MAGNET FREEPORT
Oleh REZA ZAKI (November l15)
Tulisan ini sebelumnya sudah pernah dimuat di Koran Sindo, Rabu (25/11/2015). Mengingat esensi tulisan ini masih tetap aktual untuk diperbincangan, maka kali ini saya putuskan untuk dimuat kembali dalam rubrik di web, dengan harapan dapat dikomentari dan diberi catatan oleh para pembaca.
Setelah Oktober lalu terjadi silang pendapat yang tajam antara Menko Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli dan Menteri Energi dan Sumber Daya, Sudirman Said. Berkat perdebatan itu kini nama Freeport kembali menjadi magnet kuat hingga melibatkan Ketua DPR RI, Setya Novanto untuk ikut memburu rente dalam proses perpanjangan kontrak karya Freeport di Indonesia.
Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan afiliasi dari Freeport McMoRan Copper & Gold Inc di Amerika Serikat. Freeport Indonesia memasarkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas, dan perak ke seluruh penjuru dunia. Penemuan sebuah gunung di selatan tanah Papua yang disebut dalam buku catatan harian Cartensz adalah gunung yang bersalju ternyata hanya sebuah khayalan menurut rekan-rekannya saat itu. Akan tetapi berkat catatan harian Cartensz inilah kemudian pihak Belanda berhasil menemukan Ertsberg atau disebut gunung bijih yang dikemudian hari menjadi gunung Tembagapura dalam istilah Soeharto.
Pintu masuk Freeport ke Indonesia cukup berliku. Diawali dari situasi ekonomi Indonesia yang cukup parah saat itu hingga inflasi yang tak mampu dibendung mengakibatkan ekonomi Indonesia porak poranda. Soeharto yang ketika itu baru saja menjadi Presiden ke-2 RI setelah Soekarno jatuh, kemudian segera menyusun kekuatan bersama para ekonom muda yang sebagian besar direkrut dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Mereka adalah Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Mohammad Sadli, Subroto, dan Emil Salim. Pada Januari 1966, sejumlah ekonom mendiskusikan pemecahan masalah ekonomi dan keuangan Indonesia. Merekalah yang merancang ekonomi orde baru. David Ransom, wartawan Amerika, menyebut mereka sebagai “Mafia Barkeley”, merujuk pada almamater mereka. Dalam tulisan “Mafia Barkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia”, dimuat majalah Ramparts, Ransom menyebut keterlibatan Amerika dalam kebijakan ekonomi orde baru. Ketika Widjojo kebingungan dalam menyusun rencana stabilisasi ekonomi, David Cole, seorang ekonom dari Harvard, membantu Widjojo. Begitu pula ketika Sadli hendak membuat UU Penanaman Modal Asing, dia mendapat bimbingan dari Kedutaan Besar Amerika Serikat. UU No 9 Tahun 1967 berisi berbagai insentif dan jaminan kepada para investor asing. Di dalamnya termasuk masa bebas pajak dan jaminan tidak adanya nasionalisasi. Freeport menjadi yang pertama masuk (Mukthi, 2015).
Pimpinan tertinggi Freeport pada masa itu yang bernama Langbourne Williams melihat peluang untuk meneruskan proyek Ertsberg. Dia bertemu Julius Tahija yang pada zaman Presiden Soekarno memimpin perusahaan Texaco dan dilanjutkan pertemuan dengan Jendral Ibnu Sutowo, yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Perminyakan Indonesia. Akhirnya dari hasil pertemuan demi pertemuan yang panjang Freeport mendapatkan izin dari pemerintah untuk meneruskan proyek tersebut pada tahun 1967. Itulah Kontrak Karya Pertama Freeport (KK-I). Kontrak karya tersebut merupakan bahan promosi yang dibawa Julius Tahija untuk memperkenalkan Indonesia ke luar negeri dan misi pertamanya adalah mempromosikan Kebijakan Penanaman Modal Asing.
Hingga saat ini sudah dilaksanakan dua kali Kontrak Karya antara PT. Freeport Indonesia dengan pemerintah Indonesia. Pada tahun 1967, Kontrak Karya Freepot I berlaku selama 30 tahun sejak mulai beroperasi pada tahun 1973. Kemudian pada tahun 1991, Kontrak Karya Freeport II berlaku 30 tahun dengan periode produksi akan berakhir pada tahun 2021, serta kemungkinan perpanjangan selama 2×10 tahun yakni tahun 2041.
Pada ketentuan rencana Freeport memperpanjang Kontrak Karya pasca tahun 2021, baru dapat dilakukan dua tahun sebelum masa kontrak habis yakni pada tahun 2019. Artinya, Freeport belum diizinkan oleh hukum kita untuk melakukan renegosiasi kontrak saat ini. Perkiraan investasi Freeport antara lain 8.6 miliar dengan perkiraan tambahan investasi sebesar USD 16-18 miliar, 94 persen total investasi tambang tembaga di Indonesia, 30 persen total investasi di Papua, 5 persen total investasi di Indonesia. Pada tahun 2012, Freeport memperkerjakan lebih dari 11.700 karyawan langsung dan lebih dari 12.400 karyawan kontraktor dengan komposisi non papua 64.04 persen, papua 34.63 persen, dan asing 1.33 persen.
