BAGAIMANA MENGAPLIKASIKAN TEORI HUKUM SEBAGAI SARANA PEMBANGUNAN
Oleh BAMBANG PRATAMA (Oktober 2015)
Pada sesi diskusi seminar hukum ada seorang legal drafter dari pemerintah yang bertanya: bagaimana membuat sebuah peraturan yang baik? Baik di sini adalah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Sebagai seorang yuris, dalam mempelajari hukum sudah pasti ia mempelajari bidang-bidang hukum spesifik (lex specialist), konsep-konsep hukum, teori-teori hukum dan aliran hukum dalam filsafat hukum. Jika mengingat kembali pembelajaran hukum tersebut maka seorang sarjana hukum pasti mengenal ajaran hukum pembangunan yang diperkenalkan oleh Mochtar Kusumaatmadja yang dibangun dari ajaran Sociological Jurisprudence oleh Roscoe Pound.
Dari berbagai tulisan pakar hukum ternama di Indonesia, teori hukum pembangunan digunakan untuk mengkritik suatu masalah hukum dengan berpijak pada kebutuhan hukum di masyarakat. Ketika teori hukum pembangunan dibenturkan dengan kebutuhan hukum, yaitu bagaimana membentuk hukum yang baik? Agaknya sulit mencari tulisan dari sarjana hukum yang dapat mengaplikasikan teori hukum pembangunan untuk membuat sebuah aturan. Hingga pada suatu kesempatan kuliah dengan Prof. Sunaryati Hartono pertanyaan tentang bagaimana menggunakan teori hukum pembangunan secara aplikatif saya tanyakan kepada beliau hingga akhirnya dijelaskanlah teori hukum pembangunan secara singkat, lugas, dapat dimengerti dan aplikatif.
Pertama-tama dalam memandang konsep hukum, misalnya hukum adat ada tiga tahapan inti yang harus diperhatikan, yaitu:
- adanya kebutuhan masyarakat, maka
- timbul kebiasaan,
- dari kebiasaan lahirlah hukum.
Pada konsep tiga premis hukum besar tersebut di atas, Roscoe Pound membalik poin kedua dengan poin ketiga, yaitu:
- adanya kebutuhan di masyarakat,
- bertolak dari kebutuhan itu maka dibentuklah hukum, sehingga
- terbentuklah sebuah kebiasaan di masyarakat.
Mengaitkan poin-poin di atas dengan pertanyaan tentang bagaimana membentuk hukum yang baik? Maka jawaban dari pertanyaan tersebut adalah menjawab poin nomor dua. Sebelum membuat sebuah aturan hukum, maka diperlukan kajian hukum, kajian hukum yang dibuat menurut Prof. Sunaryati Hartono harus mencakup kajian:
- Menemukan tujuan non-hukum dari kebutuhan masyarakat. Ini artinya kajian hukum harus mampu mengaitkan kebutuhan hukum dengan tujuan nasional atau cita hukum
- Mempelajari tentang bagaimana kondisi sekarang. Apakah ada aturan hukum atau tidak? Jika ada, seberapa efektif? Jika tidak ada aturan hukumnya apa yang terjadi?
- Mempelajari bagaimana masyarakat yang sudah sampai di tingkat ideal dalam mengatur kebutuhan hukumnya.
Di sini kajiannya dapat berupa:
- Mempelajari tentang bagaimana caranya agar masyarakat mau menaati aturan hukum atas kebutuhan hukum tersebut. Di sini kajian hukumnya memerlukan bantuan ilmu psikologi.
- Melakukan kajian perbandingan hukum untuk menentukan prinsip-prinsip hukum yang paling pas dengan kebutuhan masyarakat yang selaras secara yuridis, sosiologis dan filosofis.
- Menguasai teknik hukum dalam membuat rumusan norma dari hasil kajian yang telah dilakukan sebelumnya.
- Terakhir, melakukan kajian futurologi dalam rangka mengantisipasi fenomena baru yang akan datang.
