KESAN SEKSIS DALAM HUKUM KELUARGA
Oleh SHIDARTA (Desember 2015)
Di antara semua area hukum keperdataan, tampaknya hukum keluarga termasuk ranah yang paling konservatif. Hal ini dapat dimaklumi mengingat hukum keluarga bersentuhan dengan nilai-nilai tradisional yang dipandang sudah ideal dan mapan. Oleh sebab itu, apabila ada gerakan yang berkeinginan menggeser nilai-nilai ini, reaksi sosial dipastikan akan muncul dengan segala isu kontroversialnya. Fenomena ini terjadi pada hampir semua sistem hukum dan sistem sosial.
Beberapa waktu belakangan ini, publik di Jepang dihangatkan oleh isu mengenai keharusan pemakaian satu nama keluarga (surname) yang sama bagi pasangan yang sudah menikah. Putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Jepang ini menuai kritik karena dinilai seksis dan ketinggalan zaman. Sekalipun nama keluarga ini bisa diambil dari pihak suami atau isteri, dalam kenyataannya sekitar 96 persen pasangan menikah di Jepang menggunakan nama dari pihak suami. Jika ada suami yang nama belakangnya diambil dari pihak isteri, biasanya ini terjadi karena diminta oleh keluarga si isteri, yakni untuk dapat meneruskan nama keluarga mereka akibat ketiadaan anak laki-laki dari pihak keluarga si isteri (The Jakarta Post, 17 Desember 2015, hlm. 10).
Apa yang diputuskan oleh Mahkamah Agung Jepang ini sebenarnya bukan hal baru karena hal demikian sudah berjalan sejak usai Perang Dunia II selepas pendudukan AS terhadap Jepang. Keharusan ini juga sudah ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Jepang. Artinya, penggunaan satu nama keluarga dengan mengambil patokan pada suami sebenarnya tidak datang dari tradisi asli Jepang. Baratlah yang membawa pengaruh ini ke dalam tradisi hukum Jepang.
Kendati hukum positif di Indonesia tidak mengatur keharusan penggunaan nama keluarga, dalam praktiknya, masyarakat Indonesia juga banyak mengikuti kecenderungan pemakaian nama suami. Oleh karena banyak nama orang Indonesia tidak memiliki nama keluarga, maka nama suami yang dipakai sebagai nama keluarga yang baru bagi si isteri. Jika Suprapti menikah dengan Suprapto, maka nama si isteri lalu berubah menjadi Suprapti Suprapto. Hampir tidak pernah terjadi kebalikannya, bahwa Suprapto kemudian memakai nama isterinya menjadi Suprapto Suprapti. Di lingkungan pergaulan sosial, si isteri ini akan dipanggil dengan sebutan “Ibu Suprapto”. Satu sebutan yang sebenarnya sangat membingungkan karena bermakna ekuivok, yaitu bisa mengacu pada nyonya Suprapto atau ibunda (orang tua) Suprapto. Kesan seksis pun segera terlihat di sini karena memang hanya untuk isteri itulah diberi predikat “Ibu Suprapto”, sementara untuk suami tidak pernah ada label “Bapak Suprapti”.
Patut dicatat, bahwa sebutan “tuan” dan “nyonya” yang cukup lazim sampai era Orde Lama, ternyata menghilang setelah Orde Baru berkuasa. Panggilan untuk Nyonya Soeharto, misalnya, berubah menjadi Ibu Soeharto. Masih beruntung, di dalam akta-akta otentik yang terutama dibuat oleh notaris, sebutan “tuan” dan “nyonya” ini masih kerap dijumpai sampai sekarang.
Dewasa ini, bahkan bagi kelompok masyarakat yang sudah memiliki nama marga, kecenderungan untuk segera berganti nama dengan melekatkan nama suami, juga kerap terlihat. Apabila Ani Pangaribuan menikah dengan Henry Simanjuntak, maka Ani akan menambahkan namanya menjadi Ani Pangaribuan Simanjuntak. Dalam tradisi Timur Tengah, nama isteri tidak berubah seiring dengan status pernikahannya. Fatimah binti Muhammad tidak mengubah namanya menjadi Fatimah Ali seusai Fatimah menikah dengan Ali. Hal serupa juga berlaku dalam tradisi masyarakat China. Seorang wanita dari marga Lie yang menikah dengan pria bermarga Lu, tidak akan berganti atau memakai nama marga suaminya. Selamanya ia tetap menyandang marga Lie. Namun, dalam pergaulan sosial yang terimbas kesan seksis tadi, ia bisa saja dipanggil sebagai Nyonya Lu.
