TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DI PERUSAHAAN SWASTA DAN LEMBAGA PEMERINTAHAN
Oleh IRON SARIRA (September 2015)
Sejauh pengalaman profesional penulis dalam bidang hubungan industrial (industrial relations), permasalahan tindak pidana penggelapan yang dilakukan oleh pekerja yang memiliki penguasaan terhadap barang (akibat dari hubungan kerja) merupakan salah satu kasus yang sangat menyita perhatian, baik dari segi proses penanganan kasusnya maupun implikasinya terhadap keputusan yang diambil. Tulisan singkat ini akan mengulas beberapa segi dari permasalahan tindak pidana ini.
Hubungan hukum dalam melakukan pekerjaan memunculkan kewenangan bagi pekerja untuk melakukan kewajibannya. Dalam rangka menjalankan kewenangannya itu selalu terbuka peluang terjadinya pelanggaran terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan, baik aturan internal maupun eksternal (ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku). Hubungan kerja yang dilakukan dapat berdampak kepada kelalaian yang disebabkan oleh faktor manusia (pekerja) dalam mengimplementasikan hubungan kerja. Wujud penyimpangan kewenangan itu salah satunya dapat mengarah kepada tindak pidana penggelapan, suatu tindakan yang berangkat dari kepentingan-kepentingan yang keluar dari tujuan yang telah digariskan, baik dalam perjanjian kerja maupun pencapaian tujuan perusahaan.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat ketentuan Pasal 374, yang apabila dilihat dari kaca mata praksisnya dapat berbentuk penggelapan dana kegiatan, mark-up nilai transaksi, pemalsuan tanda-tangan, pemalsuan surat keterangan dokter, penerimaan grativikasi, pembobolan sistem aturan lembaga, dll. Kendati sudah diatur dalam undang-undang, tidak semua perusahaan memutuskan pada tahap awal untuk langsung menyerahkan kasus ini ke ranah hukum. Kasus-kasus demikian biasanya diproses lebih dulu secara internal.
Proses penanganan kasus-kasus tersebut secara internal tentu harus dilakukan dengan penyidikan atas laporan yang diterima dan kemudian ditemukan beberapa bukti sebagai syarat atas adanya pelanggaran tersebut. Selanjutnya, pihak yang berwenang di internal melakukan klarifikasi kepada pekerja termaksud dengan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah. Apabila dalam klarifikasi tersebut diketahui bahwa pekerja terbukti melakukan tindak pidana Pasal 374 KUHP tersebut, maka pihak berwenang di perusahaan meminta dibuatkan surat pernyataan dari pekerja terkait. Surat Pernyataan yang telah ditandatangani oleh pekerja tersebut akan menjadi salah satu pembuktian tambahan agar dapat dilaporkan kepada pihak yang berwajib, yakni pengajuan laporan adanya tindak pidana ke kantor Kepolisian setempat.
Jerat pidana sebagai sanksi atas pelanggaran yang dilakukan terhadap penyalahgunaan wewenang yang dimiliki pekerja diatur sebagai pidana penjara selama 5 (lima) tahun, akan tetapi dalam pelaksanaannya memungkinkan terjadinya “pengampunan” atas kesalahan penggelapan karena adanya kewenangan dalam suatu hubungan kerja ini dengan pemberian sanksi yang lebih ringan di mana para pihak sepakat untuk tidak melanjutkan ini ke dalam ranah hukum, artinya sama-sama menyepakati untuk menyelesaikan masalah secara damai dengan ditandai oleh keinginan pekerja untuk melakukan penggantian kerugian perusahaan sebesar nilai kerugian yang terjadi. Selanjutnya pekerja yang melakukan penyalahgunaan wewenang tersebut biasanya mengajukan pengunduran diri. Hal ini disinggung pengaturannya dalam UU No. 13 Tahun 2013, tepatnya pada Pasal 162 ayat (1,2,3,4), bahwa pengunduran diri yang dilakukan pekerja menjadi dasar penurunan atas sanksi pidana yang ada, karena dalam ayat (4) pasal ini disebutkan bahwa pengakhiran hubungan kerja dengan pengunduran diri oleh pekerja dilakukan tanpa adanya penetapan dari Lembaga PPHI. Dan tentunya dengan adanya pengunduran diri ini tidak memberikan implikasi atas pembayaran pesangon kepada pekerja.
Jika subjek pelaku tindak pidana ini adalah pegawai negeri dan/atau pemegang jabatan publik lainnya, maka ketentuan Pasal 415 KUHP dapat dijadikan acuannya. JIka pegawai atau pejabat ini diberi kewenangan menguasai uang atau surat berharga dan kemudian menyalahgunakan kewenangan ini, baik dilakukannya sendiri maupun membiarkannya dilakukan oleh orang lain, maka perbuatan ini juga dikualifikasikan sebagai penggelapan. Kualifikasi tindak pidana ini juga beririsan dengan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Indriyanto Seno Adji (www.kabarindoneia.com 2008) menjelaskan bahwa pegawai negeri atau pejabat publik yang melakukan penggelapan terkait kewenangan yang dimilikinya untuk kepentingan tertentu termasuk sebagai adminstrative penal law, yaitu perbuatan-perbuatan yang masuk dalam kewenangan administratif, tetapi mempunyai sarana penal (pidana) sebagai sanksi atas pelanggarannya. (***)
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...