi dipandang sebagai faber mundi (pencipta dunianya sendiri), melainkan telah lebih dipandang sebagai imago dei; the image of God (makhluk Illahi atau citra Tuhan). Pada masa ini tujuan untuk mencari hakikat hidup (the essence of life) memberikan perkembangan terhadap pemikiran ke arah pencarian hakikat terhadap ilmu (science) dalam hal menjawab persoalan-persoalan besar (aporia) yang belum bisa dijawab.
Era filsafat diawali dari peralihan pola berpikir mitos menjadi logos. Dengan logos (akal budi)-nya, manusia menjawab persoalan-persoalan hidup dengan cara melukiskan dengan imaji dan narasi (gambar) sebagai proto-philosophy (bentuk awal) yang bermuatan substantial berupa pesan moral. Realitas dunia logos adalah realitas differentiated. Realitas tersebut dipilah-pilah. Hal ini jika dikaji dari perspektif etimologis dan historis tentang manusia, maka pemilahannya dapat dilihat atas kajian “bagaimana membentuk manusia (humanus) menjadi lebih manusiawi (humanismus), serta para pihak-pihak yang terlibat dan bertanggungjawab dalam proses pembentukannya (humanista/umanisti/humanist). Makna yang tersampaikan dalam dunia logos yang differentiated tersebut mengandung arti pertama, sebagai infrastruktur yang menunjang budaya mitos dan budaya lisan, sehingga memiliki pemaknaan atas budaya lisan tersebut diartikan sebagai “efek” moralitas yang merupakan bentuk dari “tampilan” (pencitraan); kedua, pemaknaan tersebut memiliki isi atau substansi konseptual sebagai anti kontrakdiktif (tidak bisa berbeda pada saat bersamaan). otak manusia pada hakikatnya terdiri dari otak kiri sebagai muatan logos dan otak kanan yang memiliki muatan mitos. Hal ini menjelaskan bahwa infrastruktur logika yang terjadi pada masa tersebut (dan hingga saat ini) adalah budaya baca tulis sebagai logika diskursus (wacana bernalar yang dituliskan – logical discursive).[2]
Dengan perkembangan atas logos ini, maka pemahaman atas manusia tersebut dibedakan atas beberapa pengertian sebagaimana yang telah tersebutkan di atas, yakni (secara singkat) bahwa humanus dengan kemampuan logos dan mitosnya mengejentawahkan budaya pengajaran sebagai suatu penekanan yang diberikan dengan penerapan yang berorientasi kepada ilmu pengetahuan dan sains yang bersifat praktis (humanismus) oleh kaum yang menunjuk kepada suatu kelompok diri mereka sebagai umanisti. Kelompok ini merupakan gerakan paideia (sistem pendidikan yang dijalankan dengan visi yang jelas untuk mengupayakan penciptaan manusia yang ideal) dalam kultur Yunani Klasik, yang berkaitan erat dengan artes liberales (pendidikan untuk orang-orang merdeka) sebagai suatu sistem baru yang terbentuk, yakni sistem pendidikan (dikembangkan pada Abad Pertengahan) dengan tujuan pendidikan secara umum adalah membebaskan peserta didik dari kebodohan dan kepicikan (moral buruk) melalui pengembangan intelektual, sehingga menjadi manusia yang lebih rasional, kritis, berwawasan luas, manusiawi dalam pergaulan, cerdas, dan arif dalam membuat keputusan yang adil. Dalam pandangan Yunani Klasik, pemahaman manusia ideal (paideia) adalah manusia yang mengalami keselarasan jiwa dan badan, suatu kondisi tempat manusia mencapai eudaimonia (kebahagiaan).
