PANDANGAN AHLI VERSUS PEMAHAMAN HAKIM DALAM PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Oleh IRON SARIRA (Januari 2016)
Sering kali dalam agenda persidangan, proses beracara yang mempunyai pentahapan dalam prosesnya menghadirkan pihak ketiga. Pihak ini dimintakan oleh salah satu pihak yang berkepentingan dalam sidang atau oleh hakim persidangan tersebut, yang disebut dengan ahli (sering oleh kalangan awam disebut “saksi ahli”). Pihak ketiga tersebut dianggap dapat memberikan masukan berdasarkan kajian normatif dan/atau empiris atas kasus yang disengketakan oleh hakim persidangan dalam memutuskan atau mengambil hasil akhir sebagai suatu putusan. Tulisan ingin memberi peran yang lebih signifikan bagi ahli yang dihadirkan di persidangan peradilan hubungan industrial.
Permasalahan ketenagakerjaan yang telah melalui proses penyelesaian di tingkat mediasi dan tidak terselesaikan dengan perdamaian, dapat mengajukan banding ke tingkat kewenangan hukum yang lebih tinggi yakni peradilan hubungan industrial (PHI) melalui pengadilan negeri setempat. Artinya, PHI berperan sebagai ranah beracara di pengadilan terkait permasalahan yang tidak dapat diselesaikan secara mediasi.
Di tingkat pengadilan ini, pengambilan keputusan atas suatu perkara yang disidangkan merupakan hak mutlak dari hakim dalam lingkup perkara termaksud, sehingga setinggi apapun kemampuan [saksi] ahli tersebut dalam mengungkapkan pandangannya, ia tetap tidak dapat memaksakan pemikiran dan pendapatnya kepada hakim. Penilaian pendapatnya diserahkan sepenuhnya pada hakim. Jadi, apabila ternyata terdapat perbedaan pendapat/pemahaman antara [saksi] ahli dan hakim PHI, maka jelas pandangan hakim inilah yang akhirnya dijadikan argumen putusan.
Perbedaan pendapat/pemahaman ini akan berpotensi menimbulkan ketidakadilan jika argumen yang diungkapkan oleh hakim tidak tuntas dituangkan dalam putusan. Ketidakadilan terjadi jika hakim menjadi terlalu subjektif dalam mengambil keputusan, yakni dengan tidak memberi porsi yang memadai berupa ulasan terhadap pandangan ahli yang berbeda dengan pendapat hakim itu. Putusan hakim tidak boleh minimalis karena dituntut untuk menghadirkan pertimbangan-pertimbangan yang memadai (motivering vonis), khususnya dalam membuat counter atas pandangan para ahli yang dihadirkan di persidangan. Hal ini perlu dicatat karena biasanya hakim PHI dengan kewenangannya dalam memutuskan perkara, selalu merasa cukup dengan hanya mendasarkan diri pada hukum positif dan/atau yurispridensi. Namun, jika putusan diambil melalui penalaran yang sempit dan subjektif, putusan yang dihasilkan bakal bertolak belakang dengan akal sehat.
Putuan yang tidak mencerminkan keadilan berpeluang mengarahkan upaya hukum selanjutnya yang lebih tinggi yang memiliki adanya kepastian hukum (melanggar asas litis finiri opertet) dan membuat proses beracara yang cepat, sederhana, dan biaya ringan menjadi tidak tercapai dalam penanganan hubungan industrial. (***)