“GO PRIVATE” DI PASAR MODAL INDONESIA
Oleh AGUS RIYANTO (Februari 2016)
Latar belakang perusahaan yang telah go public menjadi go private telah terdapat lebih dari satu. Pertama, menjadi perusahaan terbuka tidaklah mudah di dalam menjalankan seluruh ketentuan Bapepam-LK dan Bursa Efek Indonesia. Kedua, selain itu juga banyaknya laporan-laporan yang harus dipenuhi oleh emiten atau perusahaan publik, khususnya laporan keuangan, yaitu empat kali dalam tahun, termasuk harus melakukan keterbukaan informasi setiap peristiwa yang material kepada publik dalam jangka dua hari kerja. Untuk itu, maka keinginan emiten atau perusahaan publik untuk kembali menjadi perusahaan tertutup (go private) adalah sebagai salah satu strategi emiten atau perusahaan publik mencari jalan keluar terhadap kedua masalah tersebut. Di Indonesia, go private pertama kali dilakukan pada tahun 1996, yaitu pada tindakan go private PT Praxair Indonesia Tbk. Setelah PT Praxair Indonesia, Tbk, beberapa perusahaan terbuka lain yang melakukan go private antara lain adalah PT Pfizer Indonesia, Tbk. (2002), PT Miwon Indonesia, Tbk. (2002), PT Indocopper Investama Tbk. (2002), PT Bayer Indonesia, Tbk. (2003), PT Central Proteinaprima Tbk. (2004), PT Surya Hidup Satwa, Tbk. (2004), PT Indosiar Visual Mandiri Tbk. (2004), PT Multi Agro Persada, Tbk. (2005), dan PT Komatsu Indonesia, Tbk. (2005).
Apakah sesungguhnya go private itu? Black’s Law Dictionary menterjemahkan go private is the process of changing a public corporation by terminating the corporation’s status with securities exchange commission as a publicly held corporation and by having its outstanding publicly held shares acquiered by a single shareholder or a small group. Sesungguhnya go private itu sendiri adalah aksi korporasi yang merupakan “kebalikan” dari tindakan go public. Artinya, perusahaan terbuka berubah menjadi perusahaan tertutup. Dalam go public suatu perusahaan menjual sahamnya kepada publik, sehingga menjadi perusahaan terbuka. Sebaliknya, tindakan go private adalah perusahaan terbuka statusnya menjadi perusahaan tertutup. Untuk itu, maka perusahaan terbuka itu harus melakukan pembelian kembali sahamnya yang telah beredar di Bursa Efek Indonesia. Sehingga dengan demikian, maka pemegang sahamnya yang semula perusahaan publik adalah tiga ratus menjadi berubah pemegang sahamnya minimal dua pemegang saham sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (7) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Hingga saat ini belum ada pengaturan khusus go private. Namun demikian, di terdapat beberapa ketentuan yang dapat dijadikan landasan hukum melakukan go private, di antaranya adalah :
Pertama, UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas [UUPT]. Pasal 21 ayat (2) huruf g menentukan bahwa status perseroan yang tertutup dapat menjadi perseroan terbuka atau sebaliknya. Untuk itu, maka perseroan harus mendapatkan persetujuan dari RUPS dan dengan persetujuan Menteri Kehakiman RI [Pasal 19 ayat (1) juncto Pasal 21 ayat (1) UUPT]. UU PT melalui pasal 37 ayat (1) UUPT juga mengatur ketentuan tentang larangan modal dan kekayaan perseroan yang digunakan go private akan menjadi lebih kecil dari jumlah modal yang ditempatkan ditambah cadangan wajib yang telah disisihkan. Masalah perlindungan terhadap para pemegang saham yang merasa dirugikan dengan adanya go private telah juga diatur dalam pasal 61 dan pasal 62 UUPT sebagai dasar pijakan hukumnya. Dengan adanya ketentuan ini semuanya telah menunjukkan bahwa memang secara normatif kemungkinan mengubah badan hukum dari terbuka menjadi tertutup dan impilikasinya telah diakomodasi dengan baik oleh UUPT.
