GAME ONLINE: DUNIA TANPA ATURAN DAN PENGAWASAN
Oleh ERNI HERAWATI (Oktober 2015)
Pernahkah anda sekali waktu mencoba memasuki warung internet atau yang lebih dikenal dengan warnet? Terutama pada hari-hari libur atau jam-jam tatkala anak-anak sedang tidak waktunya melakukan aktivitas di sekolah. Jika beruntung, anda akan mendapati riuhnya warnet dengan suara anak-anak yang sedang bermain game online. Warnet-warnet tersebut biasanya tersebar di dekat perkampungan masyarakat. Sepintas memang pemandangan tersebut tidak mengundang pertanyaan, tetapi jika sedikit saja kita memperhatikan perilaku anak-anak yang bermain game online tersebut, maka kita akan sudah merasakan bahwa ada potensi permasalahan dalam aktivitas anak-anak tersebut. Yang paling menonjol dari perilaku anak-anak tersebut adalah munculnya berbagai kata-kata yang keluar dari mulut mereka yang bernada emosi, baik cacian ataupun bentuk kekesalan yang lain.
Bisa jadi anda akan mendapati bahwa anak-anak yang bermain game online tersebut terlihat masih usia sekolah dasar, tetapi dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, penggemar game online tidak terbatas oleh usia, mulai dari anak-anak bahkan mereka yang telah dewasa. Semakin lama seseorang berinteraksi dengan game online ada kecenderungan ia akan semakin terlibat dan tidak bisa melepaskan diri dari kegiatan bermain game. Seseorang yang sudah kecanduan bermain game online bisa menghabiskan waktunya dalam sehari kurang lebih selama delapan jam untuk bermain, bahkan banyak di antaranya bisa mencapai dua belas jam bahkan lebih dari itu. Percaya atau tidak, bahkan pikiran mereka masih akan dipenuhi dengan memori tentang story dan strategi game online apabila mereka sedang offline.
Sebelum membahas tentang potensi masalah yang disebut di atas. Sebetulnya banyak juga sisi positif dari budaya bermain game ini. Para pemain bisa menjalin komunikasi dan membentuk komunitas dengan orang lain yang tadinya tidak mereka kenal, juga mereka bisa mengekspresikan diri pada hal-hal yang tidak merugikan orang lain. Selain itu ada juga pemain yang memberikan statement bahwa setidaknya pemain game online tidak ada yang pemakai narkoba. Namun, jika dicermati lebih mendalam, lihatlah berapa banyak dan jenis story yang ditawarkan oleh game developer atau pembuat game. Dari mulai materi kekerasan seperti Point Blank, atau jenis-jenis peperangan lainnya, materi yang bermuatan seks, serta materi-materi yang mengandung unsur agresivitas. Contohnya saja game online jenis Massively Multiplayer Online-First Person Shooter, jenis permainan ini menjadikan si pemain adalah aktor yang berada dalam permainan, semua tampilan dalam layar seolah-olah adalah pandangan dari si pemain. Jenis permainan ini biasanya setting-nya adalah peperangan, sehingga si pemainlah yang akan menembak, melempar pisau, memukul, dan sejenisnya, lengkap dengan darah yang bercucuran pada korban (atau dirinya, jika terkena musuh).
Tidak seperti media komunikasi lainnya, keberadaan media baru seperti ini memungkinkan audiens tidak hanya duduk manis dan menikmati sajian dari komunikator (layaknya media konvensional seperti televisi, koran, radio), tetapi media baru yang diperantarai oleh saluran internet telah membuat khalayknya turut menentukan “isi cerita” di dalamnya. Jika ada adegan menembak, maka yang melakukan adalah si pemain, jika ada adegan membunuh musuh yang melakukan adalah pemain, jika ada adegan melempar pisau kepada musuh hingga berdarah-darah, maka yang melakukan juga adalah pemain game online.
Sehingga pertanyaan yang timbul jika melihat anak-anak begitu dekat dan berjam-jam lamanya berinteraksi dengan permainan yang bernama game online ini, maka sudah selayaknya kita memikirkan lebih jauh dampak apa yang akan terjadi pada mereka. Jika dunia perfilman sudah diatur dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman dengan Lembaga Sensor Film (LSF) sebagai penjaga isi dari setiap film yang diedarkan di bioskop-bioskop di Indonesia; juga tentang penyiaran telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai penjaga perilaku dan konten penyiaran; dan untuk setiap informasi yang disampaikan hasil dari kegiatan jurnalistik (pers) juga sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan diawasi oleh Dewan Pers, lalu bagaimana dengan game online? Sudahkan kita berpikir perlunya peraturan perundang-undangan yang mengaturnya? Dan, instutisi apa pula yang paling tepat mengawasinya? (***)
Published at :
Leave Your Footprint
-
sukagame Sebenarnya untuk game online maupun offline sudah ada aturan yang jelas. Contoh game dengan kode M yang berarti Mature, artinya game ini khusus dewasa. Kode 3+ 13+ dan 21+ mewakilkan umur yang disarankan. Nah dengan kode seperti inilah baik penjual GAME, orang tua bahkan penjual tiket layar lebar wajib menegur bila ada pembeli yang di bawah umur.
Salam,
Admin – http://www.sukagame.com