ASPEK HUKUM INSENTIF PAJAK SEKTOR KEHUTANAN SEBAGAI PEMICU INVESTASI
Oleh JANUARDO S.P. SIHOMBING (Februari 2016)
Hutan[1] merupakan aset yang sangat berharga bagi suatu negara atau daerah karena mampu menghasilkan berbagai macam hasil-hasil hutan yang bernilai ekonomis dan produktif. Upaya pemanfaatan hutan yang baik tentu diyakini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya di bidang perekonomian yang manfaatnya dapat memberikan efek positif berkesinambungan (multiplier effect) bagi suatu pertumbuhan ekonomi suatu negara atau daerah. Selain fungsi kesejahteraan (ekonomi) bagi masyarakat, hutan juga berfungsi klimatologis (pengatur iklim/penghasil oksigen), ekologis (mencegah banjir), hidrolis (pengatur air dalam tanah).[2]
Bagi sebagian besar negara di Asia Tenggara, hutan dikuasai oleh pemerintah/negara dan manajemen hutan secara tegas disentralisasi termasuk juga kebijakan pengelolaannya.[3] Secara filosofis ideologis, diktum kata “dikuasai” sejalan dengan jiwa konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD 1945 atau UUD ’45, yakni Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi sebagai berikut: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Sebagai catatan, Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki luas hutan yang terbesar di dunia dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Namun demikian, fakta atas kondisi kehutanan saat ini amat memprihatinkan yang disebabkan oleh laju deforestasi yang mengakibatkan kerusakan hutan yang meningkat setiap tahunnya (2001-2012) sebagaimana disuguhkan dalam tabel di bawah ini.[4]
Kajian yang juga dipublikasikan dalam jurnal ilmiah tersebut menyebutkan bahwa sepanjang 2001-2012, Indonesia telah kehilangan ± 15,8 juta hektar hutan, sementara laju penggundulan hutan Indonesia cenderung meningkat menjadi 2 juta hektar di tahun 2012.[5] Fakta tersebut hendak mendeskripsikan bahwa kondisi sektor hutan di Indonesia perlu diberikan perhatian serius untuk ditanggulangi agar tidak mengganggu fungsi hutan yang mengemban fungsi ekonomi dan fungsi lainnya. Angka kerusakan hutan tersebut berpotensi naik setiap tahunnya apalagi dengan adanya fakta peristiwa kebakaran hutan dan kabut asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut di tahun 2015 lalu, di mana peristiwa tersebut terjadi hampir secara merata di seluruh Indonesia dan berlangsung cukup lama sehingga mengganggu aktivitas perekomian dan lalu lintas penerbangan dalam negeri.
Dalam rangka pola pemanfaatan manajemen kehutanan yang produktif, Pemerintah Indonesia memiliki berbagai instrumen untuk tujuan di sektor kehutanan dengan membuat kebijakan yang berperan sebagai faktor penarik (pull factor) dan faktor pendorong (push factor) untuk merangsang pelaku usaha melakukan kegiatan usaha/penanaman modal yang bertujuan:[6]
- meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional ;
- menciptakan lapangan kerja ;
- meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;
- meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional;
- meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional;
- mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan;
- mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri; dan
- meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Insentif Pajak sebagai push factor diberikan guna mendorong kegiatan penanaman modal di Indonesia dan membantu para pelaku usaha untuk tidak terlalu terbebani di dalam sektor perpajakan. Hal ini sejalan dengan fungsi pajak sebagai alat pengatur (reguleren), di mana pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur kebijakan untuk mendorong atau melindungi produksi dalam negeri, mendorong ekspor, dan merangsang investasi. Insentif pajak juga berperan sebagai pull factor bagi pelaku usaha untuk melakukan pelestarian sektor usaha tertentu kegiatan yang bersifat konstruktif (dalam hal ini pelestarian hutan) sebagaimana diharapkan oleh aturan perundang-undangan dengan timbal balik yang menguntungkan. Namun sesungguhnya, Insentif Pajak sendiri merupakan penyimpangan dari ketentuan umum perpajakan yang mengurangi beban pajak perusahaan dalam rangka mendorong investasi pada proyek dan sektor tertentu yang bertujuan untuk meningkatkan produksi nasional, memperluas lapangan kerja, kegiatan ekonomi penunjang produksi, dan memberikan penghasilan pada masyarakat yang akhirnya menaikkan produksi domestik bruto dan kesejahteraan masyarakat.[7]
Terkait korelasi insentif pajak dengan sektor investasi kehutanan sebagaimana tersebut di atas, BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) merilis data aktual Laporan Pusat dan Informasi BKPM per Quartal 1-2015, di mana kita dapat amati pergerakan investasi secara umum di Indonesia sebagai berikut:
- PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri)
- Tren pergerakan investasi / penanaman modal dalam negeri sektor kehutanan (forestry) periode tahun 2010 – Maret 2015 bergerak di kisaran 0 % – 0,6 tiap tahun.
- PMA (Penanaman Modal Asing)
- Pergerakan investasi PMA sektor kehutanan khusus periode 2011-2014 sebesar 0 % atau tidak ada sama sekali dari total keseluruhan penanaman modal yang ada di Indonesia.
Sebagai penutup, penulis hendak menggaris-bawahi aturan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu yang diterbitkan tanggal 6 April 2015 (PP 18/2015). Dinyatakan di situ bahwa untuk sektor kehutanan hanya diberikan bagi 1 (satu) bidang usaha saja yakni pengusahaan hutan jati berupa kegiatan kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran produk tanaman jati. (lihat Lampiran I PP 18/2015).
Dengan fakta rendahnya investasi di sektor kehutanan, dan terbatasnya sektor usaha / bidang kehutanan yang mendapatkan insentif pajak dari Pemerintah, serta belum maksimalnya pelaku usaha kehutanan yang memperoleh insentif pajak berdasarkan PP 18/2015, maka aturan tersebut perlu dipertimbangkan untuk dikaji kembali secara komprehensif dengan mempertimbangkan nature of business sektor kehutanan dengan pihak-pihak terkait di sektor kehutanan (rimbawan / forester) sehingga konsep ilmu kehutanan dapat dituangkan lebih baik dan tepat sasaran ke dalam regulasi aturan hukum tentang insentif pajak (tax incentive law). (***)
REFERENSI
[1] Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan didefinisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
[2] Diunduh dari laman http://www.organisasi.org/1970/01/pengertian-hutan-manfaat-hutan-yang-mempengaruhi-persebaran-hutan.html
[3] Martinus, Nanang and Inoue, Makoto, A Local Forest Management in Indonesia : A Contradiction Between National Forest Policy and Reality, International Review for Enviromental Strategies, Vol. 1, 2000, hal. 1.
[4] Matthew C. Hansen, Primary forest cover loss in Indonesia over 2000–2012, Nature Publishing Group, 29 Juni 2014
[5] Akibat deforestasi, Pemerintah Republik Indonesia menerbitkan kebijakan moratorium izin di bidang kehutanan yang dimulai dengan terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10 Tahun 2011 tentang penundaan penerbitan izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut serta Inpres Nomor 6 tahun 2013 yang memperpanjang moratorium tersebut.
[6] Lihat Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
[7]Gunadi, Panduan Komprehensif Pajak Penghasilan, (Jakarta: PT. Bee Media Indonesia bekerjasama dengan MUC Consulting Group), 2013, hal. 496.
Published at :