‘KEBIRI’ VERSUS RESTITUSI/KOMPENSASI
Oleh AHMAD SOFIAN (Oktober 2015)
Pro dan kontra tentang hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual pada anak masih terus berlanjut. Pemerintah mempunyai sikap untuk menyetujui pemberian hukuman tambahan bagi pelaku kejahaan seksual anak melalui pemberian kebir. Jika pemberatan pemberian hukuman ini diwujudkan, maka akan terjadi pertentangan dengan asas-asas pemidanaan yang berlaku, bertentangan juga dengan pidana yang dianut oleh KUHP karena KUHP hanya mengenal pidana pokok dan pidana tambahan dan di dalam dua jenis pidana tersebut tidak ada satu pun yang mencantumkan pidana kebiri. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah berencana menerbitkan Perpu, namun Perpu ini sendiri jika jadi diwujudkan maka akan sangat menggganggu dan meruntuhkan sistem pemidanaan yang dianut di Indonesia. Perpu yang dibuat harus sejalan dengan asas pemidanaan yang dianut di Indonesia. Hukum pidana Indonesia sudah lama meningglakan asas retributive (absolut) tetapi bergeser ke arah utilitarian (relatif) yang melihat dan pendekatan rehabilitasi. Karena itu, pemidanaan lebih diorientasikan pada perbaikan pelaku, dan meminta pertanggungjawaban kepada korban.
Restitusi/Kompensasi bukan Kebiri
Pemberian pemberatan hukuman pada pelaku berupa kebiri, menunjukkan cara berpikir balas dendam yang merupakan pendekatan hukuman yang sudah lama ditinggalkan. Penghukuman pemberatan hampir tidak memiliki korelasi dengan berkurangnya kejahatan seksual pada anak. Di banyak negara, hukuman balas dendam kepada pelaku kejahatan sudah tidak populer lagi, bahkan menimbulkan banyak protes dari masyarakat dan berbagai organisasi hak asasi manusia. Secara akademik hukuman ini juga tidak memberikan efek pemulihan pada korban. Seorang ahli kriminal anak Jocelyn B. Lamm dari Yale University, mengatakan bahwa krimimalisasi tidak memberikan efek jera sama sekali kepada pelaku tindak pidana ini, karena itu diperlukan pola-pola penuntutan yang dapat memberikan rasa “terlindungi” dan rasa “pemuliaan” yang dihadiahkan kepada korban kejahatan ini. Anak-anak yang menjadi korban kejahatan seksual apakah perkosaan, incest atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual anak lainnya jarang sekali mendapatkan apa yang dia sebut dengan “deserving of legal protection and remedies”. Menurutnya hukum telah gagal menyediakan apa yang dia sebut dengan “meaningful relief”. Korban tindak pidana ini telah mengalami dan menderita “psycological injuries”, karena itu sudah sepantasnya korban menerima perlakuan restitusi dan kompensasi yang wajar akibat dari tindakan pelaku ini.
Soal restitusi yang dikaitkan dengan hukum pidana sudah mendapat banyak perhatian dan pembahasan, salah satunya adalah Anne O’Driscoll dari Victoria University. Dia mengatakan bahwa untuk korban-korban kejahatan terutama kejahatan seksual pada prinsipnya tidak selamanya menyetujui pidana yang seberat-beratnya pada pelaku, tetapi bagaimana agar mereka memperhatikan luka fisik, luka mental dan luka seksual yang dialami oleh korban. Hal ini jauh lebih penting daripada mengirimkan para pelaku bertahun-tahun di dalam penjara-penjara atau benuk hukuman fisik lainnya. Karena itu lebih baik-baik mereka diperkenankan bekerja dan uang hasil kerjanya dipergunakan untuk membayar sesuatu yang hilang dari diri korban. Dia mencontohkan anak-anak dan perempuan yang menjadi korban perdagangan orang untuk keperluan seksual. Bertahun-tahun anak-anak dan perempuan ini tenaganya diperas, lalu melayani para tetamu, dan ketika polisi berhasil membongkar sindikasi dan menangkap pelaku, maka yang terjadi mereka dipulangkan ke keluarga dan dibiarkan begitu saja. Di manakah hasil rampasan yang disita dari pelaku? Dan bagaimana tanggung jawab pelaku kepada korban? Karena itu korban harus segera dipulangkan dengan biaya dari pelaku, korban juga harus dipulihkan hak-hak dari biaya pelaku, ketika negara gagal memaksa pelaku membayar, maka negaralah yang bertanggung jawab dalam bentuk kompensasi untuk mengganti dan memulihkan anak, mengingat negara telah gagal melindungi anak-anak dari kejahatan seksual, gagal memberikan rasa aman pada anak-anak.
Penutup
Untuk mencari jalan keluar yang adil dalam bagi semua pihak, termasuk korban kejahatan seksual anak, maka beberapa saran berikut ini bisa dipertimbangkan:
Mengkebiri pelaku bukan jalan keluar yang adil bagi korban. Tidak ada bukti empirik tentang hubungan yang signifikan antara sanksi kebiri dan berkurangnya kejahatan seksual anak. Juga tidak ada bukti ilmiah, bahwa korban akan pulih dengan diberikannya hukuman tambahan kebiri kepada pelaku. Karena itu, pengkebiriaan merupakan respons yang emosional dan bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang hakiki. Kebiri juga sebagai upaya negara untuk melakukan balas dendam yang tidak secara signifikan meminta tanggung jawab hukum pelaku pada korban.
Justru yang diperlukan adalah Perpu yang memberikan hukuman tambahan dalam bentuk resitusi dan kompensasi kepada korban dalam rangka memulihkan hak-hak korban secara total. mekanisme ini harus diciptakan dalam Perpu tersebut. Restitusi dan kompensasi memiliki akar pemidaan yang kuat karena arah pemidanaan Indonesia ke depan adalah pada pemulihan hak-hak pada korban (victim oriented) yang diakibatkan oleh pelaku tindak pidana. Dengan demikian, tanggung jawab pelaku dalam bentuk restitusi ini dimasukkan dalam Perpu tersebut sebagai bagian dari hukuman tambahan.
Negara gagal hadir dalam melindungi anak-anak dari kejahatan seksual anak, sehingga negara harus bertanggung jawab untuk melindungi anak dan memulihkan mereka dan memastikan hak-hak mereka sebagai korban harus dipenuhi oleh negara dalam bentuk kompensasi. Kompensasi diberikan dalam bentuk pemberian layanan kesehatan, pemberiaan hak-hak korban yang tidak bisa dipenuhi pelaku, dan mengganti biaya kerugian yang diderita korban ketika negara gagal memenuhinya dari pelaku kejahatan seksual anak. (***)
Published at :