PERLINDUNGAN HAK CIPTA BUKU DAN PERANAN LMK YAYASAN REPRODUKSI CIPTA INDONESIA
Oleh BESAR (Februari 2016)
Perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual khususnya hak cipta terus dilakukan dengan berbagai cara, demi untuk mencapai rasa keadilan. Menurut Satjipto Raharjo, “perlindungan hukum” memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “perlindungan” berasal dari kata lindung yang memiliki arti mengayomi, mencegah, mempertahankan, dan membentengi. Beberapa unsur kata dalam Perlindungan yaitu:
- Perlindungan; proses, cara, perbuatan tempat berlindung, hal (perbuatan) memperlindungi (menjadikan atau menyebabkan terlindung).
- Pelindung: orang yang melindungi , alat untuk melindungi
- Melindungi: menutupi supaya tidak terlihat/tampak, menjaga, memelihara, merawat, menyelamatkan.
Perlindungan kerap dikaitkan dengan hukum, sehingga muncullah frasa “perlindungan hukum”. Pengertian perlindungan hukum adalah perlindungan yang diberikan terhadap subjek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Perlindungan hukum adalah konsep di mana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.
Perlindungan hukum juga dikaitkan dengan konsep negara hukum (rechtsstaat) karena lahirnya konsep tersebut tidak lepas dari keinginan memberikan pengakuan dan perlindungan negara terhadap hak-hak manusia (penduduk dan warga negara). Konsep yang muncul di abad ke-19 oleh Julius Stahl ini seiring dengan konsep negara hukum (rule of law ) dari A.V.Dicey.
Salah satu dari sekian banyak hak yang harus dilindungi itu adalah hak dalam lapangan kekayaan intelektual, antara lain hak cipta sebagai hak kekayaan intelektual yang paling luas cakupannya. Di Tanah Air kita, hak cipta merupakan kekayaan intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang mempunyai peranan strategis dalam mendukung pembangunan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan sastra, sudah demikian pesat sehingga memerlukan peningkatan pelindungan dan jaminan kepastian hukum bagi pencipta dan/atau pemegang hak cipta. Jenis karya yang mendapat perlindungan ini antara lain adalah buku.
Buku sebagai karya cipta juga harus dilindungi secara hukum agar terhindar dari pelanggaran. Perlindungan ini telah diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UUHC 2014. Dengan demikian maka setiap orang yang menggunakan ciptaan orang lain yang telah diakui hak ciptanya secara tidak sah adalah pelanggaran. Pelanggaran hak cipta buku di Indonesia menempati urutan ke-3 setelah perangkat lunak (software) dan musik. Bentuk pelanggaran hak cipta buku bisa beraneka ragam, di antaranya dengan penggandaan melalui sarana fotocopy. Pelanggaran demikian lazimnya disebut dengan pembajakan. Pembajakan buku secara keseluruhannya tanpa izin dari pemegang hak cipta, memang bisa dilakukan oleh siapa saja yang membutuhkan buku tersebut sebagai literatur, baik dalam jumlah yang sangat terbatas (untuk kalangan sendiri) maupun dalam jumlah yang besar (untuk dibisniskan) seperti yang dipraktikkan oleh sekolah-sekolah dari berbagai tingkatan, bahkan oleh perpustakaan, copy center, institusi keagamaan, dan institusi kebudayaan.
Untuk menanggulangi banyaknya pelanggaran tersebut, pada tahun 2008 Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) mendirikan Yayasan Cipta Buku Indonesia (YCBI) yang kemudian berubah menjadi Yayasan Reproduksi Cipta Indonesia (YRCI). YRCI adalah sebuah lembaga manajemen kolektif (LMK) yang mendapatkan kuasa dari setiap pemilik hak cipta untuk memungut royalti dari lisensi yang diberikan kepada setiap pengguna yang memperbanyak buku.
Selama ini hubungan antara penulis buku dan penerbit biasanya diikat dengan perjanjian keperdataan. Pada tahap pertama, penulis terkadang telah mendapat persentase tertentu dari royalti tersebut dan selanjutnya diserahkan pada “laporan sepihak” dari penerbit mengenai berapa banyak buku yang telah beredar dan dibeli oleh masyarakat pembaca. Atas dasar jumlah buku terjual itulah kemudian diberikan royaltinya. Laporan demikian bisa saja tidak akurat, sementara penulis juga tidak lazim meminta akses untuk membaca audit akuntan publik.
Kelahiran YRCI merupakan salah satu jalan untuk membantu penulis buku. Agar pencipta dan pemegang hak cipta dapat menarik royalti dari pengguna hak ciptanya, maka mereka diminta untuk bergabung dengan lembaga ini, sehingga pencipta atau pemilik hak cipta buku akan lebih mudah untuk mendapatkan royaltinya. (***)
REFERENSI:
Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual, Buku Panduan Kekayaan Intelektual, Jakarta: Depkumham, 2015.
Eddy Damian, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa Konvensi Internasional, Undang-Undang Hak Cipta 1997 dan Pelindungannya Terhadap Buku Serta Perjanjian Penerbitannya. Bandug : Alumni, 2001.
Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, Bandung: Alumni, 2009
Sentosa Sembiring, Aspek-aspek Yuridis Dalam Penerbitan Buku, Bandung: Bina Cipta, 1987.
Sulthon Miladiyantho, Peran YCBI dalam Penarikan Royalti Buku, Jurnal: Law Reform, FH. UNDIP. Volume 5, Nomor 1, Tahun 2010
Emawati Junus, “Aspek Hukum di Bidang Hak Cipta”, disajikan pada PROSIDING Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis.MA RI bekerja sama dengan Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta. 2004.
UNCTAD. 2008. Creative Economy Report 2008. Geneva: UNCTAD: 3-4, 15.
UNDP, Human Development Report 1999.
<http // www.artikata.com/ artiperlindunganhukum.html> diakses 12 Februari 2016.
<http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl594/apakah-lembaga-pengumpul-royalti-dibenarkan-secara-hukum>, diakses 12 Februari 2016.