People Innovation Excellence

PENGHORMATAN HAK-HAK PENYANDANG CACAT DI INDONESIA

Oleh SHIDARTA (November 2015)

Ada pengalaman menarik ketika saya berada dalam satu penerbangan ke satu tempat baru-baru ini. Seorang pria Belanda yang baru saya kenal di bandara bercerita bahwa ia telah tinggal beberapa waktu di Jakarta menangani proyek kemanusiaan di bawah sponsor Erasmus Huis. Proyek ini penting karena berkenaan dengan penanganan anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental di ibukota. Pria bernama Andrew Greenwood ini seorang ahli kinestetik yang memanfaatkan keahliannya tersebut antara lain sebagai terapis gerak bagi para para penyandang cacat, juga bagi penderita parkinson.

Andrew Greenwood yang berlatar belakang penari ballet profesional kelas dunia ini adalah founding member dari Dance for Health & Parkinson yang menyediakan kelas-kelas tari di kota Tilburg dan Rotterdam. Dalam situsnya, disebutkan Andrew telah menjelajah banyak tempat di dunia untuk mengajar berbagai variasi ballet. Ia juga penari tamu di Opera Wina, the Royal Ballet Fins, dan the Rambert Dance Company. 

Ia mengaku prihatin melihat begitu banyak jumlah penderita cacat mental yang terabaikan di Indonesia. Dari pengalamannya, ia melihat keluarga dan para orangtua biasanya tidak cukup siap menerimaan kenyataan ada anggota keluarga mereka menderita sakit demikian. Akibatnya, para penderita ini dikucilkan dari pergaulan, sehingga membuat penyakit mereka menjadi bertambah parah. Menurut Andrew, fenomenanya seperti gunung es, karena yang mampu mereka tangani bekerja sama dengan Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) masih sangat sedikit.

Bersama dengan jejaringnya, Andrew berharap dapat datang kembali ke Indonesia sekitar bulan April 2016. Ia bermaksud pulang ke negerinya dulu untuk menggalang dana dan berharap dapat nantinya mengorganisasikan sebuah seminar yang cukup besar di Jakarta, menyoroti problematika penanganan anak-anak penyandang cacat mental di negeri ini.

Dari perspektif hukum, apa yang disampaikan Andrew sangat menarik dan butuh perhatian kita semua. Para penyandang cacat, baik fisik maupun mental, atau apalagi fisik dan mental sekaligus, merupakan warga negara kelas dua atau kelas tiga di negeri ini. Pengecualian mungkin saja ada bagi mereka yang datang dari keluarga berkecukupan, sehingga anak-anak tersebut dapat dibina dalam sekolah-sekolah luar biasa yang bertarif lumayan tinggi. Namun, takdir akan berkata lain jika anak-anak ini datang dari keluarga miskin. Tidak tertutup kemungkinan anak-anak demikian justru dieksploitasi secara komersial untuk mengais rasa iba. Dengan perkataan lain, kehadiran penyandang cacat di Indonesia masih lebih dipandang sebagai beban masyarakat.

Slogan untuk tidak menyebut para penyandang cacat sebagai disabled, tapi diffabled (different ability) sudah cukup bergema di masyarakat (kendati beberapa undang-undang masih tetap memakai kosa kata lama). Di ruang-ruang publik, seperti pengumuman saat boarding di pesawat terbang, biasanya kita menyebut para penyandang cacat ini (bersama para lansia) sebagai orang-orang berkebutuhan khusus. Tapi, apakah kita cukup berhenti sampai pada taraf retoris?

Pada tanggal 10 November 2011 Indonesia telah meratifikasi Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Indonesia sudah menandatangani konvensi ini cukup lama, yakni pada tanggal 30 Maret 2007 di New York. Penandatanganan dilakukan tanpa reservasi, tetapi Indonesia tidak ikut di bagian Optional Protocol-nya. Hebatnya, pada saat konvensi ini diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011, paling sedikit sudah tersedia 16 peraturan setingkat undang-undang yang sudah ditetapkan sebagai hukum positif. Semuanya memberi penghormatan bagi hak-hak penyandang cacat fisik dan/atau mental. Ke-16 undang-undang itu adalah: (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat; (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; (5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung; (6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; (7) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; (8) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional; (9) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian; (10) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran; (11) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan; (12) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial; (13) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; (14) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; (15) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; dan (16) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin.

