MERGER BANK SYARIAH BUMN
Oleh ABDUL RASYID (Februari 2016)
Akhir-akhir ini muncul di permukaan keinginan untuk melakukan merger (penggabungan) bank-bank syariah milik bank BUMN. Bank-bank syariah BUMN yang tengah diupayakan untuk merger tersebut adalah PT BRI Syariah, PT Bank Mandiri Syariah, PT BNI dan Unit Usaha Syariah BTN. Di sektor perbankan, upaya merger merupakan sesuatu hal yang biasa dilakukan. Menurut Pasal 1 butir 25 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang dimaksud dengan merger adalah “penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank-bank lainnya dengan atau tanpa melikuidasi.” Berdasarkan definisi ini dapat dipahami bahwa merger merupakan proses peleburan satu bank atau lebih ke dalam bank yang lain di mana satu bank tetap mempertahankan identitasnya dengan melakukan pengambilalihan kekayaan, tanggung jawab, dan kuasa atas bank yang meleburkan diri tersebut.
Setidak-tidaknya terdapat beberapa alasan mengapa merger bank perlu untuk dilakukan, di antaranya adalah untuk menciptakan bank yang lebih baik yang pada akhirnya dapat memberikan dampak signifikan dan positif pada sistem perbankan yang sehat, efisien, tangguh dan mampu berkompetisi di kancah perekonomian global dan pasar bebas yang semakin ketat dan kompetitif. Dalam sejarah perbankan di Indonesia telah dicatat terjadinya merger. Pada masa Orde Baru, tanggal 15 Mei 1972, Bank Umum Niaga Indonesia yang berkedudukan di Medan melakukan merger ke dalam Sejahtera Bank. Begitu juga dengan Bank Putera Multikarsa yang melakukan merger ke dalam Solida Bank berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No Kep-125/KM.17/1997 tanggal 31 Maret 1997 (Muhammad Djumhana: 2006, 303). Merger juga terjadi pada masa reformasi dengan bergabungnya empat bank (BBD, BDN, Bank Exim, dan Bapindo) menjadi Bank Mandiri pada tahun 1998. Bank Mandiri ini terbukti berhasil memainkan perannya dalam kancah perbankan secara nasional.
Sejalan dengan alasan merger di atas, keinginan untuk me-merger bank-bank syariah milik BUMN menjadi satu juga dengan harapan untuk memiliki bank syariah yang besar, kuat dan efisien ditambah lagi dalam menghadapi integrasi Masyarakat Ekonomi Syariah Asean (MEA) sektor keuangan pada tahun 2020. Sehingga bank syariah Indonesia bisa bersaing dengan bank syariah negara tetangga yang berskala besar seperti Maybank Syariah dan CIMB Syariah.
Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pembentukan bank syariah yang besar mendesak untuk dilakukan. Langkah yang dianggap paling cepat untuk diimplementasikan yakni melakukan merger (penggabungan) bank syariah BUMN yang ada. Bank syariah yang kecil-kecil akan menghadapai kesulitan untuk berkompetensi terutama dalam menghadapi integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN sektor keuangan pada tahun 2020. Menurut Ahmad Buchori, Kepala Departement Perbankan Syariah OJK, meskipun MEA perbankan baru berlaku pada tahun 2020, merger bank syariah harus dilakukan segera, tidak boleh mendadak, karena merger perlu masa-masa transisi, sehingga bisa bersaing dengan bank-bank syariah besar negara ASEAN lainnya. Di samping itu, dengan adanya merger bank bank syariah BUMN, pemerintah akan lebih mudah dalam memanfaatkan produk dan jasa bank syariah. Bank syariah yang berskala besar akan lebih mampu beroperasi, menciptakan produk dan pelayanan apa saja terutama apabila masuk dalam kategori BUKU IV. (Republika/13 Januari 2016).
Namun, baru-baru ini pemerintah membatalkan (atau menunda?) rencana merger bank syariah milik BUMN tersebut. Menurut Adiwarman Karim, Presiden Direktur Karim Consulting Indonesia, penundaan merger tiga bank syariah dan unit usaha syariah BTN merupakan langkah yang tepat, karena skala bisnis bank-bank syariah tersebut masih kecil. Menurut kajian yang dilakukan oleh lembaganya, “waktu yang terbaik untuk melakukan merger bank-bank syariah adalah di saat porsi anak-anak syariah ini sudah mencapai 20 persen terhadap induknya. Saat itu bank syariah hasil merger ini sudah cukup besar. Tahap ini sekiranya bisa dicapai pada 2017-2018 menjelang ASEAN Banking Integration Newttwork (ABIF) pada 2020.” Oleh karena itu, bank-bank BUMN perlu mencari investor strategis bagi anak-anak usaha syariahnya (Republika/17 Februari 2016). Berdasarkan penjelasan di atas, penulis sependapat dengan Adiwarwan Karim. Dalam melakukan merger bank-bank syariah BUMN, pemerintah dan OJK, mesti lebih berhati-hati dan melalui kajian yang mendalam. Pemerintah harus memberikan dukungan penuh dalam mewujudkan merger ini dalam bentuk penambahan modal. Promosi aktif juga mesti juga dilakukan untuk menarik minat para investor untuk menginvestasikan dana mereka di bank-bank syariah BUMN. Dengan penambahan modal baik dari pemerintah maupun para investor mampu memperkuat eksistensi perbankan syariah dan bersaing secara kompetitif dengan bank-bank konvensional dan dalam menghadapi integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN sektor keuangan 2020. (Wallahu a’lam). (***)
Published at :