MENGUJI PAKET KEBIJAKAN EKONOMI JILID IX
Oleh REZA ZAKI (Januari 2016)
Pada hari kamis (28/1/2016) pemerintah Indonesia resmi meluncurkan Paket Kebijakan Ekonomi Jilid IX. Paket kebijakan jilid IX ini bertumpu pada percepatan pembangunan infrastruktur tenaga listrik, stabilisasi harga daging, dan peningkatan sektor logistik desa-kota.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan pemerintah akan mengeluarkan peraturan presiden (Perpres) untuk mempercepat pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan. Selain demi memenuhi kebutuhan listrik untuk rakyat, pembangunan infrastruktur ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus meningkatkan rasio elektrifikasi.
Pemerintah menargetkan kapasitas listrik terpasang di Indonesia mencapai 53 gigawatt (GW) dengan energi terjual mencapai 220 triliunwatthour (TWh) sampai 2015; sedangkan rasio elektrifikasi saat ini sebesar 87,5 persen. Untuk mencapai rasio elektrifikasi hingga 97,2 persen pada 2019, diperlukan pertumbuhan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan sekitar 8,8 persen per tahun.
Dengan adanya Perpres ini, PLN akan memiliki dasar hukum yang kuat untuk mempercepat pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan. Pemerintah akan mendukung berbagai langkah PLN seperti menjamin penyediaan energi primer, kebutuhan pendanaan dalam bentuk PMN dll. Juga fasilitas pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT), penyederhanaan perizinan melalui PTSP, penyelesaian konflik tata ruang, penyediaan tanah serta penyelesaian masalah hukum, serta pembentukan badan usaha tersendiri yang menjadi mitra PLN dalam penyediaan listrik. Namun PLN juga wajib mengutamakan penggunaaan barang/jasa dalam negeri melalui proses pengadaan yang inovatif. Misalnya pengadaan secara openbook, pemberian preferensi harga kepada penyedia barang/jasa dengan tingkat kandungan dalam negeri yang tinggi, serta penerapan pengadaan yang memungkinkan pabrikan-pabrikan dalam negeri menyediakan komponen untuk sistem pembangkit listrik.
Selain listrik, yang masuk dalam Paket Kebijakan Ekonomi IX adalah kebijakan tentang pasokan ternak dan/atau produk hewan dalam hal tertentu. Kebijakan ini didasari kebutuhan daging sapi dalam negeri yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2016 ini, misalnya, kebutuhan nasional adalah 2,61 perkapita sehingga kebutuhan nasional setahun mencapai 674,69 ribu ton atau setara dengan 3,9 juta ekor sapi.
Kebutuhan tersebut belum dapat dipenuhi oleh peternak dalam negeri, karena produksi sapi hanya mencapai 439,53 ribu ton per tahun atau setara dengan 2,5 juta ekor sapi. Jadi terdapat kekurangan pasokan yang mencapai 235,16 ribu ton yang harus dipenuhi melalui impor. Pemerintah sebenarnya telah melakukan langkah-langkah untuk meningkatkan pasokan atau produksi daging sapi dalam negeri. Antara lain melalui upaya peningkatan populasi, pengembangan logistik dan distribusi, perbaikan tata niaga sapi dan daging sapi, dan penguatan kelembagaan melalui Sentra Peternakan Rakyat (SPR).
Mengingat terbatasnya jumlah negara pemasok,pemerintah Indonesia perlu memperluas akses dari negara maupun zona tertentu yang memenuhi syarat kesehatan hewan yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Hewan Internasional (OIE) untuk menambah alternatif sumber penyediaan hewan dan produk hewan. Untuk itu, Menteri Pertanian akan menetapkan negara atau zona dalam suatu negara, unit usaha atau farm untuk pemasukan ternak dan/atau produk hewan berdasarkan analisis resiko dengan tetap memperhatikan ketentuan OIE.
Dengan demikian, pemasukan ternak dan produk hewan dalam kondisi tertentu tetap bisa dilakukan, seperti dalam keadaan bencana, kurangnya ketersediaan daging, atau ketika harga daging sedang naik yang bisa memicu inflasi dan mempengaruhi stabilitas harga. Jenis ternak yang dapat dimasukkan berupa sapi atau kerbau bakalan, sedangkan produk hewan yang bisa didatangkan berupa daging tanpa tulang dari ternak sapi dan/atau kerbau. Kebijakan ini diharapkan mampu menstabilisasi pasokan daging dalam negeri dengan harga yang terjangkau dan kesejahteraan peternak tetap meningkat.
Sektor logistik perlu dibenahi demi meningkatkan efisiensi dan daya saing serta pembangunan konektivitas ekonomi desa-kota. Lima jenis usaha yang dideregulasi antara lain: pengembangan usaha jasa penyelenggaraan pos komersial; Penyatuan pembayaran jasa-jasa ke pelabuhanan secara elektronik (single billing); sinergi BUMN membangun agregator/konsolidator ekspor produk UKM, indikasi geografis, dan ekonomi kreatif. Sistem pelayanan terpadu ke pelabuhan secara elektronik; dan penggunaan mata uang rupiah untuk transaksi kegiatan transportasi.
Kebijakan ini akan diuji kembali apakah mampu mengatasi gejolak harga yang semakin parah dalam beberapa hari terakhir ini, serta pemerintah juga harus secara cepat dapat melakukan konektivitas pembangunan desa-kota serta peningkatan elektrifikasi sebagai upaya membangun infrastruktur. (***)
Published at :