Andrew benar ketika ia meminta saya membandingkan kualitas pelayanan yang diberikan negara kepada para penyandang cacat di negerinya dengan di Indonesia. Ia memberi contoh sederhana, bagaimana berbagai model sepeda kerap dirancang di Belanda untuk mengakomodasi kebutuhan para penyandang cacat di sana. Fasilitas ini membuat mereka dengan leluasa masuk dan keluar tempat-tempat publik, seperti universitas, museum, taman kota, stasiun kereta, dan aneka moda transportasi.

Untuk mengevaluasi tingkat perhatian kita terhadap para pemilik kebutuhan khusus ini, kiranya bisa dilakukan dengan metode sederhana. Siapkan satu kursi roda dan buatlah rancangan perjalanan dari rumah ke stasiun kereta api dengan kursi roda ini. Jika perjalanan ini dirancang dengan menggunakan moda transportasi umum semacam angkot, buskota, atau bus Trans-Jakarta, sebaiknya batalkan eksperimen ini sejak awal karena akses itu sudah hampir pasti bakal tertutup. Cara terbaik adalah dengan memakai kendaraan pribadi atau taksi.

Namun, evaluasi berikutnya adalah mengantisipasi ada tidaknya slot parkir khusus kendaraan para penyandang cacat yang disiapkan di ruang-ruang publik kita. Jika, berapa jauh jaraknya dari pintu masuk ke fasilitas publik ini. Apakah ada ram yang memudahkan pemakai kursi roda mencapai lokasi-lokasi penting di tempat tujuan. Di Stasiun Gambir (stasiun kereta api terbesar di Indonesia), misalnya, dulu pernah disiapkan lift khusus menuju ke lantai dua dan tiga bagi para penyandang cacat yang berkursi roda. Entah bagaimana nasibnya lift khusus ini sekarang. Terkadang, dengan alasan frekuensi pemakaian yang rendah menyebabkan fasilitas demikian akhirnya dinonaktifkan atau dialihfungsikan.

Penjelajahan bisa diteruskan ke toilet yang ada di tempat tersebut. Kerapkali toilet di ruang-ruang publik kita, sekalipun diberi predikat untuk penyandang cacat, dalam kenyataannya tidak dibuat dengan standar yang benar. Pintunya sering tidak cukup lebar untuk dimasuki kursi roda. Juga tidak terdapat pegangan untuk pembantu penyandang cacat berdiri dan berpindah dari dan kembali ke kursi rodanya saat ada di ruang toilet.

Ketiadaan fasilitas yang memberi akses bagi para penyandang cacat ini bukan tidak mungkin merupakan penghalang bagi mereka untuk menempuh pendidikan formal. Padahal, bentuk halangan ini seperti ini akan berisiko mendapat sanksi administratif sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.

Hal lain yang juga menarik adalah soal terkait dengan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yang berbunyi: “Perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat di perusahaannya sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya, yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan.” Perusahaan negara dan swasta yang tidak memberikan kesempatan ini, akan dikenakan sanksi pidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda setinggi-tingginya Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Sekali lagi terbukti bahwa ketersediaan norma hukum positif bukan satu-satunya jalan keluar untuk memberikan hak-hak demikian kepada para penyandang cacat. Mereka butuh langkah-langkah konkret yang menunjukkan penghormatan hak-hak ini. Andrew Greenwood adalah contoh dari orang-orang yang peduli dengan keadaan ini. Dan, hal ini seharusnya dimulai oleh negara sebagaimana ditunjukkan pada fasilitas-fasilitas publik yang ramah bagi penyandang cacat. (***)


Bersama Andrew Greenwood, diskusi tentang hak-hak anak penyandang cacat di Indonesia.
Bersama Andrew Greenwood, diskusi tentang hak-hak anak penyandang cacat di Indonesia.

 


Screen.Shot.2015.05.05.at.07.08.34

 

 


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close