Persoalan Sudirman Said dan Setya Novanto lebih kepada rekam jejak masing-masing aktor. Sudirman Said ditengarai membuat surat kepada Chairman Freeport McMoran James Robert Moffet pada 7 Oktober 2015. Sudirman Said menjanjikan penataan atau revisi aturan demi perpanjangan kontrak Freeport. Padahal peraturan perundang-undangan tidak boleh disesuaikan demi kepentingan asing. Sementara itu apabila kita melihat rekam jejak Setya Novanto sudah mahfum bahwa seringkali terjadi blunder kebijakan sebelum menduduki jabatan sebagai Ketua DPR RI.
Politik hukum pada masyarakat yang relatif homogen di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan politik, semestinya berbeda dengan politik hukum pada masyarakat majemuk (heterogen). Pada masyarakat majemuk, suatu politik hukum yang serba menyamakan (uniformitas) dapat menimbulkan masalah politik, ekonomi maupun sosial. Oleh karena itu, politik hukum seperti unifikasi, harus dipertimbangkan dengan matang kemanfaatannya pada masyarakat majemuk (Abdul Latif, 2014). Menjadi penting untuk diwaspadai adanya intervensi asing dalam pembuatan undang-undang di Indonesia dan tidak selalu mudah mendapatkan bukti intervensi asing dalam proses legislasi (Fahmi Amhar, 2006). Sebagai contoh intervensi pemerintah ke pemerintah, yakni pemerintah asing secara langsung menekan pemerintah suatu negara agar memasukan suatu klausul atau agenda dalam perundang-undangannya. Model ini memang tampak kasar (vulgar), sehingga mudah dikritik, namun faktanya sering terjadi. Misalnya, sebuah pernyataan bahwa Indonesia sarang teroris, baik yang dilontarkan AS, Australia maupun Singapura bertujuan untuk mendesak agar Indonesia menerapkan Undang-undang anti teroris yang lebih ketat. intervensi lembaga Internasional (world to government), seperti PBB, WTO, IMF, yang mengambil peran penekan. Kelompok ini sedikit lebih elegan karena seakan-akan agenda yang ingin dipaksakan adalah kesepakatan-kesepakatan internasional. Hal ini seolah-olah rekomendasi lembaga internasional itu sebagai sesuatu yang ideal karena memenuhi “standar dan norma internasional”. Apabila tidak diikutinya bisa terkucilkan atau tidak lagi pantas untuk menerima “kerja sama dunia”. Misalnya, agenda UU yang terkait globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan (UU Perbankan, UU Migas, UU Tenaga Listrik, dan UU Sumber Daya Air).
intervensi dunia bisnis (business to government), baik bisnis yang memiliki jaringan internasional maupun bisnis yang hanya bergerak di lingkup domestik. Para pengusaha dan investor ini dapat menekan pemerintah agar memuluskan berbagai kepentingan mereka dalam undang-undang. Tidak jarang, pengusaha asing menggunakan mitra lokalnya untuk lebih lantang bersuara, agar tidak terkesan ada kepentingan asing di balik itu. Ancaman yang sering dimunculkan, adalah memindahkan investasi ke negara lain yang “beriklim lebih baik”. Misalnya, agenda UU yang terkait dengan investasi, perpajakan, dan perburuhan. Keempat, intervensi lembaga swadaya masyarakat (Non Government Organization). LSM termasuk ormas-ormas dapat menjadi kelompok penekan (pressure group) yang efektif pada pemerintah, badan legislatif, maupun badan yudikatif. NGO ini dapat berupa NGO asing dengan orang-orang asing, NGO asing dengan orang-orang lokal, maupun NGO lokal murni namun disponsori asing. Dengan cara mendatangi para penyusun UU sebagai bentuk teror mental hingga demonstrasi besar-besaran yang cukup merepotkan pemerintah jika pemerintah tidak menuruti keinginan mereka. Misalnya, UU tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan Penolakan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi.
Menjelang memasuki tahun 2019, perlu disimak kembali bahwa Undang-Undang sendiri sudah menetapkan bahwa setiap kontrak karya pertambangan yang sudah berlangsung 2 x 30 tahun dan sudah mendapatkan perpanjangan, harusnya dikembalikan kepada negara. Artinya, Indonesia memiliki otoritas untuk menentukan apakah Sumber Daya Energi ini akan dikelola sendiri melalui BUMN atau diserahkan kembali kepada Freeport. Isu pencatutan nama Presiden oleh Ketua DPR RI bisa saja sebuah pengalihan isu dari polemik renegosiasi kontrak Freeport yang menemui jalan buntu. Secara politik hukum ini akan merugikan bangsa sendiri apabila publik terjebak pada berita perburuan rente yang memang merupakan praktik akut pejabat Indonesia sejak dulu. Kita harus kembali pada kiblat menyelamatkan kekayaan Indonesia yang sudah diamanatkan di dalam Pasal 33 UUD 1945. (***)
Published at :