KAUSALITAS NON-DETERMINISTIS DALAM PENALARAN ILMU HUKUM
Oleh SHIDARTA (Agustus 2015)
Topik kausalitas (cause and effect) dalam tulisan ini berbicara tentang sebab-akibat antara rumusan norma primer dan rumusan norma sekunder (sanksi). Jadi, pemahamannya harap tidak dirancukan dengan konteks perbedaan antara formulasi tindak pidana material dan formal; atau antara rule of reason dan per se illegal, yang biasa dikenal dalam hukum pidana. Dalam tindak pidana formal, “akibat” dari suatu perbuatan tidak dijadikan syarat; dan hal ini berlaku sebaliknya untuk tindak pidana material. Pengertian “akibat” dalam tulisan ini bukan mengacu pada makna tersebut. Dalam tulisan ini dipahami bahwa akibat dari tindak pidana material itupun adalah bagian dari rumusan unsur norma primer juga (terkait hal ini silakan bandingkan dengan pokok bahasan unsur-unsur perbuatan pidana, misalnya dalam buku Prof. Moeljatno, ‘Azas-Azas Hukum Pidana,’ Bab IX).
Ada satu pertanyaan menarik untuk diajukan guna mengawali tulisan pendek ini, yakni: apakah ilmu hukum itu menerapkan pola pikir yang berangkat dari dalil kausalitas sebagaimana dikenal dalam ilmu-ilmu empiris, khususnya dalam ilmu-ilmu alam? Ilmu hukum dalam ranah paling sempit, yakni ilmu hukum dogmatis jelas mengenal pola benalar yang mengaitkan cause and effect. Namun, hubungan kausalitas di sini tidak diikat dengan rigiditas dan tingkat presisi yang tinggi, melainkan lebih terbuka untuk penyimpangan. Artinya, cause tertentu tidak selalu menimbulkan effect yang sama terus-menerus.
Suatu norma hukum atau rangkaian norma hukum biasanya dapat diklasifikasikan menjadi norma primer dan sekunder. Norma primer memuat subjek norma, operator norma, objek norma, dan kondisi norma. Keempat hal ini merupakan unsur-unsur norma primer. Jika keempat norma ini terpenuhi secara utuh, maka terpenuhilah kualifikasi suatu peristiwa hukum. Sebagai contoh, apabila ada orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengannya di luar perkawinan, maka peristiwa ini sudah merupakan rangkaian unsur-unsur norma yang saling menjalin untuk memunculkan suatu cause. Kualifikasi dari cause ini disebutkan dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai perkosaan.
Kualifikasi tadi merupakan peristiwa hukum karena cause itu diberikan effect di dalam hukum positif. Effect ini adalah akibat hukum yang dinamakan sebagai sanksi hukum. Oleh karena perkosaan adalah suatu peristiwa hukum pidana maka akibat hukumnya pun berupa sanksi pidana. Dalam Pasal 285 KUHP, sanksinya berupa [ancaman] pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Tentu saja tidak semua cause and effect ini berjalan persis seperti yang dibayangkan oleh suatu pasal. Pelaku perkosaan ternyata tidak selalu dihukum pidana penjara. Ada variabel lain yang membuat hubungan kausalitas antara cause and effect ternyata ini tidak berjalan sesuai bayangan semula. Variabel ini boleh jadi karena otoritas penegak hukum gagal menghadirkan si pelaku pada waktunya (misalnya karena pelakunya tidak pernah tertangkap atau peristiwa hukumnya sudah kadaluwarsa). Bisa juga karena secara mental si pelaku memang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban (faktor mens rea). Jadi, aspek non-deterministis tersebut bersumber dari unsur norma primer, khususnya pada unsur subjek norma. Doktrin yang diajarkan oleh Kelsen dengan teori imputasinya telah banyak berbicara tentang hal ini.
Cause and effect yang mengaitkan norma primer dan sekunder, tidak selalu harus eksis di dalam hukum. Terkadang ada cause tanpa effect, yang di dalam terminologi hukum disebut sebagai lex imperfecta.
Dalam kaca mata penstudi non-ilmu hukum, boleh jadi pola kausalitas non-deterministis ini tidak bisa dianggap sebagai pola bernalar kausalitas dalam arti sebenarnya. Seseorang dinyatakan bertanggung jawab atas suatu kualifikasi peristiwa pidana dan kemudian dikenakan akibat hukum, sebenarnya semata-mata karena ia dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana itu. Penilaian terbukti dan tidak terbukti ini tidak hanya berangkat dari alat-alat bukti yang ada, melainkan pada ada tidaknya keyakinan subjektif hakim. Sebanyak apapun alat bukti yang tersedia, tetapi jika tak meyakinkan si pengambil putusan (hakim), maka semua unsur norma primer itu belumlah menjadi cause dalam putusan itu, yang terbuka pula untuk dinilai sebaliknya sebagai cause oleh pengadilan di tingkat berikutnya. Menarik bahwa persoalan cause di sini akhirnya lebih menjadi persoalan subjektif daripada objektif. Seperti apapun penilaian subjektif itu, doktrin di dalam ilmu hukum wajib untuk mengapresiasinya dan membenarkannya. Res judicata pro veritate habetur.
Untuk dapat menggerus dimensi subjektif ini, maka setiap putusan hakim sebagai produk penilaian ’cause and effect’ yang non-deterministis, sangat wajar jika dibuka seluas mungkin agar publik dapat ikut memberi penilaian dengan caranya sendiri. Begitu suatu putusan sudah dilepas ke masyarakat, maka pada detik itu juga ia sudah menjadi public domain sebagai materi informasi publik. Oleh sebab itu, komunitas tertentu dianjurkan untuk dapat memantau kualitas putusan-putusan ini, sehingga kancah yang subjektif ini dapat digeser ke kancah intersubjektif. (***)