People Innovation Excellence

SEKALI LAGI, KEBIRI MELANGGAR HAK-HAK KORBAN

 

Oleh AHMAD SOFIAN (Februari 2016)

Pemerintah akhirnya mengumumkan draf resmi perubahan ke-2 Undang-Undang Perlindungan Anak (UU NO. 23 Tahun 2003). Perubahan pertama sudah dilakukan melalui Undang-Undang No. 35/2014. Draft ini sudah lama dinanti publik, karena selama ini yang muncul hanyalah rumor atas rencana pemberian sanksi kebiri pada pelaku kejahatan seksual anak. Dalam Perubahan kedua ini, pemerintah sudah memasukkan pidana kebiri kepada pelaku kejahatan seksual anak. Untuk jelasnya berikut ini rumusan draft revisi ke-2 UU No. 23 Tahun 2003 khususnya yang terkait dengan hukuman kebiri.

Pasal 81: “… (4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan korban lebih dari satu yang mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi dan atau korban meninggal dunia, maka pidananya ditambah 1/3 dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta dijatuhi pidana tambahan berupa hukuman kebiri paling lama sesuai dengan pidana pokok yang dijatuhkan.(5) Pidana Tambahan sebagaimana disebutkan dalam ayat (4) dilakukan tenaga medis yang ditunjuk oleh pemerintah sesuai dengan standard dan prosedur. (6) Pidana tambahan sebagai dimaksud ayat (4) dikecualikan untuk pelaku anak. (7) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diputus bersamaan dengan putusan akhir dan dilaksanakan bersamaan dengan pidana pokok. (8) Pelaksanaan hukuman tambahan sebagaimana dimaksuk dalam ayat (7) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintah dalam bidang sosial dan kesehatan.”

Dalam artikel singkat ini yag menjadi titik tekan perhatian adalah beban pembuktian dan hak-hak korban kejahatan eksploitasi seksual anak. Pasal dan ayat perubahan di atas tidak sedikitpun menyinggung tentang tanggung jawab pelaku, dan tanggung jawab negara atas hak-hak korban yang hilang atas kejahatan tersebut.

Pemerintah mengusulkan untuk memberikan pidana kebiri dalam usulan revisi ke-2 Undang-Undang Perlindungan Anak. Rumusan delik yang diusulkan pemerintah untuk revisi pasal 81 merupakan delik materiil, artinya sanksi pidana KEBIRI baru bisa dijatuhkan jika akibatnya muncul lebih dahulu. Jika akibatnya tidak muncul maka pelaku tidak bisa dihukum KEBIRI. Jika diperhatikan maka pemberikan sanksi tambahan berupa kebiri baru bisa diberikan jika: (1) korbannya lebih dari satu orang anak (2) korban luka berat (3) korban mengalami gangguan jiwa (4) korban terkena penyakit menular (5) korban mengalami gangguan atau hilang fungsi reproduksinya. Pemberian hukuman kebiri juga bisa diberikan jika korban meninggal dunia artinya tidak perlu dipenuhi elemen (1) sampai dengan elemen (5). Dengan situasi ini, maka betapa menderitanya korban, karena korban harus mengikuti beberapa pemeriksaan kesehatan dimulai dari pemeriksaan untuk menemukan luka berat, pemeriksaan kejiwaan, pemeriksaan organ reproduksi dan pemeriksaan penyakit menular. Bisa dibayangkan, korban harus berpindah-pindah pemeriksaan, berpindah-pindah tenaga medis, korban harus diinterview dengan pertanyaan yang sama berulang-ulang oleh tenaga medis yang berbeda. Hal ini tentu saja dapat menyengsarakan korban itu sendiri, karena korban harus bisa membuktikan berbagai akibat sebagaimana disebutkan dalam ketentuan di atas.

