BATASAN KEBEBASAN PERS: PENGUMUMAN DI MEDIA MASSA OLEH PENGACARA LAMBORGINI
Oleh: BAMBANG PRATAMA (Januari 2016)
Beberapa waktu yang lalu pemberitaan tentang kecelakaan Lamborgini di Surabaya yang menewaskan 1 orang mencuat di berbagai media elektronik dan non-elektronik. Tidak lama, pengacara Lamborgini mengumumkan di koran yang pada intinya menghimbau agar media (elektronik dan non-elektronik) tidak memberitakan berita tanpa bukti. Jika media memberitakan berita tentang kasus kasus Lamborgini tanpa bukti, maka mereka akan melakukan tuntutan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan pemberitaan media, langkah yang dilakukan oleh pihak pengacara Lamborgini dikategorikan sebagai ancaman. Tetapi hal yang perlu diingat, jika memang tindakan tersebut adalah ancaman, maka pengadilan harus membuktikan apakah pengumuman di koran adalah ancaman? Di balik itu, mungkin banyak orang lupa dengan kebebasan pers saat ini yang seolah-olah tanpa batas, sehingga dengan pemberitaan yang tidak objektif maka opini negatif dari publik akan terbentuk. Mungkin itu yang menjadi alasan dari tindakan yang dilakukan oleh pihak pengacara Lamborgini.
Dari perspektif hukum, langkah yang dilakukan oleh pengacara Lambornini adalah langkah yang berani dan nyata untuk menghadapi kebebasan pers. Anehnya, dalam hal ini pihak pers tidak merespon melalui tindakan nyata. Oleh sebab itu dapat diasumsikan tindakan yang dilakukan oleh pihak pengacara bukan tindakan melawan hukum. Atas dasar itulah maka tulisan ini mencoba menerangkan tentang batasan dari kebebasan media pers.
Menariknya, ada kasus yang serupa di Inggris yang dikuatkan dengan putusan pengadilan. Kasus ini terjadi pada pemain sepak bola Manchester United, Ryan Giggs (2011) meminta pengadilan agar kehidupan pribadinya tidak diekspos oleh media, dan untuk itu, maka Giggs memohonkannya ke pengadilan. Dasar argumentasi pihak Giggs adalah hak asasi manusia, yaitu perlindungan atas kehidupan pribadi dan keluarga. Sir David Eady selaku hakim pada waktu itu mengabulkan permintaan Giggs sehingga media dilarang untuk memberitakan kehidupan pribadi Giggs dengan ancaman denda.
Pengadilan Inggris memberi contoh bahwa kebebasan media dapat dibatasi dengan berlindung pada hak asasi manusia. Artinya, media dalam menjalankan profesinya sebagai pencari berita seharusnya harus memperhatikan aspek kehidupan pribadi orang yang diberitakannya. Masalahnya, kebebasan pers di Indonesia tidak jelas batas-batasnya sehingga tidak mengherankan jika sebagian informasi di media tidak objektif, memihak kepentingan tertentu dan didasarkan untuk menaikkan rating.
Membandingkan kasus yang terjadi di Inggris dengan yang dilakukan oleh pengacara Lamborgini. Memang tidak dapat dipungkiri langkah yang dilakukan oleh pihak pengacara adalah langkah yang berani dan cerdas. Tetapi bukan juga langkah yang salah, karena pendapat tentang ancaman yang dilakukan pengacara adalah asumsi. Jika pihak pers memang berani, maka seharusnya tindakan pengacara Lamborgini ini di respon oleh pihak pers dengan tindakan yang nyata juga, misalnya: menggugat ke pengadilan dengan alasan ancaman. Perlu dicatat: bahwa menuntut di pengadilan adalah hak warga negara. Artinya siapa saja dapat menuntut dan dapat dituntut di pengadilan. Perkara benar atau salah adalah kewenangan hakim untuk memutuskan.
Sebagai penutup: mungkin saja banyak orang yang lupa sampai sejauh mana kebebasan pers itu dibatasi, karena keberadaan pers dianggap sebagai salah satu pilar demokrasi sehingga hak yang diembannya menjadi begitu luas. Tetapi apakah hak dari pers sampai pada kehidupan pribadi seseorang? Mengingat ada wilayah publik, wilayah privat, dan wilayah intim (keluarga) pada diri manusia. (***)
Published at :