Dengan demikian, sama seperti yang terjadi di Jepang, patut diduga bahwa di Indonesia dan banyak kawasan Timur lainnya, kecenderungan pemakaian nama suami bagi wanita yang telah menikah, memang berasal dari pengaruh Barat. Kesan seksis ini dibawa oleh Barat dan masuk ke dalam tradisi Timur, dan boleh jadi ada yang ikut dikukuhkan ke dalam hukum positif.
Kontroversi pengaturan nama keluarga di Jepang tidak perlu diikuti di Indonesia. Kerepotan administratif bakal terjadi bagi isteri-isteri yang kemudian mengalami perceraian dan ingin menikah lagi. Suprapti yang telah bercerai dari Suprapto, dan sekarang menikah dengan Supraptono, misalnya, akan risih jika terus-menerus masih dipanggil “Ibu Suprapto”. Ia tentu ingin menanggalkan nama suami lamanya dan berganti ke nama suami yang baru, namun kebiasaan teman-temannya yang selalu memanggilnya dengan “Ibu Suprapto” (tanpa “no”) tadi tidak mudah begitu saja disadarkan. Kerepotan yang berkesan seksis dalam hukum keluarga ini tidak hanya berlangsung dalam pergaulan sehari-hari, melainkan juga dalam akta atau dokumen resmi pemerintahan.
Karena pertimbangan ini pula, para ahli hukum sejak lama menyadari agar nama diri dan nama keluarga tidak bisa digonta-ganti semaunya. Pasal 6 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan, “Tiada seorangpun diperbolehkan mengubah nama keturunannya, atau menambahkan nama lain pada namanya tanpa izin dari Presiden.” Aslinya pasal ini berbunyi: “Niemand mag zijnen geslachtsnaam veranderen, of eenen anderen naam bij de zijnen voegen, zonder toestemming van den Gouverneur-general.” Jadi, secara legal urusan nama diri ini bukan masalah sepele karena pada era kolonial saja harus ditangani oleh gubernur jenderal. Dalam praktiknya sekarang, izin dari presiden (ekuivalen dengan jabatan gubernur jenderal) ini sudah didelegasikan kepada hakim pengadilan negeri (Pasal 52 Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan). Setelah salinan penetapan hakim ini diterima, maka pemilik nama baru tadi wajib mencatatkan perubahan tersebut di Kantor Catatan Sipil. Mungkin masih segar ingatan para pembaca tatkala hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (2010) mengabulkan permohonan perubahan nama artis Nia Ramadhani (terlahir: Priyanti Nur Ramadani) menjadi Ramadhiana Ardiansyah Bakrie, dengan pertimbangan yang bersangkutan memang berstatus sebagai menantu dari Aburizal Bakrie.
Ketentuan Pasal 6 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini berkarakter lex imperfecta karena Undang-Undang Administrasi Kependudukan hanya mengenakan denda administratif khusus bagi pemilik nama baru yang lalai melaporkan perubahan itu di Kantor Catatan Sipil. Mereka yang mengubah sendiri nama tanpa melalui penetapan hakim, justru tidak dikenakan sanksi apapun. Hanya saja, dari kaca mata hukum, perubahan nama diri tanpa melalui penetapan hakim, tetaplah tindakan ilegal. Jika demikian repotnya, mengapa para wanita yang sudah menikah tidak sebaiknya bertahan dan merasa cukup dengan nama asli mereka saja; nama yang sudah diamanatkan oleh orang tua dan digunakan semenjak gadis? (***)
Leave Your Footprint
-
Gracia Natanael Sitepu Penggunaan nama suami dibelakang nama seorang istri atau seorang perempuan mungkin berkenaan dengan sistem Patriarki yang sudah sangat kental dan mendarah daging dalam kebudayaan Indonesia kita pak, penggunaan nama suami ini disisipkan mungkin pada Zaman dahulu seorang suami atau seseorang pria bertanggung jawab penuh atas kegiatan administrasi pada zaman itu. Namun tidak semua istri mau menggunakan nama suaminya ada juga tokoh wanita penting dalam dunia hukum yang menggunakan namanya sendiri untuk nama keturunannya, kita sebut saja Prof.Valerine J.L. Kriekhoff dengan ibu bernama Mevrow Kriekhoff (tidak diketahui nama ayah dari Professor apakah menggunakan nama Kriekhoff juga) namun sang professor memberi nama Kriekhoff juga kepada anaknya Ir.Ludwig J.L.Kriekhoff dan cucu-cucunya Marcel S. Kriekhoff dan Daniel W. Kriekhoff ( juga tidak diketahui nama dari suami sang professor ), atau nama belakang digunakan untuk menghargai seseorang atau untuk menunjukan keeksistensian seseorang atau dalam kata lain menunjukan bahwa dia bagian dari keluarga tertentu.