Korban sudah menderita akibat kejahatan seksual, maka seharusnya korban tidak perlu lagi menderita dan membuktikan penderitaan itu di pengadilan. Jadi, kebiri ini memberikan dampak negatif pada penderitaan korban dan bukan untuk membuat korban terpulihkan dengan tindak pidana kejahatan seksual ini. Prosesdur pembuktiaan dibebankan kepada korban, dan beban pembuktian ini tidak cukup satu, tetapi ada 5 hal sebab rumusan pasal di atas menghendaki ke-5 elemen di atas harus terpenuhi agar syarat materiil dari tindak pidana tersebut memiliki dasar hukum yang kuat. Ini yang menjadi rancu, hukuman kebiri harus diikuti langkah-langkah pembuktian yang panjang, hanya demi membebaskan tanggung jawab pemerintah (penegak hukum) ketika ternyata validitas alat bukti tersebut lemah dalam memberikan hukuman kebiri kepada kepada terdakwa.

Selain itu, tidak satu pun rumusan revisi undang-undang perlindungan anak yang memberikan pidana tambahan berupa pidana tanggung jawab pelaku untuk memulihkan hak-hak korban dan ganti kerugian (restitusi). Pidana tambahan yang diusulkan oleh pemerintah hanya berupa pidana tambahan 1/3 dari ancamana hukuman pokok dan kebiri. Dua jenis pidana tambahan ini tidak memberikan implikasi apapun atas penderitaan korban. PIdana tambahan juga tidak membebankan tanggung jawab negara untuk memulihkan korban (kompensasi) ketika pelaku gagal atau tidak sanggup memulihkan hak-hak korban dan membayar ganti kerugian. Lalu adakah revisi ini memberikan manfaat bagi korban?

Revisi ini tidak memberikan manfaat apapun bagi pemulihan, penyembuhan dan reintegrasi korban jika pidana tambahan restitusi dan kompensasi tidak dimasukkan. Restitusi dan kompensasi jauh lebih manusiawi dan memberikan manfaat yang besar bagi korban dari pada pidana kebiri. Kesan yang muncul adalah pemerintah mengalokasikan anggaran yang begitu besar untuk kepentingan pelaku, dan bukan untuk memulihkan hak korban.

Aspek lain yang juga perlu dipertimbangkan sebelum ketentuan di atas di DPR-RI adalah digunakannnya cara-cara kekerasan oleh negara dalam menghukum korban. Cara-cara kekerasan sudah banyak ditinggalkan oleh negara dalam memberikan hukuman kepada pelaku. Indonesia sudah meratifikasi konvensi anti penyiksaan melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1998.

Hukuman kebiri adalah sebuah tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh negara. Hal ini dapat terlihat dari ketentuan di atas di mana pelaku diberikan dua kali pidana tambahan yaitu tambahan hukumaan 1/3 dari pidana pokok dan pidana kebiri. Akumulasi dua pidana tambahan ini menunjukkan cara-cara negara yang melampaui batas harkat martabat manusia. Kejanggalan berikutnya adalah pidana tambahan kebiri ini juga dilakukan selama pidana pokok diberikan, artinya jika pidana pokok diberikan selama 15 tahun, maka terpidana juga akan menerima suntikan kebiri selama 15 tahun. Situasi ini tentu saja membuat pelaku menjadi “teraniaya” dan “ketagihan”, karena suntikan kebiri ini dilakukan terus-menerus selama 15 tahun di penjara. Bisa dibayangkan berapa besar uang negara yang harus dihabiskan hanya untuk memberikan suntikan kebiri, dan efektivitas kebiri ini dalam memberantas kejahatan seksual anak. Bukanlah lebih baik anggaran negara yang ditujukan untuk menghukum pelaku kebiri diberikan untuk memulihkan, dan merehabilitasi korban? Seyogianya negara berpandangan jauh ke depan dalam menyelamatkan anak bangsa (look forward) daripada melihat ke belakang terhadap apa sudah terjadi. (***)


Screen.Shot.2015.05.05.at.07.06.54


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close