MENATA ULANG PENGATURAN KABUT ASAP LINTAS BATAS ANTAR-NEGARA ASEAN
Oleh AGUS RIYANTO (Oktober 2015)
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) adalah organisasi negara-negara di regional Asia Tenggara yang tidak perlu lagi diragukan ikatan kebersamaannya. Kebersamaan yang diikat Bangkok Declaration, 1967 adalah realitas dasar kerjasama di dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya telah berhasil memperteguh kesatuan dan persatuan di masing-masing negara anggotanya. Namun menghadapi kebakaran hutan yang berdampak asap melintasi wilayah negara-negara ASEAN membuat tali temali kebersamaan itu diuji dan dipertanyakan. Negara-negara ASEAN sendiri sesungguhnya telah menjawabnya dengan ditandatagani “The ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution [ATHP]” pada tanggal 10 Juni 2002. Dengan perjanjian regional ini berarti ASEAN memiliki payung hukum bersama yang jelas di dalam menangani dan menyelesaikan kabut asap lintas batas kawasan ini. Pertanyaannya: mengapa dalam kebakaran lahan dan kabut asap yang terjadi di Indonesia [Sumatera dan Kalimantan] pada tahun ini, yang berdampak negatif terhadap kondisi lingkungan di Malaysia, Singapura dan hingga ke Thailand, ATHP tidak dapat menjadi dasar kerjasama negara-negara ASEAN untuk menyelesaikannya. Idealnya, ATHP dapat memberikan kontribusi dan pengaruhnya sebagai jalan keluar, tetapi realitasnya hal itu tidak terjadi. Apa yang menjadi penyebabnya dan bagaimana seharusnya jalan keluar yang dapat ditempuh oleh negara-negara ASEAN?
Pertama, tidak diaturnya teknis dan operasional penanggulangan asap lintas batas dalam ATHP. Hal itu terlihat dari 32 pasal dan 1 lampiran di dalam ATHP. Ada diatur di dalamnya kewajiban [mencegah dan tindakan], pemantauan [daerah rawan kebakaran dan pencemaran asap], pencegahan [mencegah dan mengendalikan kebakaran], soal tanggap darurat nasional [menjamin tindakan legislatif, administratif & pendanaan], transit personel [memfasilitasi transit melalui wilayahnya] kerja sama teknis [meningkatkan kesigapan dan mengurangi risiko kebakaran asap], dan pusat koordinasi [“ASEAN Centre”]. Substansi dari pengaturannya ATHP lebih bersifat preventif administratif dan tidak diatur dengan jelas ATPH tentang bagaimana seharusnya teknis operasional dijalankan di dalam hal terjadinya kebakaran hutan asap di suatu negara ASEAN, tetapi berdampak kepada lintas batas negara lainnya. Dengan demikian ATHP terdapat kekurangan dalam hal tersebut, sehingga akibatnya dampak pengaruhnya tidak berimplikasi positif di negara-negara ASEAN.
Kedua, implikasi tidak ada pengaturan teknis dan operasional penanggulangan asap lintas batas dalam ATHP. Negara-negara ASEAN akan menghadapi kesulitan teknis & operasional di dalam penanganan pemadaman asap jika terjadi kebakaran hutan di salah satu negara anggota dan asapnya ternyata melintasi batas negara-negara ASEAN lainnya. Hal itu terlihat jelas dengan yang terjadi kebakaran hutan di Indonesia [Sumatera dan Kalimantan] yang melintasi Malaysia, Singapura dan Thailand. Sebagai akibatnya negara-negara ASEAN yang terkena dampak asap mengajukan keberatannya kepada Indonesia. Masalah ini tidaklah memakan waktu lama dan lamban penanganannya jika ATHP telah mengaturnya. Di dalam perkembangannya kesulitan tersebut diselesaikan dengan jalur politik internasional persaudaraan ASEAN, meski membutuhkan waktu tiga bulan setelah kejadian [Juli 2015], akhirnya Indonesia dapat menerima bantuan pesawat udara [water booming] dari Malaysia dan Singapura, serta negara-negara lainnya. Dengan hal ini, maka terjawab sudah bahwa memang realitasnya ATHP tidak memberikan jalan keluar terhadap kerjasama asap lintas batas di ASEAN.
Bertitik tolak kepada kedua hal tersebut di atas, maka harus ada terobosan untuk mencari jalan keluarnya. Tidaklah ada alternatif lain, bahwa negara-negara ASEAN harus merevisi dengan mengatur di dalam ATHP ketentuan teknis dan operasional penanganan bersama negara-negara ASEAN menghadapi dan menyelesaikan kabut asap yang lintas batas. Untuk itu keputusan menjadikan masalah asap lintas batas itu sebagai masalah bersama ASEAN, harus dilakukan melalui Sidang Khusus Menteri Lingkungan Hidup dan negara yang menjadi tempat dan asal asap itu juga menyatakan persetujuannya. Namun, di dalam penanganan dan penyelesaian bersama asap ini tetap negara yang bersangkutan yang memimpinnya. Hal ini berarti telah terjadi pengurangan kedaulatan dan yurisdiksi dalam waktu tertentu. Tidak selamanya. Yang terpenting juga dana kerja sama ini ditanggung bersama negara-negara ASEAN ditambah dengan dibukanya kemudahan (fleksibilitas) pengiriman bantuan pesawat udara untuk menghentikan asap dan sumbangan-sumbangan kemanusiaan.
Kebakaran hutan dengan dampak asap yang melintasi batas-batas wilayah negara-negara ASEAN tidak lagi dapat menjadi masalah nasional suatu negara, tetapi menatap ke depan, harus menjadi masalah bersama-sama negara-negara di Asia Tenggara. Kedewasaan negara-negara ASEAN dengan masalah ini diuji dengan keberaniannya demi dan untuk jemari kebersaudaran menghadapi dan menyelesaikan asap lintas batas ASEAN. Yang terjadi di Indonesia dengan kebakaran hutannya di Sumatera dan Kalimantan dijadikan momentum memperbaiki ATHP. Artinya, ASEAN dapat menggunakan tragedi kemanusiaan tersebut untuk mengatur lebih lanjut dan detail ketentuan tentang bagaimana seharusnya negara-negara ASEAN mengambil tindakan bersama di dalam ATHP yang baru. Semoga. (***)