INTERNASIONALISASI TERBATAS TATA KELOLA HAJI
Oleh AGUS RIYANTO (Oktober 2015)
Ibadah haji adalah religi islami yang tidak mudah dijalankan. Jemaah haji dihadapkan tidak saja besarnya biaya yang harus dikeluarkan, tetapi juga kematian sebagai kemungkinan yang tidak dapat ditolak. Hipotesis itu terbukti dari tragedi di Mina, Arab Saudi pada tanggal 24 September 2015 yang diperkirakan lebih dari 1.200 orang telah meninggal dunia [Koran Sindo, 29/9/2015]. Tragedi kedukaan dengan keprihatinan dan kemarahan besar masyarakat internasional. Negara-negara yang warganegaranya menjadi korban tragedi Mina menjadi skeptis terhadap tata kelola haji yang dilakukan oleh Arab Saudi. Iran dan Irak memunculkan gagasan tentang internasionalisasi haji. Internasionalisasi haji adalah sebuah pemikiran dan gagasan bahwa penyelenggaraan haji itu tidak lagi dimonopoli oleh Pemerintah Arab Saudi, tetapi juga dengan melibatkan seluruh pemangku kepentinan (stakeholders, khususnya Organisasi Kerjasama Islam] yang terlibat di dalam pengiriman haji dan penyelenggaraan haji. Yang menjadi pertanyaan mungkinkah internasionalisasi haji itu diwujudkan? Internasionalisasi haji ternyata tidak mudah diwujudkan. Ada sejumlah alasan hukum yang bisa diajukan; di luar klaim historis, misalnya bahwa penjaga kunci Ka’bah sejak era pra-Islam berasal dari keluarga Al-Syaibi, yang kemudian tradisi ini dilegitimasi seterusnya oleh Pemerintah Arab Saudi sekarang ini.
Alasan-alasan yang ingin dikemukakan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
Pertama, penyelenggaraan haji dilaksanakan di Mekkah dan Madinah yang berada di dalam wilayah teritorial Arab Saudi, sehingga negara-negara lain [termasuk negara-negara Islam atau mayoritas rakyatnya beragama Islam] tidak memiliki kewenangan tanpa seizin otoritas Pemerintah Arab Saudi. Teritori adalah unsur yang penting bagi kehadiran eksistensi suatu negara, maka adalah tidak mungkin Arab Saudi menyetujui gagasan internasionalisasi haji, meskipun tekanan datang dari banyak negara terhadapnya. Apalagi tekanan tersebut cenderung bersifat politis dan tidak yuridis. Dalam hal ini Arab Saudi tetap memiliki kedaulatan penuh dalam batas-batas teritorialnya, maka adalah tidak dapat dibenarkan adanya campur tangan dari negara-negara lain. Dengan demikian, negara berdaulat adalah negara yang memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur pemerintahan di teritorialnya sendiri, termasuk dalam hal pengelolaan haji.
Kedua, Arab Saudi memiliki yurisdiksi eksklusif atas wilayahnya. Yurisdiksi eksklusif ini dapat diartikan sebagai kewenangan negara terhadap orang, benda, dan peristiwa atau perbuatan di dalam wilayah teritorialnya. Dalam tragedi Mina, maka jelas yurisdiksi secara eksklusif memang Arab Saudi yang berwenang di dalam penanganannya. Hal ini berarti apabila terdapat pihak di luar Arab Saudi yang bermaksud menginternasionalisasi urusan haji, maka tindakan itu sama dengan melakukan intervensi terhadap yurisdiksinya Arab Saudi. Untuk itu adalah sangatlah logis jika Arab Saudi menolak pemikiran dan gagasan tersebut. Penolakan itu juga adalah merupakan perwujudan kedaulatan negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi penuh dari Arab Saudi yang tidak dapat diganggu gugat karenanya oleh negara manapun. Tidak ada negara lain yang dapat menghilangkan yurisdiksi eksklusif Arab Saudi di dalam teritorialnya.
