TARIK MENARIK KEBIJAKAN PENJUALAN PROPERTI UNTUK ORANG ASING
Oleh PAULUS ALUK FAJAR DWI SANTO (September 2015)
Akhir-akhir ini kita disuguhi polemik tentang kepemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh orang asing. Polemik muncul antara asosiasi pengembang Real Estate Indonesia (REI) – yang diketuai Eddy Hussy dan Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) yang diketuai oleh Eddy Ganefo serta pemerintah sebagai penengah yang diwakili oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Ferry Mursyidan Baldan. Polemik di atas disebabkan oleh keterpurukan rupiah terhadap dolar yang salah satunya berdampak pada stagnannya harga dan penjualan properti di Indonesia. Kondisi ini membangkitkan ide untuk mengarahkan penjualan properti kepada warga negara asing agar bisnis properti menggeliat kembali di Indonesia.
Kita bisa amati tarik-menarik terkait kepentingan tiga institusi di atas seperti tersaji lewat rangkuman pendapat mereka di bawah ini. Pendapat ini dikemukakan pada acara Diskusi Wacana Penjualan Properti untuk Orang Asing dan Kawasan Ekonomi Khusus, di Menara Batavia, Jakarta, Rabu (19/8/2015).
- REI menginginkan agar penjualan properti kepada orang asing bisa didukung oleh Pemerintah Indonesia dengan menggulirkan suatu paket revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing atau Warga Negara Asing (WNA) demi mengakomodasi pembeli properti asal mancanegara.
- APERSI menuturkan regulasi PP No.41/1996 sudah mengakomodasi orang asing yang ada di Indonesia untuk memiliki hunian dengan hak pakai selama jangka waktu 25 tahun dan bisa diperpanjang kembali kurang dari 25 tahun.
- Pihak Pemerintah lewat Direktur Pengaturan dan Pengadaan Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Noor Marzuki mengatakan, revisi PP tentang kepemilikan properti oleh asing tersebut sampai saat ini masih dibahas dan dimatangkan di berbagai kementerian. Pemerintah juga tengah meminta pendapat dari berbagai ahli. “Intinya, hak pakai, konsepnya seumur hidup dan bisa dihibahkan dan ini sudah disampaikan ke Presiden. Revisi Peraturan Pemerintah No. 41/1996 ini mencakup subjeknya (orang asing), bangunannya, dan jangka waktunya.
Dalam dimensi politik hukum kita bisa dipahami pendapat yang dikemukakan oleh REI sebagai asosiasi yang menguasai perumahan dan apartemen tingkat atas. Mereka berkepentingan agar produk propertinya laku di pasaran karena orang asing pun tertarik untuk membeli properti yang ada di Indonesia. Di samping harganya murah sekarang ini (karena kondisi rupiah yang terpuruk), minat itu akan muncul jika ditambah dengan model kepemilikan yang menarik karena jangka waktu yang panjang.
Kita bisa paham apa yang disampaikan oleh APERSI. Andaikata keran pembelian properti dibuka secara bebas kepada orang asing maka secara otomatis akan menggerek harga tanah semakin tinggi dan APERSI sebagi asosiasi pengembang perumahan tingkat menengah ke bawah akan sulit menjual rumah dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat yang dimaksud.
Keputusan akhir tentu ada di tangan pemerintah sebagai otoritas pembuat PP yang akan direvisi tersebut. Posisi pemerintah ini yang wajib kita amati apakah nantinya produk hukum yang dihasilkan cenderung responsif, yaitu proses pembuatannya partisipatif dengan mengundang keikutsertaan berbagai pemangku kepentingan melalui kelompok-kelompok sosial dan individu dalam masyarakat ataukah berkarater ortodoks yaitu proses pembuatan kebijakan yang bersifat sentralistik, dalam arti lebih didominasi oleh lembaga negara, terutama pemegang kekuasaan eksekutif.
Mengingat masalah properti ini berada dalam area hukum agraria yang terbilang sangat sensitif dan menyangkut hajat hidup orang banyak, maka proses revisi PP ini tidak boleh hanya sekadar melihat kepentingan jangka pendek guna menyelamatkan investasi dan bisnis para pengembang semata. Ada filosofi keagrariaan yang tercermin dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan perundang-undangan lain, yang harus diselaraskan terlebih dulu.
Mari kita cermati bersama kondisi ini…! (***)
Published at :
Leave Your Footprint
-
EGAN Menarik sekali kalimat ini : “proses revisi PP ini tidak boleh hanya sekadar melihat kepentingan jangka pendek guna menyelamatkan investasi dan bisnis para pengembang semata”
-
BAGUS Setuju dengan Pak Paulus! Seharusnya hukum tidak boleh pragmatis, apalagi hanya demi memenuhi syahwat materialisme pengembang di tengah lemahnya rupiah terhadap dollar. Akan semakin banyak penduduk WNI di kota-kota besar yang semakin termarjinalkan hingga ke pelosok-pelosok. Rakyat miskin akan semakin sulit mengejar harga tanah, jika asing diizininkan ‘memiliki’ tanah. Akibatnya, yang miskin akan terus-terusan sewa kepada pemodal, sementara pemodal akan terus memperluas ‘wilayah kekuasaannya’.
Mungkin juga nanti kita akan kembali ke zaman penjajahan, dimana pribumi harus kembali menyewa tanah kepada meneer-meneer asing di tanah kelahirannya sendiri.
Sudah saatnya kita maknai “Sosialisme Indonesia” dalam UUPA dengan arti yang sesungguhnya!