Dari hal-hal yang dijelaskan oleh Prof. Sunaryati apabila dijalankan oleh pembuat undang-undang maka produk hukum yang dihasilkan dapat dipastikan berkualitas dan tidak cepat usang. Pelajaran penting dari tahapan-tahapan di atas bagi para sarjana hukum adalah pentingnya kajian interdisipliner dan multidisipliner dalam menjawab kebutuhan hukum di masyarakat. Artinya kajian hukum tidak melulu berbicara soal undang-undang semata, tetapi harus mampu menggambarkan potret sosial dari perspektif lain selain hukum.
Dalam hal menjalin ikatan lintas ilmu pada tahapan dalam membuat produk hukum Prof. Ida Nurlinda berpendapat: pentingnya penalaran hukum bagi para yuris adalah keharuskan karena dari ketujuh hasil kajian di atas, jalinan dan keterpaduan fakta-fakta hukumnya harus dikonstruksikan menggunakan penalaran hukum. Artinya seorang yuris harus mampu memilah mana fakta hukum dengan fakta non-hukum untuk selanjutnya dilakukan penalaran dengan satu atau mengkombinasikan di antara tujuh pendekatan penalaran hukum di bawah ini:
- Pendekatan perundang-undangan
- Pendekatan konsep
- Pendekatan analisis
- Pendekatan perbandingan
- Pendekatan historis
- Pendekatan filsafat
- Pendekatan kasus
Alur pikir yang dijelaskan oleh Prof. Sunaryati seharusnya dapat diterapkan dalam membuat naskah akademik sebelum membentuk sebuah peraturan perundang-undangan seperti yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dengan menggunakan cara pandang yang holistik dan multiperspektif maka seharusnya produk undang-undang yang dihasilkan dapat lebih baik jika dibuat tanpa kajian yang holistik dan multiperspektif. Semoga pemikiran visioner dari Prof. Mochtar Kusumaatmadja yang dirinci oleh Prof. Sunaryati Hartono dapat dipahami oleh para yuris sehingga das Sollen dapat tercipta dan diproyeksikan. (***)
Leave Your Footprint
-
Shidarta Pak Bambang. Tulisan yang menarik. Saya ingin memberi komentar singkat tentang tiga premis yang dibalik oleh Pound, yaitu sama-sama berangkat dari kebutuhan, lalu dibuat hukum, dan diarahkan untuk merekayasa masyarakat (tool of social engineering). Masalahnya adalah bahwa hukum dalam konteks Anglo Sakson dan Anglo Amerika lebih dimaknai sebagai judge-made law. Artinya, agen pembentuk hukum yang utama adalah hakim. Sebenarnya kapasitas hakim untuk merekayasa sosial tidak semasif yang bisa dilakukan oleh pembentuk undang-undang dalam tradisi sistem civil law. Materi yang bisa diakomodasi ke dalam undang-undang juga tidak selalu berangkat dari kebiasaan, namun justru bisa bertolak belakang dengan kebiasaan yang dinilai perlu diubah. Di sisi lain dalam tradisi sistem common law, hukum kebiasaan (living law) justru lebih terlihat muncul lebih awal dan diberi tempat khusus. Sebagai indikatornya dapat ditunjuk adanya sistem juri. Para juri yang notabene masyarakat biasa yang dapat saja awam hukum, menjadi penjaga marwah living law ini. Mereka menilai fakta tidak berangkat dari hukum positif, melainkan dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Jadi, sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua belahan tradisi hukum tersebut. Terkadang hukum dikemas dari kebiasaan yang memang sudah berlangsung di dalam masyarakat (ini penting untuk menjamin keberlakuan sosiologis dari hukum) dan terkadang dari kepentingan rekayasa sosial (ini untuk memastikan ada nilai-nilai baru yang ideal dan ingin diwujudkan; mengubah yang semula ius constituendum menjadi ius constitutum).