MEWASPADAI BUDAYA KEKERASAN DI MEDIA TELEVISI
Oleh ERNI HERAWATI (Januari 2016)
Setelah diundangkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, tepat pada saat era reformasi dimulai, pers Indonesia mendapatkan kebebasan untuk menyatakan pendapat yang sebelumnya berada dalam masa pers yang otoritarian. Namun saat ini, kebebasan pers dalam mendapatkan informasi seringkali mendapatkan kritikan tajam oleh masyarakat dikarenakan kebebasannya yang dianggap tidak mengindahkan etika jurnalistik. Sorotan ini juga diarahkan pada program-program berita yang tayang di televisi.
Masih belum hilang dalam ingatan kita mengenai kejadian aksi teror bom di Gedung Sarinah, Jalan M.H Thamrin Jakarta pada tanggal 14 Januari 2016. Pada waktu itu, media massa televisi berlomba-lomba untuk terus menyiarkan secara intens perkembangan terbaru peristiwa pemboman tersebut. Untuk memberikan gambaran yang senyatanya, stasiun televisi tidak hanya menayangkan aksi polisi melakukan aksi tembak menembak dengan terduga teroris, namun juga menayangkan gambar-gambar korban, bahkan ada yang menayangkan gambar korban yang meninggal di dekat Pos Polisi Sarinah akibat terkena bom secara gamblang.
Tindakan penayangan gambar ini kemudian ditindaklanjuti oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang pada tanggal 14 dan 15 Januari 2016 memberikan teguran secara tertulis terkait beberapa program jurnalistik pada beberapa lembaga penyiaran televisi yang menayangkan visualisasi mayat yang tergeletak di lokasi kejadian. Diantaranya adalah program “Patroli” Indosiar, “Breaking News” INews TV, TV One, Metro TV, program “Topik Terkini” ANTV, program “Redaksi” Trans 7, program “Net Update: Breaking News” NET TV (kpi.go.id). Tindakan penayangan tersebut melanggar Pasal 22 ayat (2) dan (3), Pasal 25 huruf a dan c Pedoman Perilaku Penyiaran, serta melanggarr Pasal 40 huruf b dan Pasal 50 huruf d Standar Program Siaran tahun 2012. Sanksi teguran tertulis yang diberikan oleh KPI merupakan sanksi yang paling ringan dalam urutan sanksi yang menjadi kewenangan KPI.
Masalah penayangan visualisasi gambar mayat secara spesifik menyangkut masalah penyiaran, tetapi juga merupakan masalah jurnalistik yang dipayungi oleh Undang-Undang Pers. Oleh karena itu dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran yang dikeluarkan oleh KPI diatur pula perilaku penyiaran dan standar program siaran untuk program jurnalistik di televisi. Program televisi yang mendapat teguran KPI tersebut dianggap tidak menunjung tinggi idelisme jurnalistik, melakukan peliputan korban yang tertimpa musibah dengan mempertimbangkan proses pemulihan korban dan keluarga, serta menyiarkan gambar korban dalam kondisi menderita yang hanya diperbolehkan dalam konteks tayangan saja. Siaran jurnalistik tidak diperbolehkan menampilkan gambar korban atau mayat secara mendetail, menampilkan gambar luka berat atau potongan tubuh. Pada dasarnya tidak dipungkiri bahwa kerja pers utamanya bertujuan pada unsur komersil, karena sebagai institusi usaha wajib kiranya untuk mencari keuntungan. Tetapi pada dasarnya pers tidak boleh melupakan dua pilar yang lain yaitu : idelisme dalam menegakkan nilai demokrasi dan profesionalisme sebagai penghargaan atas keahlian diri pekerja pers.
Meskipun sudah banyak program siaran televisi yang mendapatkan teguran dari KPI berkaitan dengan penayangan gambar-gambar yang bersifat traumatik, sadis, kekerasan, dsj. Namun masih terus saja visualisasi-visualisasi tersebut muncul dalam berita-berita lain yang berbeda di televisi. Khalayak Indonesia sudah sangat “terbiasa” dengan budaya kekerasan yang ditampilkan oleh media. Budaya ini sangat ditakutkan akan menjadikan masyarakat Indonesia menjadi “mati rasa” dan permisif pada kekerasan-kekerasan yang terjadi di sekelingnya. Masyarakat berhak untuk dilindungi dari informasi-informasi yang merugikan seperti itu. Sudah waktunya media massa menjadi pelopor untuk menghentikan budaya kekerasan dengan menghentikan tayangan-tayangan yang hanya mementingkan nilai jual tetapi tidak mengindahkan etika. (***)
Published at :