Kedua, beberapa peraturan Bapepam-LK. Ketentuan yang berlaku dalam go private adalah Pertama, Peraturan IX.E.1. tentang Benturan Kepentingan dan Kedua, Peraturan IX.F.1. tentang Tender Offer Sukarela. Pertama, go private yang terdapat mengandung benturan kepentingan, maka ketentuan Bapepam-LK mewajibkan emiten atau perusahaan publik untuk mengacu kepada peraturan tersebut. Untuk itu, maka dengan ketentuan itu, meski tidak memiliki mayoritas, pemegang saham independen yang tidak setuju dengan proses go private dapat menghalanginya. Peraturan ini diperlukan di dalam rangka untuk perlindungan terhadap pemegang saham independen. Menurut Peraturan No. IX.E.1 mensyaratkan bahwa go private hanya dapat dilakukan dengan persetujuan RUPS pemegang saham independen yang dihadiri 50% saham yang dimiliki pemegang yang dimiliki pemegang saham independen dan disetujui oleh 50% saham yang dimiliki oleh pemegang saham independen. Kedua, dalam hal go private telah disetujui oleh para pemegang saham independen, maka harus dilakukan penawaran tender oleh pemegang saham perusahaan untuk membeli saham yang dimiliki pemegang saham publik. Tata cara dan prosedur Penawaran Tender diatur dalam Peraturan No. IX.F.1. Peraturan No. IX.F.1 mensyaratkan harga penawaran tender dalam rangka go private harus lebih tinggi dari dua harga berikut: (a). Harga penawaran tender tertinggi yang diajukan sebelumnya oleh pihak yang sama dalam jangka waktu 180 hari sebelum pengumuman dan b). Harga pasar tertinggi atas efek dalam jangka waktu 90 hari terakhir sebelum pengumuman
Ketiga, peraturan Bursa Efek Indonesia. Sebagai emiten atau perusahaan publik yang telah tercatat di Bursa Efek Indonesia, maka dalam hal terjadi go private berlaku juga ketentuan yang diatur dalam peraturan Bursa Efek Indonesia. Ketentuan yang berlaku dalam go private adalah delisting. Peraturan I-I tentang Penghapusan Pencatatn [Delisting] dan Pencatatan Kembali [Relisting] Saham di Bursa. Delisting adalah penghapusan pencatatan dari daftar saham di bursa dikarenakan tidak memenuhi ketentuan-ketentuan di bursa tersebut. Pada saat perusahaan melakukan go private akan diikuti dengan tindakan delisting oleh Bursa Efek Indonesia. Pada saat perusahaan yang berstatus terbuka mengubah statusnya menjadi perusahaan terutup, maka saham perusahaan yang tadinya tercatat di bursa dihapuskan dari daftar saham yang dapat diperdagangkan. Delisting itu sendiri adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh bursa efek untuk mengeluarkan emiten dari bursa. Untuk itulah, maka harus ada permohonan dari perusahaan tercatat kepada Bursa Efek Indonesia. Bursa Efek Indonesia dapat dilakukan dengan syarat-syarat: (1). Delisting dapat dilakukan jika telah tercatat di Bursa setelah tercatat sekurang-kurangnya 5 tahun; (2). Rencana delisting tersebut telah memperoleh persetujuan RUPS perusahaan tercatat; dan (3). Perusahaan tercatat atau pihak lain yang ditunjuk, wajib membeli saham yang tidak menyetujui keputusan RUPS.
Di samping wajib untuk memperhatikan ketiga ketentuan tersebut di atas, maka Emiten atau Perusahaan Publik juga wajib menyampaikan agenda RUPS kepada Bapepam-LK dan Bursa Efek Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Bapepam IX.I.1 sebagai pedoman pelaksanaan RUPS. Dalam RUPS yang berhak menentukan persetujuan go private untuk menyetujui atau menolak rencana go private tersebut adalah pemegang saham independen. Pemegang saham independen adalah pemegang saham publik yang tidak terafiliasi atau tidak termasuk di dalam group usaha atau pemegang saham utama dari emiten atau perusahaan publik. Syarat ini adalah wajar ada, karena waktu pertama kali emiten atau perusahaan publik berubah menjadi perusahaan terbuka yang membeli dan menjadikannya adalah juga pihak pemegang saham independen, maka sama halnya dalam hal tertutup, maka yang berhak untuk menentukan go private adalah juga seharusnya pemegang saham independen. Sebuah keadilan keputusan RUPS yang berusaha ditegakkan oleh regulator Bapepam-LK yang di dalamnya terkandung kesetaraan perlakuan melalui RUPS yang berpihak kepada penentu awal dan pengadil akhir berubahnya bentuk badan hukum tersebut yaitu pemegang saham independen. Amiin. (***)