Terbentuknya sistem pendidikan dalam era tersebut dibuktikan dengan adanya penerapan kurikulum pendidikan yang dikenal dengan nama artes liberales atau liberal arts dengan tujuh (septem) bidang pelajaran yang diajarkan untuk mencapai arête (keutamaan). Pengkatagorian dalam ketujuh bidang pembelajaran tersebut dikenal dengan nama, pertama adalah trivium (pembagian bawah)yang terdiri dari bidang pelajaran tata bahasa, retorika, dan logika. Yang kedua adalah quadrivium (pembagian atas) yang terdiri dari matematika, geometri, astronomi, dan musik. Konsep arête ini ternyata mengalami perubahan terhadap masyarakat pada jaman Yunani Klasik (pasca perang Parsi). Masyarakat pada masa itu berlomba-lomba untuk mencapai predikat “keutamaan”, sehingga konsepsi arête ini mampu melahirkan suatu kultur Yunani yang lebih unik, yakni kultur demokrasi (suatu kultur yang sudah mulai bergerak kearah panggung politik demokrasi (logos sebagai pidato). Manusia pada masa ini sudah bergerak dari pemaknaan yang semakin berbeda-beda sebagai suatu perkembangan dari pencapaian arête tersebut, konsepsi Georgia (kubu Sofis) yang menganut pengertian bahwa logos sebagai suatu pidato (panggung politik) berbeda dengan kubu akademia Plato yang tetap mengkondisikan konsep logos adalah tetap sebagai akal budi. Hal ini menggambarkan bahwa telah terjadi differentiated dalam pencitraan manusia yang diakibatkan dari adanya sains (ilmu) sebagai suatu pemaknaan dari pencapaiaan keutamaan atau arête tersebut yang berkembang kearah kelompok-kelompok akademika dan politika (suatu kesimpulan dari peran humanisme dalam perkembangan science dalam masa Yunani Klasik).
Pembahasan tentang manusia sebagaimana yang disampaikan oleh Pitagoras sejak masa Yunani Klasik sebenarnya memunculkan arus perkembangan manusia dan ilmu pengetahuan hingga masa kehidupan postmoderenism yang dalam kajian ini penulis mencoba menyimpulkannya dalam bagan empat masa perkembangan humanisme dan ilmu pengetahuan, sebagai berikut: [3]
Penjelasan (bergerak dari kiri ke kanan pada masing-masing “era”) :
- Dalam humanus pada era Yunani klasik, manusia telah dipandang sebagai makhluk ciptaan Tuhan YME sebagai hakikat hidup yang memberikan kontribusi dalam perkembangan hakikat ilmu pengetahuan guna menjawab pertanyaan-pertayaan besar dalam esensi suatu kehidupan, dengan melukiskannya melalui penggunaan imaji dan gambar sebagai suatu proto-philosophy dimana tujuan akhir pada masa ini adalah menjadikan manusia yang ideal dan bermartabat (paideia) guna menggapai kebahagiaan dam keutamaan.
- Dalam humanus pada era Renaisans, manusia merasa sudah mulai jenuh dengan kekuasaan gereja yang telah berlangsung selama ratusan tahun, yang selalu menjadikan bahwa Tuhan ada dibalik kebijakan dan sistem yang dilakukan. Manusia sudah mulai berpaling terhadap keyakinan bahwa budaya Yunani menjadi yang ideal untuk mencapai hakikat keutamaan seorang manusia. Keraguan sebagai dasar pemikiran telah membentuk suatu pola tujuan keilmuan pada masa itu dari sumber yang berasal karena adanya Tuhan menjadi bahwa ilmu ada dan berkembang karena manusia itu sendiri (Antroposentris).
- Dalam humanus pada era Aufklarung, manusia sudah mengarah kepada kesadaran atas kemampuan berpikir, untuk ragu-ragu, dan berbeda pendapat sebagai bentuk penghargaan atas hakikat kualitas manusia dan esensi keilmuan. Pencerahan yang diutamakan kepada ideologi akal memberikan bentuk terhadap hasil pencerahan atas keilmuan, moralitas, dan perkembangan filsafat kehidupan (hakikat hidup).
- Dalam humanus pada era Critical Science, manusia tetap menjadi sumber utama dari ukuran nilai dan tujuan-tujuan mulia (pusat gravitasi). Tindakan-tindakan atas kritik terhadap peran manusia dalam penerapan dan perkembangan ilmu pengetahuan membentuk beberapa idealisasi atau keyakinan akan banyaknya ajaran-ajaran terhadap ilmu pengetahuan sehingga mengarah kepada hasil akhir akan kebermaknaan atas ilmu pengetahuan tersebut bagi manusia dengan keyakinan yang dianutnya atau dikehendakinya. (***)
REFERENSI:
[1] Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012), hlm. 15.
[2] Bambang Sugiharto, materi kuliah Program Doktor Ilmu Hukum Unpar, 2014.
[3] Bagan merupakan hasil analisis konstruktif yang penulis buat dalam tugas mid-semester mata kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan, Program Doktor Ilmu Hukum Unpar, 2014.