TINJAUAN YURISPRUDENSI HUKUM KEPAILITAN ATAS KEKUATAN ‘BI CHECKING’ DAN LAPORAN KEUANGAN DEBITOR
Oleh JANUARDO S.P. SIHOMBING (Januari 2016)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU No. 37/2004) mengatur dua instrumen penting mengenai mekanisme penyelesaian utang piutang oleh Debitor dan Kreditor yakni: (1) Kepailitan, dan (2) Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Syarat pengajuan permohonan kepailitan oleh Kreditor diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37/2004 yang mewajibkan pemenuhan dua unsur sebagai berikut; (1) Debitor mempunyai 2 (dua) atau lebih Kreditor; (2) Debitor tidak membayar lunas sedikitnya 1 (Satu) Utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Terkait PKPU, Pasal 222 ayat (1) UU No. 37/2004 menyatakan sebagai berikut: “Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diajukan oleh Debitor yang mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditor atau oleh Kreditor.”
Selanjutnya mengenai status keberadaan utang, maka Pemohon Pailit maupun Pemohon PKPU harus dapat membuktikan bahwa status utang Debitor haruslah SEDERHANA dalam hal perhitungannya guna menentukan posisi jumlah utang yang sebenarnya. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 /2004, sebagai berikut: “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.”
Guna memenuhi syarat-syarat di atas, penggunaan BI Checking dan data Laporan Keuangan Debitor untuk menunjukkan adanya syarat minimal 2 (dua) Kreditor serta status utang dari Debitor yang telah jatuh tempo pernah beberapa kali dicoba di dalam praktek pengadilan sebagai dasar pembuktian atas Permohonan Kepailitan / Permohonan PKPU yang diajukan oleh Kreditor. Dari beberapa data sumber termasuk di dalamnya Yurisprudensi Kepailitan Indonesia, maka dapat diambil suatu pemahaman-pemahaman sebagai berikut:
- Bahwa informasi yang terdapat pada BI Checking tidak dapat dijamin kebenarannya dan keakuratannya, hal mana dikarenakan data yang terdapat di dalamnya bukan merupakan data final terkait keberadaan utang seseorang atau badan hukum karena sifat BI Checking tersebut dapat berubah sangat cepat/sewaktu-waktu;
- Bahwa tidak ada jaminan kebenaran dan keakuratan data yang terdapat pada BI Checking juga dapat dilihat pada pernyataan dari Bank Indonesia yang terdapat pada lembar BI Checking yang menyatakan sebagai berikut: “Informasi Debitor Individual (IDI) hanya dapat dipergunakan oleh dan untuk kepentingan atas nama Debitor yang tertera dalam IDI ini.” “Bank Indonesia selaku pengelola data tidak bertanggungjawab atas kebenaran dan keakuratan informasi yang terdapat dalam IDI serta atas segala akibat hukum yang timbul sehubungan dengan pemberian dan penggunaan IDI ini di masa yang akan datang.”
- Bahwa BI Checking tidak dapat dipergunakan sebagai bukti yang dapat berdiri sendiri untuk membuktikan adanya Kreditor Lain merujuk pada Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan No. 443 K/Pdt.Sus/2009 tanggal 28 Agustus 2009, di mana dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim menyatakan hal-hal sebagai berikut: “Sebab dipersidangan tidak terbukti adanya Kreditor lain selain Pemohon pailit/Pemohon Kasasi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No 37 Tahun 2004, oleh karena bukti bertanda P-5 berupa photo copy dari copy tanpa ada aslinya dan hanya merupakan daftar checking atas utang Termohon pailit tanpa dukungan bukti lain bahwa benar Termohon pailit mempunyai Kreditor lain selain dari Pemohon pailit a quo”;
- Bahwa Yuriprudensi sebagaimana tersebut di atas diikuti oleh hakim-hakim lainnya sebagaimana termuat dalam putusan Mahkamah Agung No. 26/Pdt.Sus.PAILIT/2014/PN.NIAGA.JKT.Pst, di mana dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim Agung menyatakan sebagai berikut: “…menurut Majelis BI Checking yang diajukan sebagai surat bukti adanya kreditor lain tersebut hanya bernilai sebagai bukti permulaan, dan masih perlu didukung oleh bukti lainnya dari Pemohon untuk mempertegas dan meyakinkan kebenaran kreditor lain dalam perkara ini.”
Selanjutnya mengenai keabsahan Laporan Keuangan untuk membuktikan adanya Kreditor Lain dan status Utang Yang Jatuh Tempo dalam perkara kepailitan, maka hal ini perlu merujuk kepada definisi dan tujuan dari Laporan Keuangan itu sendiri. Menurut Standar Akuntansi Keuangan yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia, Laporan Keuangan adalah catatan informasi keuangan suatu perusahaan pada suatu periode akuntansi tertentu yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja perusahaan.
Diktum kalimat “periode akuntansi tertentu” menunjukkan suatu analisis kinerja keuangan entitas di MASA LALU / periode waktu tertentu misalnya: per 30 September 2014, per 31 Desember 2014, per 30 Juni 2015 (bukan masa sekarang) yang meliputi: Neraca, Laporan Laba Rugi, Laporan Arus Kas, Laporan Perubahan Ekuitas, dan Catatan Atas Laporan Keuangan. Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa penggunaan Laporan Keuangan dalam periode waktu tertentu (di masa lalu) sebagai dasar pembuktian bagi perkara kepailitan di masa kini sudah tidak relevan mengingat segala data dan informasi yang terdapat di dalamnya tidak up-to-date dalam menunjukkan posisi Kreditor dan status utang Debitor saat permohonan Kepailitan/PKPU diajukan.
Adapun Putusan Kepailitan/PKPU terbaru yang secara tegas menolak kembali permohonan PKPU oleh Kreditor berdasarkan eksistensi Data BI Checking dan Laporan Keuangan Debitor adalah sebagaimana termuat pada Putusan Nomor: 92/PDT.SUS//PKPU/2015/PN. NIAGA.JKT.PST tanggal 21 Desember 2015 yang di antaranya menyatakan bahwa: (1) BI Checking dan Laporan Keuangan barulah merupakan BUKTI PERMULAAN; dan (2) Kreditor Lain harus dihadirkan dalam persidangan (bukti dalam fakta persidangan) guna memverifikasi kebenaran utang yang jatuh tempo tersebut. (***)