Namun demikian dengan memperhatikan kejadian yang telah berulang kali terjadi dengan tragedi meninggal dunia yang mencapai ribuan jemaah haji dalam beberapa tahun terakhir di dalam menjalankan ibadahnya tidaklah pada tempatnya jika Arab Saudi menutup diri menerima masukan dan evaluasi dari negara lain, terutama dari Organisasi Kerjasama Islam (OKI) sebagai upaya perbaikan di dalam penyelenggaraan haji. Negara-negara Islam sudah waktunya bersatu dan bekerja sama untuk mencari bentuk penyelenggaraan haji yang lebih baik dan menumbuhkan keselamatan negara-negara asal jamaah haji, namun dengan tetap menghormati dan mengakui teritorial dan yurisdiksi eksklusif Arab Saudi sebagai negara syah sebagai penyelenggara haji, dengan membentuk perjanjian internasional dalam format internasionalisasi terbatas haji sebagai alternatif.
Internasionalisasi terbatas haji yang dimaksud adalah mengatur beberapa hal yang selama ini menjadi keberatan beberapa negara-negara Islam yang dapat digambarkan dalam garis besarnya adalah mulai dari keberangkatan jemaah haji, selama di Arab Saudi menjalankan ibadah hajinya dan kembalinya ke negaranya. Salah satu ketentuan yang seharusnya diatur dalam internasionalisasi terbatas haji adalah mekanisme di dalam hal terjadinya kecelakaan selama di dalam menjalankan ibadah hajinya. Masalah ini yang banyak menjadi kritik dari negara-negara yang mengirimkan warga negaranya untuk ibadah haji ke Arab Saudi. Untuk itu, Arab Saudi sebagai bagian warga masyarakat dunia internasional dapat mengakomodasi keberatan ini dengan memberikan keterbukaan informasi jika terjadi tragedi sebagaimana yang dialami di Mina akhir bulan ini dengan lebih cepat dan tidak membutuhkan waktu yang lama. Di samping itu dapat juga diatur kerja sama bersama kemanusiaan dalam penanganan dan penyelesaian tragedi meninggalnya jemaah haji, terutama dari forensik Tim Disaster Victim Identification (DVI), di dalam jumlah tertentu dengan ikut serta melibatkan negara-negara yang ikut menandatangani perjanjian ini, namun tetap dengan komando pemerintah Arab Saudi. Dalam titik intisarinya yang diatur dalam perjanjian Internasionalisasi terbatas haji adalah aspek-aspek kemanusian yang telah dipahami oleh seluruh dunia dan tidaklah bernuansa politisasi dan tetap mendudukkan Arab Saudi sebagai negara yang berdaulat.
Pilihan Internasionalisasi terbatas haji adalah jalan tengah di antara kehendak mengambil alih penyelenggaraan haji oleh pihak internasional dari Arab Saudi dengan negara-negara yang memiliki kepentingan dan tanggung jawab terhadap keselamatan warganegaranya yang sedang menjalankan ibadah haji di Arab Saudi. Kerja sama internasional ini tidak bermaksud mengambil alih penyelenggaran ibadah haji dari Arab Saudi, tetapi lebih kepada penangan bersama kemanusian dalam arti kata positif. Hal ini karena penyelenggaraan haji tidak berdurasi pendek dan pada satu tempat dengan melibatkan jutaan orang dengan kultur berbeda, negara yang berbeda dan kepentingan yang tidak selalu sama. Ibadah haji itu penuh dengan sarat nilai-nilai metafisik yang berada di luar jangkau akal manusia. Semua tragedi tidaklah dapat diukur dengan perhitungan matematis. Oleh karena itu yang terpenting harus disikapi oleh negara-negara Islam adalah memberikan kontribusi positif kepada Arab Saudi melalui kerja sama internasionalisasi terbatas haji. (***)
Published at :